"Besok sore boleh tolong bantu aku balikin buku-buku ini ke perpustakaan, Ndi?" kata Dimas sambil sibuk merapikan beberapa buku dan baju-bajunya ke dalam koper. "Boleh dong," sahut Andi. Dia lalu menutup bukunya dan beranjak ke arah Dimas.
“Ada lagi yang bisa aku bantu?” tanya Andi. “Itu aja, kok. Kalau yang ini bisa aku beresin sendiri,” jawab Dimas dengan melempar senyum simpul ke arah sahabatnya itu. Kamar Dimas tampak lebih berantakan dari biasanya. Dua koper besar berwarna biru dan hitam di atas kasurnya hampir penuh sesak menampung baju, buku, dan beberapa koleksi action figure miliknya. "Ini udah aku pisahin. Buku-buku ini yang bakal aku balikin ke perpustakaan," lanjut Dimas sambil menunjuk ke tumpukan buku di meja belajarnya.
Andi melihat-lihat beberapa buku di tumpukan itu, dan perhatiannya tertarik ke salah satu buku karya Oscar Wilde, The Picture of Dorian Gray. Dia meraihnya dengan rasa penasaran. Dimas menoleh ke arah Andi sejenak. "Good eye, Buddy. Bagus itu. Cerita dan gaya bahasanya menarik. Kalau kamu mau, kamu bisa lanjut pinjam itu. Kita balikin sisanya," ujarnya. Ia pun kembali memindahkan baju-bajunya dari lemari ke dalam koper.
"Ya, sepertinya menarik, sih," sahut Andi. Dia membetulkan posisi kacamatanya dan membalik beberapa lembar pertama novel tersebut. "Jadi, kamu kapan berangkat, Mas?" tanyanya sambil sibuk membaca novel yang menarik perhatiannya itu.
"Hari Rabu", jawab Dimas singkat. “Oya? Empat hari lagi, dong. Aku pikir masih minggu depan,” sahut Andi seolah tak percaya sahabatnya akan pergi lebih cepat dari dugaannya. “Iya, Ndi. Aku pikir juga begitu. Tapi tadi pagi aku baca ulang jadwal di kalenderku, dan papaku juga udah confirm kalau kami berangkat hari Rabu sore,” jawab Dimas sambil menutup koper birunya. "Makanya aku mulai nyicil ngerapihin baju dan barang-barangku dari sekarang. Dan oh, ngomong-ngomong, kamu udah dapat temen untuk gantikan aku buat patungan sewa rumah ini, belum?" lanjutnya.
Andi menutup novel tersebut sambil menghela napas. "Kamu 'kan tahu, aku gak punya teman di kampus. Siapa coba, yang mau berteman sama kutu buku seperti aku. Apa lagi untuk diajak tinggal serumah. Yang ada mereka pasti mati bosan sebelum bisa berteman sama aku."
"Hey, aku tinggal serumah sama kamu udah 3 bulan lebih, dan aku masih hidup, kok," sahut Dimas untuk menghibur hati sahabatnya itu. Keduanya pun tertawa kecil. "Dan kalau bukan karena papaku kebetulan pindah tugas ke Aussie, aku bakalan tetep tinggal di sini, kok," lanjut Dimas.
"Ya...ya...ya... kebetulan papamu pindah tugas ke Aussie, dan kebetulan kamu dapat beasiswa penuh dari Monash University. Ayolah, stop merendah, Mas! Kita udah bersahabat dari SMA, lho. Gak ada yang kebetulan di dunia ini! Geez!"
Dimas hanya bisa nyengir sambil garuk-garuk kepala menghadapi kelakar sahabatnya itu. Mereka pun tertawa sambil berpelukan.
"I'm gonna miss you, Buddy" ujar Dimas sambil memeluk Andi. "Me too", sahut Andi singkat. Kedua sahabat itu berpelukan erat, berusaha untuk merelakan jarak yang akan memisahkan persahabatan mereka demi masa depan masing-masing. Rumah dua kamar yang mereka sewa itu pasti akan terasa kosong setelah kepergian Dimas. Bahkan meskipun ada orang lain yang mungkin akan menghuni kamar Dimas nantinya, Andi tidak yakin suasana akan terasa sama.
