Deva's POV
Nama gue Deva. Lengkapnya Deva Agatha. Duduk di bangku kelas 12 SMA bertaraf internasional di Surabaya. Gimana, keren dong. Apalagi gue masuknya lewat jalur beasiswa.
Orang-orang selalu nganggep gue masuk sini dengan cara nyogok. Padahal faktanya ga kayak gitu. Ortu gue emang pengusaha sukses. Tapi di keluarga, gue diajari buat jujur dan mandiri. Meski ortu gue kaya raya, gue ga pernah dimanja dengan adanya semua uang itu. Gue juga ga pernah minta uang selain jatah uang saku bulanan gue.
Sebenernya, tahun depan gue pengen kuliah di Korsel. Tepatnya di SOPA. Gue milih SOPA itu bukannya tanpa alasan. Gue pengen jadi dancer. Selain itu, kalo di Korsel kan gue bisa jadi ketemu V oppa!!
Huft,,, tapi, kayaknya cuma harapan kosong deh. Ortu gue pengen banget gue ngelanjutin usaha mereka. Jadi pengusaha gitu.
Ya, gue itu cuma fangirl yang banyak bermimpi dan berkhayal tentang bias-bias gue yang entah kini lagi ngapain disana. Bisa dibilang, gue ini udah gila karna BTS. Bahkan hampir semua benda di kamar gue bertemakan mereka.
Gue ARMY, and I love BTS so bad.
x.o.x
"Break!" Rafael berteriak keras. Saking kerasnya, gue yakin suaranya bisa bikin ambruk dinding china.
Oke, sorry, gue tadi bercanda.
Siang ini, gue sedang latihan dance bareng grup dance gue. Satu bulan lagi, grup gue bakal ikut Korean Cover Competition atau lebih sering disebut KCC. Grup gue mau ikut kategori dance cover.
Kerennya, kalo seandainya dapet juara 1, grup gue bakal dapet pelatihan dance langsung oleh pelatih dancer profesional Korea Selatan. Dengan begitu, impian gue buat jadi dancer semakin dekat, guys!
"Evaluasi!" Teriak Raf dengan suaranya yang tak kalah keras dari sebelumnya.
Oh ya, gue lupa.Gue masih punya satu hambatan disini. And that was Rafael; our leader dance.
Ucapan Raf barusan menginstruksi kami semua untuk berkumpul. Masih dengan membawa sebuah botol air mineral karena belum sempat minum, gue melangkah mendekati tempat berkumpul berbarengan dengan Jody, cewek blasteran Indo-Kanada.
"Semoga gue udah bagusan di mata Raf."Jody menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada seperti posisi tangan orang yang sedang bersemedi.
"Gue juga berharap demikian."
Semua anggota berdiri membentuk setengah lingkaran dengan Raf berdiri di depan kami.
"Selain mau evaluasi, disini gue mau ngasih tau 2 kabar. Kabar baik dan kabar buruk. Tapi sebelumnya gue mau evaluasi kalian dulu." Raf berdeham kecil."Bima, gue tau lo itu anak Solo. Tapi, bisa gak dance lo lebih cepet dikit? Di latihan tadi, gue lihat lo udah telat 5 kali. Bim, lo itu bukan putri keraton. Apa semua anak Solo itu kayak lo?"
Sekarang, muka Bima sudah seperti kepiting rebus. Ia menahan marah, harga dirinya sebagai anak Solo dipermalukan.
"Tapi, gak papa. Untuk sekarang lo udah ada peningkatan." Raf beralih menatap Jody dan Dimas yang berdiri bersebelahan. "Jody dan Dimas, berapa kali udah gue bilang, jangan keluar dari posisi. Gue tadi lihat Jody terlalu ke belakang dan Dimas malah menjorok ke luar barisan. Dance kalian udah bagus, tapi posisi kalian masih sering salah."
Jody yang berdiri di sebelah gue hanya diam. Tidak berani protes. Demikian pula Dimas.
Oke, ini ga adil. Raf selalu protes akan segala hal. Sedangkan kami tidak pernah diberi hak untuk protes. Gue akui dance Raf itu sangat... Ah, I can't explain it. Yang jelas, gue ga bisa berkata apa-apa kalo liat dia lagi dance.
"Peter," sekarang Raf melirik leader kami yang berdiri di ujung barisan. "gue ga bakal banyak komen. Dance lo udah bagusan. Udah jarang telat. Tinggal tingkatin aja." Raf menepuk-nepuk pundak Peter.
"Rachelezza, si favorit gue," Raf tersenyum lebar pada Rachel yang juga ikut tersenyum. "Dance lo bagus banget. Udah mirip sama dancer-dancer profesional yang biasanya jadi juri di ajang kompetisi dance."
HUEK. Demi Tuhan! Mata gue ternodai.
"Deva," sekarang giliran gue dievaluasi Raf.
"Jujur aja, kita semua mengakui dance lo itu bagus. Bahkan dari awal gue liat lo dance, gue udah tau lo itu punya bakat dalam dance. Tapi lo terlalu nonjolin diri lo di tim ini."
"Perumpamaannya gini, dalam pramuka, khususnya PBB, kalo cuma ada satu orang yang bagus yang lain jelek skillnya, hasilnya jadi jelek. Tapi, kalo dalam satu tim skillnya bagus semua atau jelek semua, hasilnya malah bagus. Setidaknya mereka semua sama, kompak."
"Dalam tim, kita ga butuh orang kayak lo. Kita butuh kerja sama bukan individu. Sorry Dev, gue dan Peter udah mutusin, lo harus pergi."
Glundung...
Botol air mineral yang gue bawa jatuh menggelinding di lantai karna saking kagetnya. Gue menatap Peter tidak percaya. Gue dan Pete termasuk teman dekat dalam tim. Jadi, gue masih bisa ga percaya kalo Pete tega ngelakuin ini ke gue.
"Pete, lo biasanya suka bercanda. Lo lagi ngibulin gue kan?" Gue menatapnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Gue berharap semua ini bohong.
"Sorry Dev." Bahkan Peter gak natap gue lagi.
"Lo tega Pete. Hanya karena lo leader dan Raf leader dance di tim kita bukan berarti kalian bisa buat keputusan seenaknya." Mata gue semakin panas. Tapi gue masih nahan agar tidak menangis di hadapan mereka.
Gue tersenyum sinis. "Oke, gue pergi. Jangan pernah hubungi gue lagi."
Gue segera melangkahkan kaki keluar dari dance room, gak peduli apa yang bakal terjadi. Gue bahkan gak noleh saat Jody teriak manggil gue.
Kini gue tahu kabar buruknya. Sangat tahu. Dan gue udah gak tertarik dengan kabar baik yang dibawa Raf, karna gue bukan anggota tim ini lagi.
ns 15.158.61.8da2