Ari berjalan menyusuri lorong klinik psikiatri. Terapi pertamanya sudah selesai, dia hanya berharap apa yang dilakukannya kini bisa menenangkan hati orang tuanya. Saat memasuki lobby, Ari melambatkan langkahnya. Bukan karena dia bisa lihat apa yang ada di kolam kecil di bawah tangga. Perhatiannya justru tertuju pada bangku panjang yang seminggu lalu seorang anak perempuan duduk di sana. Ari masih ingat namanya Tata. Bangku itu kosong. Sampai Ari di depan pintu keluar, dia masih membayangkan anak perempuan itu ada di bangku itu lagi. Dan harapan Ari melihat anak perempuan itu tampaknya terwujud. Dia ada di luar sedang menuju lobby. Masih memakai kemeja dan rok. Kali ini warnanya maroon. Rambutnya yang waktu itu dikepang dua kini dibiarkan tergerai dengan poni di dahi. Anak itu berjalan bersama ibunya. Ari sengaja berhenti berjarak dari pintu keluar. Dia ingin membiarkan anak itu masuk duluan. Saat anak itu masuk, dia terlihat kaget melihat Ari. Ari dan dia sempat berpandangan sebentar. Tapi anak itu cepat membuang pandangannya dan bergegas menuju ke bangku panjang. Dan Ari baru sadar kalau ibu anak itu sedang memperhatikannya. Ari tersenyum kaku dan mengangguk, berusaha menyapa duluan. Ibu itu mengangguk, tetapi pandangannya tetap datar. Lalu dia menuju ke informasi. Ari bergegas keluar lobby. Dia merasa ibu itu tidak menyukainya. Sebelum melangkah jauh, Ari sempatkan menoleh ke belakang. Lobby itu masih terlihat. Dan anak perempuan itu sedang menatap Ari dari tempat duduknya. Ari berhenti. Sepertinya anak perempuan itu ingin menyampaikan sesuatu. Lalu anak itu menaruh secarik kertas di meja dan bergegas berdiri menyambut ibunya yang datang ke arahnya. Lalu mereka berdua berjalan ke arah lorong. Pelan Ari berbalik arah. Kertas itu masih di atas meja. Setelah di dalam Ari mengambilnya. Isinya sebuah nomor handphone.
Dari tadi Ari masih memegangi ponselnya. Dia ada di halte bus. Nomor dari anak itu sudah dia masukkan. Di aplikasi chat, foto profilnya gambar langit senja. Statusnya : hari-hari yang melelahkan. Sudah lima bus lewat di depan Ari. Tapi Ari tak beranjak. Dia masih memikirkan untuk mengirim pesan pada anak perempuan itu.
hai, tata ya, Ari memberanikan menulis pesan.
Beberapa saat Ari menunggu, belum ada jawaban. Satu bus lagi lewat di depan Ari. Saat Ari mau beranjak, hp Ari bunyi. Anak itu sudah menjawab.
Hi, ini siapa?
aku ari yang kasih gambar ke kamu, Ari cepat-cepat membalas.
Hi Ari, terimakasih ya waktu itu udah nemenin di lobby
iya, kamu bisa lihat ya?
Iya, yang di lobby serem banget
kirain cuma aku yang bisa lihat
Iya kadang ngeganggu banget, sebel jadinya
aku lama2 udah biasa
Maaf ya tadi aku begitu, soalnya mamaku ngga mau aku ketemu kamu
ngga apa2 kok
eh dokterku udah datang, ntar lanjut lagi ya
ok
Malam ini hujan rintik di luar. Ari sudah selesai dengan belajarnya. Suara TV masih terdengar di ruang tengah. Ibu bapaknya masih di sana. Ari terbujur di kasur. Ponselnya tergeletak di sebelahnya. Dari tadi dia bolak-balik pegang hp-nya. Profil chat bertuliskan Tata ada di layar. Saat mau mengirim pesan selalu ia urungkan. Sampai hp-nya bunyi. Tata mengirim pesan.
Hi Ari, udah tidur?
belum, Ari cepat membalas
Aku barusan lihat sesuatu
apaan
kunti, bajunya merah
kuntinya ngapain?
cuma berdiri aja di depan kasur
kuntinya masih disitu?
udah ngga, dia yang tadi siang aku lihat di pohon deket parkir mobil di sekolahku
kamu ngga apa2 kan
Ngga apa-apa
beneran
Iya
kalau dia datang lagi kasih tahu aku
Iya, makasih ya udah dengerin aku
iya
Aku mau minum obat dulu, abis itu mau bobo
ok
Bye
bye
Satu hari lagi Ari dan Tata akan bertemu. Besok jadwal terapi mereka sama. Dan mulai besok Tata sudah tidak diantar mamanya. Tapi kata Tata, selesai terapi dia harus langsung pulang. Sopirnya sudah diinstruksikan untuk mengawasinya. Besoknya Ari datang lebih awal. Dia menunggu Tata di dekat parkir mobil, duduk di belakang genset supaya tidak terlihat sopir Tata. Beberapa menit kemudian Tata datang. Dia naik mobil mercy hitam. Saat turun Tata langsung ke arah genset. Dia tahu Ari ada di sana. Di belakang genset mereka bertemu. Suasana kikuk sempat terjadi.
“Ari kan?” spontan Tata bersuara.
“Iya, Tata kan?” jawab Ari tak kalah kikuk.
“Ayo kita langsung ke klinik,” kata Tata menutupi perasaan kikuknya.
“Ayo,” jawab Ari singkat.