"Hey, kamu nangis?" tanya Dimas penasaran ketika melihat mata Andi berkaca-kaca. "Tenang, sobat. Jarak gak bakal memutus persahabatan kita, kok. Kita masih bisa terus berkomunikasi."
"Iya, Mas. Aku tahu itu," jawab Andi dengan tegar sambil membenarkan posisi kacamatanya.
"Oh, wait. Ini pasti dia," ujar Dimas sambil terburu-buru meraih ponsel di saku celananya. Dia membaca pesan WhatsApp di ponselnya dan tersenyum sambil mengetik balasan. "Aku akan jemput dia di ujung jalan. Dia belum tahu posisi rumah ini," ujarnya sambil bergegas mengambil kunci motor di meja ruang tamu. Andi mengikutinya keluar dari kamar menuju ruang tamu.
"Dia? Siapa dia?" tanya Andi penasaran.
"Oh, sorry, aku lupa kasih tahu. Namanya Ryan. Kami sudah berteman dari SMP, dan dia juga salah satu teman nge-gym ku selama beberapa bulan terakhir ini. Minggu lalu aku sempat cerita ke dia kalau kamu lagi cari teman untuk lanjut patungan sewa rumah ini. Dia sepertinya tertarik, karena dia juga mau pindah dari apartemennya yang sekarang. Dan dia barusan kasih tahu kalau kalau dia mau lihat rumah ini sebelum ambil keputusan. Sekalian mau kenalan sama kamu juga."
"Oh, OK. Kamu udah kasih tahu dia tentang biaya sewa, dan yang lainnya?" tanya Andi.
"Ya...ya...ya... dia sudah tahu. Dan oh, aku mungkin harus kasih heads up ke kamu dulu, Ndi," jawab Dimas sambil berjalan balik ke arah Andi.
"Tentang apa?" tanya Andi mengernyitkan dahinya.
"Ummm.... gimana ya, ngomongnya. Gini deh. Simply put, Ryan ini sebenarnya baik. Tapi dia super cuek, dan kalau belum terlalu kenal dengan dia, kamu mungkin bakal ngerasa dia agak kasar. Well, ya, aku harus akui, cara bicara dia memang kasar, tapi sebenarnya dia baik, kok. Trust me," jawab Dimas berusaha meyakinkan sahabatnya itu.
"Oke, mungkin kita bisa kenalan dulu untuk tahu apakah ke depannya kita bisa saling merasa nyaman, saling support, I guess?" jawab Andi dengan agak ragu. Andi memang bukan orang yang mudah untuk bisa bergaul dengan orang lain, dan heads-up semacam ini dari Dimas membuatnya agak khawatir.
"Oke, cool. Aku akan jemput dia sekarang," sahut Dimas singkat sambil menepuk bahu sahabatnya, dan bergegas pergi.
Selang 10 menit kemudian, terdengar suara motor Dimas berhenti di depan rumah, diikuti suara deru rendah mobil yang mengikutinya. Di sudut sofa ruang tamu, Andi masih sibuk membaca novel The Picture of Dorian Gray. Mendengar suara motor Dimas, dia menjulurkan lehernya ke arah jendela dengan penuh rasa penasaran. Di luar sana terlihat tiga orang pemuda turun dari mobil sedan hitam yang mengikuti Dimas. Ketiganya terlihat bercanda ringan dengan Dimas, dan sayup-sayup terdengar suara Dimas mengajak mereka bertiga untuk masuk ke rumah.
Sesaat setelah mereka berempat masuk ke rumah, Dimas segera memperkenalkan mereka satu sama lain. Penampilan kedua pemuda yang saling diperkenalkan itu terlihat sangat bertolak belakang.
Andi yang berpenampilan super rapi seperti biasanya, saat itu sedang mengenakan kemeja hitam polos lengan pendek, ikat pinggang coklat, dan celana jin biru muda kesayangannya. Rambut semi ikalnya tersisir rapi, senada dengan alis tipis yang menghiasi sepasang mata indah yang bersembunyi di balik kacamatanya.
Sementara di hadapannya, pemuda bernama Ryan itu berdiri angkuh setengah mendongak, memamerkan jakun runcing penghias leher tegapnya. Dada bidangnya yang samar-samar terlihat di balik kaus putih tanpa lengan yang ia kenakan, terbusung gagah seolah mengamini auranya yang mendominasi. Rambut pendeknya yang lebat nampak sengaja hanya ia rapikan sekenanya, hitam legam tanpa cela, senada dengan sepasang alis tebal yang memayungi tatapan tajam dari mata indahnya.
"Andi, kenalin ini temanku yang aku ceritakan tadi, yang bakal gantikan aku. Andi, ini Ryan. Ryan, ini Andi" ujar Dimas membuka perkenalan mereka.
Dalam beberapa detik pertama, Andi tercengang melihat pemuda yang diperkenalkan Dimas itu. Perawakan Ryan yang tegap atletis setinggi 185 cm itu membuat Andi menelan ludah. Andi memang sering melihat teman-teman sekampusnya yang bertubuh atletis mondar-mandir di lapangan olahraga maupun di lorong gym kampus, tapi baru kali ini dia melihat dari dekat salah satu dari mereka, berdiri tegap di hadapannya.
Bak memandang patung seorang dewa agung Yunani, Andi menangkap jelas aura alpha Ryan yang jantan dan dominan, membuatnya merasa kecil dan tak berdaya.
Terpaku dalam kekagumannya, Andi perlahan mengalirkan pandangannya dari sorot mata Ryan yang tajam, menuju rahangnya yang terbentuk tegas, ditopang oleh leher dan bahu kekarnya yang berurat, serta terpana mengamati setiap lekuk otot yang memahat lengannya dengan sempurna. Lamunannya mendadak buyar ketika dia menyadari lengan kekar itu menyodorkan sederet jemari kokoh yang mengajaknya bersalaman. Andi berusaha keras menutupi kegugupannya dengan segera menyambut jabat tangan sang alpha.
"Andi," ujarnya singkat memperkenalkan diri sembari menjabat tangan Ryan. Tanpa dia sadari, semua orang di ruangan itu mengernyit heran melihat wajahnya yang merah padam.
Sambil mengguncang jabatannya perlahan, Ryan tak kuasa lagi menahan tawa. Ia melepaskan jabatan tangan mereka dan menepuk bahu Dimas sambil tertawa lepas, memamerkan sederet gigi putih tak bercela yang sedari tadi bersembunyi di balik bibir tebalnya yang menggoda.
"Dimas...Dimas! Jadi ini kutu buku yang sering kamu ceritakan itu?? Ini temanmu? Astaga... Aku sama sekali nggak nyangka kamu bisa punya teman seunik ini. Hahhaaha!" ujar Ryan sambil tertawa lepas. Wajahnya merah padam melepaskan gelak tawa yang menggelitik perutnya, sambil mencengkeram lemas bahu Dimas yang terhuyung masam menghadapi kekonyolannya.
PLAK! Dimas refleks menjitak kepala Ryan. "Asshole! Hargai perasaan orang, dong!"
Seketika itu juga, Ryan menarik semua garis tawa dari wajah tampannya. Ia berdehem, menoleh ke Andi, dan berkata singkat, "No offense, dude". Wajahnya semakin memerah karena menahan tawa yang mendorong kuat dari ulu hatinya.
"Very, very offensive..." sahut Andi lirih, mencoba membela diri di tengah situasi yang sangat tidak nyaman itu. Namun di balik ketidaknyamanannya, Andi seolah merekam setiap gerak-gerik Ryan dalam gerakan slow motion. Perhatian Ryan yang buyar karena tingkah kekonyolannya sendiri membuat Andi lebih leluasa untuk mengamati dan mengagumi pemuda yang baru dikenalnya itu. Wajahnya yang memerah, urat-urat lehernya yang mencuat, serta jakun runcingnya yang bergerak naik turun karena gelak tawanya itu, anehnya justru menimbulkan benih kekaguman dalam diri Andi. Logikanya mati. Seharusnya dia marah. Seharusnya dia malu. Karena dialah bahan tertawaan pemuda kasar itu. Tapi nyatanya berbeda. Di kala itu, Andi kalut dengan pikirannya sendiri.
Sementara itu, Dimas dan kedua orang temannya yang lain semakin merasa risih dengan kekonyolan Ryan. Terutama Dimas, yang sedikit menyesal telah memperkenalkan mereka berdua.