Ari dan Tata memang harus lekas pergi dari situ sebelum sopir Tata tahu. Mereka berjalan cepat agak merunduk meninggalkan area parkir. Tapi ketika hampir sampai di klinik mereka heran. Di depan klinik sudah banyak kerumunan. Ari dan Tata mempercepat langkahnya. Mereka mencoba meringsek ke kerumunan. Ada bapak-bapak yang ingin masuk klinik tapi ditahan satpam.
“Maaf Pak nggak ada yang boleh masuk,”kata Satpam.
“Ada apa di dalam Pak,” tanya bapak itu.
“Ada yang kesurupan Pak,”
“Kesurupan?”
“Iya, suster-suster pada kesurupan, ada office boy juga.”
“Berapa orang yang kesurupan?”
“Banyak Pak, gara-gara tadi pagi kolamnya mau dikuras airnya.”
Ari dan Tata saling berpandangan. Mereka mulai meringsek lebih dalam lagi. Dari jendela lobby mereka bisa lihat beberapa suster sedang tengkurap di lantai. Termasuk suster yang biasa menangani Ari. Mereka melakukan gerakan melata seperti ular. Lidah mereka menjulur-julur. Salah seorang sedang ditangani satu bapak-bapak memakai pecis. Tampaknya bapak itu kewalahan. Dan selain suster-suster yang kesurupan, Ari dan Tata bisa melihat banyak ular hitam yang bergerak memenuhi lantai sampai memanjat ke dinding-dinding. Lalu di belakang sana berdiri seorang perempuan berpakaian seperti ratu jawa. Matanya melotot marah. Tampaknya dia tahu Ari dan Tata sedang memperhatikannya. Kini matanya melotot ke arah Ari dan Tata. Tata tersentak. Dia melangkah mundur.
“Ayo kita pergi dari sini,” spontan Ari menggandeng tangan Tata dan mengajaknya pergi dari situ.
Dengan sedikit berlari mereka menuju ke belakang gedung. Karena kalau ke depan, sopir Tata akan memergoki mereka. Di bagian paling belakang mereka berhenti.
“Kamu ngga apa-apa kan?” wajah Ari serius memeriksa Tata.
“Nggak pa pa. Aku nggak apa-apa,” suara Tata masih menyisakan gelisah. Tapi sedikitnya dia merasa aman karena sudah jauh dari lobby.
Ari mulai memeriksa sekitar. Ada yang membuat dia penasaran. Tak jauh dari situ ada sungai yang lumayan besar. Airnya mengalir tetapi tidak deras. Lalu dia perhatikan gedung rumah sakit itu ada dua. Satu di sebelah kiri sungai, satu di sebelah kanan. Lalu ada satu gedung yang menyatukannya yang dibangun di atas sungai.
“Ta, lihat. Sungai ini mengalir di bawah gedung itu. Itu kan klinik psikiatri,” Ari bicara ke Tata tapi pandangannya mengarah ke sungai yang mengalir di bawah sebuah gedung.
“Iya, itu kan lobby yang di klinik itu,” seru Tata.
Dengan wajah serius, mereka berdua mendekat ke sungai. Agak lama mereka berdiri di sana. Lalu Ari memperhatikan tembok belakang di dekat sungai. Ada bagian yang runtuh yang tampaknya masih dalam perbaikan. Ari mengajak Tata ke sana. Karena mereka bisa keluar dari rumah sakit lewat situ. Ari tersenyum, juga Tata. Mereka seperti telah menemukan jalan keluar, setelah selama ini merasa akan terkurung di dalam klinik. Lalu mereka lihat di seberang jalan ada warung bertuliskan : Bakso Urat.
“Kamu laper nggak,” tanya Tata malu-malu ke Ari.
“Kamu?” Ari bertanya balik.
“Suka bakso kan?” tanya Tata lagi.
“Suka lah,” jawab Ari. Kini senyumnya tersungging.
Mereka berdua masuk ke warung itu. Cukup bersih dan lumayan enak untuk nongkrong. Pengunjungnya ramai juga. Setelah memesan, mereka duduk di bangku yang paling pojok. Tapi belum lama duduk, Ari dan Tata merasakan sesuatu yang sama. Di bangku sebelah mereka ada anak laki-laki dan perempuan memakai baju SMU. Mereka diam seperti patung di antara ramainya pengunjung warung. Setelah diperhatikan, baju kedua anak itu robek-robek dan berbercak darah. Wajah mereka datar, tidak ada hidung, tidak ada mata, tidak ada mulut. Ari melirik Tata. Tangan perempuan itu mulai tegang menempel di permukaan meja. Ari cepat mengeluarkan buku kecil dan pensil dari tasnya. Dia mulai menggambar apa yang ada di bangku sebelah. Perlahan Tata memperhatikan jari Ari yang mulai lincah mencorat-coret bukunya. Tata mulai merapatkan duduknya ke Ari. Hingga gambar itu jadi. Tata tersenyum. Dia sudah lupa dengan rasa takutnya.
Pesanan mereka pun datang. Tata antusias dengan mangkok yang diterimanya.
“Coba aku bisa gambar seperti kamu,” Tata bersuara sambil mulai menggerakkan sendoknya.
“Kamu bisa menulisnya kalau kamu mau,” timpal Ari.
“Kadang aku tulis di diary sih.”
“Bagus itu. Tulis aja, ntar aku baca.”
“Beneran?”
“Beneran.”
“Besok-besok aku bawa ya.”
Ari mengangguk serius sambil mengunyah. Mereka berdua sudah asyik dengan mangkok masing-masing. Sudah tidak peduli dengan sepasang remaja berbaju SMU yang bermuka rata.
ns 15.158.61.8da2