"Hey, aku Tomi. Aku teman nge-gym Ryan dan Dimas," ujar salah satu dari mereka sembari mengulurkan tangan ke Andi untuk berkenalan, sekaligus memecah suasana yang tidak nyaman itu. "Aku Rio," sahut teman yang lainnya, juga memperkenalkan diri ke Andi. Andi berusaha memasang senyum sesopan mungkin dan menyambut perkenalan mereka berdua.
"So, Ryan, ehm…" ujar Dimas membuka percakapan yang lebih serius. "Sekarang kamu sudah lihat rumahnya, dan kamu sudah mengejek calon roommate kamu!"
"Anjing!" seru Ryan mengaduh ketika Dimas menginjak kakinya saat mengakhiri kalimatnya.
"Sekarang gimana? Kamu jadi mau pindah ke sini? Kalau enggak jadi, kamu tahu di mana pintu rumah ini!" lanjut Dimas setengah kesal melihat Ryan.
"Wooo....wooo...woo.... slow dude... slow... aku tadi cuma bercanda," sahut Ryan sambil tertawa kecil. "Oke, ini," Ryan membuka tas ranselnya dan mengambil sebuah amplop coklat. Dia membuka amplop itu untuk mengintip isinya, menutupnya kembali, lalu menyerahkannya kepada Andi. "Aku tadi sempat mampir ke ATM. Kalau angka yang disebutkan Dimas emang bener, itu bagian uang sewaku selama tiga bulan ke depan." Andi menerima amplop itu dengan bingung tanpa bisa menjawab apa-apa. Dia melihat amplop itu di tangannya, memandang Ryan, lalu menoleh ke Dimas.
Pandangan bisunya seolah berkata, "What the hell is going on?" Dimas hanya bisa mengangkat bahu, seolah tahu apa yang dipikirkan Andi, karena dia juga sama bingungnya dengan Andi.
"Ini beberapa baju-bajuku," kata Ryan sambil meraih tas ransel dan tas gym besarnya dari lantai. "Dan... kamarku yang mana?" lanjutnya sembari berjalan cuek masuk ke ruang tengah, menunjuk dua pintu kamar dan menoleh ke Andi, mengharapkan jawaban.
Masih bingung dengan keputusan Ryan yang super cepat itu, Andi menunjuk ke salah satu pintu kamar tanpa berkata apa-apa. "Oke!" sahut Ryan singkat, dan langsung menuju ke arah kamar yang ditunjuk.
"Wooo....wooo...woo.... bentar...bentar..." ujar Dimas terburu-buru mengejar langkah Ryan. "Technically, itu masih kamarku. Beberapa barangku masih ada di sana. Kamu kapan mau pindah?" tanyanya. "Sekarang," jawab Ryan singkat sambil membuka pintu kamarnya.
"Umm...oke, aku sama Rio ambil barang-barangmu yang lain di bagasi ya!" teriak Tomi dari ruang tamu sambil langsung berjalan menuju mobil Ryan, diikuti oleh Rio. "Oke!!" sahut Ryan dari dalam kamar.
"Dude, kamu serius mau pindah sekarang? Dan setelah kamu ngejek Andi habis-habisan seperti itu? Otakmu di mana??" tanya Dimas dengan nada kesal.
"Lah, siapa yang ngejek? Aku kan cuma bercanda tadi, njing. Lagian, aku udah capek muter-muter cari kontrakan, dan rumah ini yang paling deket sama kampus. Tinggal jalan kaki doang. Dan temenmu yang unik itu...."
"Eh, bangsat. Nih, dengerin ya," potong Ryan. "Andi itu temenku dari SMA. Dia memang agak susah bergaul sama orang baru, tapi bukan berarti kamu..."
"Bukan berarti kamu pacarnya, kan?" potong Dimas sambil terkekeh.
PLAK! Dimas menjitak kepala Ryan lagi. "Sembarangan!"
"Lah, lagian?" sambung Ryan sambil meringis menggaruk kepalanya, "kamu protective banget sih sama dia. Becanda sama teman, wajar kan?"
Sementara Dimas dan Ryan bertengkar di kamar mereka, dan Rio membantu Tomi mengeluarkan beberapa barang Ryan dari mobil, Andi masih berdiri melongo di ruang tamu. Sesekali dia melihat ke arah kamar, lalu melihat ke arah teras rumah, dan dia bertanya ke dirinya sendiri, "Jadi, aku dapat teman baru?281Please respect copyright.PENANAjNkkwz9Gf2