"Kamu ngerasa ada yang aneh dari Andi, enggak?" tanya Ryan ke Tomi. Tangannya masih sibuk memindahkan baju dari koper ke dalam lemari kayu di sudut kamar barunya itu.
"Enggak. Emang kenapa?" sahut Tomi yang masih sibuk dengan ponselnya di kursi sudut kamar.
Ryan menutup pintu lemari dan terdiam sejenak. Ia lalu menutup resleting koper, menaruhnya ke atas lemari dan berjalan ke arah kasur. “Hmm…” gumamnya sembari duduk di sisi ranjang. "Cara dia ngelihat aku tadi, kayak mau nelan aku hidup-hidup dari tatapannya. Ga tahu, aku ngerasa aneh aja. Masa kamu sama sekali enggak perhatikan gimana gugupnya dia tadi?"
"Aneh gimana sih?" Tomi balik bertanya. Dia mematikan ponselnya dan mengubah posisi duduknya menghadap Ryan. "Kan si Dimas udah pernah bilang kalau dia itu emang kurang bisa bergaul sama orang baru. Bisa jadi dia punya social anxiety.”
“Maksudnya?” tanya Ryan mengernyitkan dahi.
“Bisa jadi tatapan Andi yang intens tadi itu bukan untuk nge-judge kamu. Justru mungkin itu cara dia yang secara enggak sadar mengekspresikan ketakutannya untuk di-judge orang yang baru dia kenal,” jelas Toni. “Emang kenapa kamu nanya gitu? Risih?"
"Penasaran aja," jawab Ryan singkat sambil mengangkat bahunya. “Dan meskipun penjelasanmu masuk akal, aku masih ngerasa ada yang aneh aja,” sambungnya sembari berdiri dan meloloskan kaus putihnya.
Tak berapa lama kemudian, Rio datang menyorongkan koper hitam besar ke dalam kamar. "Nih, barangmu yang terakhir.” “Sip. Thanks,” sahut Ryan meraih koper itu.
“Lumayan luas,” gumam Rio. Sekilas pandangannya menyapu seisi kamar baru Ryan. Sebuah lemari kayu dua pintu berdiri kokoh di sudut ruangan dengan koper Ryan bercokol di atasnya. Dua nakas kecil dengan lampu tidur Bali mengapit kasur berdipan kayu di tengah ruangan.
“Ya, kurang lebih sama lah kayak kamar di apartemenku yang lama,” sahut Ryan sambil jongkok mencari handuk di dalam tas gym-nya.
“Eh, ngomong-ngomong, kalian ngobrolin apa barusan? Kok tiba-tiba diam pas aku masuk?" tanya Rio.
Dari sudut kamar, Toni dengan entengnya menjawab, "Ryan curiga kalau Andi itu gay."
"WHATT???" Ryan dan Rio serempak berteriak. "No...no...no... Aku enggak bilang kalau dia itu gay. Aku cuma ngerasa cara dia ngelihat aku itu aneh. That's it!" seru Ryan membela diri.
"Well, kalau dipikir-pikir lagi, Ryan ada benernya juga sih", kata Rio. "Tadi itu aku ngelihat Andi kayak star-struck gitu ngelihat Ryan. Ekspresi wajahnya kayak fans yang baru ketemu sama idolanya, hahahaha!"
"Ssshhhhh!!!...." Tomi memberi isyarat kepada Rio untuk diam sambil melotot ke arahnya. Rio mendadak tersadar, membungkam mulutnya sendiri, dan perlahan mengintip dari celah pintu ke arah ruang tamu. Dia melihat Andi sedang sibuk membaca di ruang tamu, dan dia sepertinya tidak mendengar percakapan mereka. Rio balik badan perlahan sambil terkekeh kecil, dan berkata kepada Tomi setengah berbisik, "Sorry... aku lupa kalau orangnya ada di sini... Hihihihi..."
Sementara itu, di sofa sudut ruang tamu rumah dua kamar itu, Andi terhanyut dalam novel yang dibacanya, sambil sesekali menyeruput teh hangat buatannya. Sofa kulit klasik berwarna coklat tua itu memang tempat favoritnya untuk membaca di siang hari jika dia tidak sedang ada tugas atau di akhir pekan, karena semilir angin yang lolos dari jendela kaca besar di samping sofa tersebut berhembus lembut menerpa wajahnya, memberinya kenyamanan tersendiri.
"Baca apa kamu, Ndi? Serius amat," kata Rio sambil berjalan ke arah Andi, diikuti oleh Tomi. "Oh, ini, novel yang aku pinjam dari Dimas tadi," jawab Andi sambil menunjukkan buku tersebut ke arah Rio. Kedua pemuda itu lalu duduk di seberang Andi. "Ada apa, Rio? Tomi?" tanya Andi gugup.
Menyadari kegugupan Andi, Tomi buru-buru menjawab, "Oh, enggak ada, aku sama Rio cuma mau ngajak ngobrol aja, kok. Well, karena sekarang Ryan tinggal di sini, dan kami mungkin bakal sering-sering main ke sini juga," "Dan kita baru sempat saling berkenalan nama aja tadi, jadi ya... cuma mau ngobrol-ngobrol untuk kenal lebih dekat aja. Hitung-hitung tambah teman, kan?" sambung Rio sambil mengangkat alis kanannya. Andi mengangguk, tersenyum tipis mendengar penjelasan mereka. Awalnya Andi sempat khawatir kalau mereka akan mem-bully dia juga seperti Ryan, tapi tak disangka, mereka berdua terlihat lebih bersahabat dibanding Ryan. Well, lebih tepatnya, Tomi yang terlihat lebih bersahabat di antara mereka bertiga. Rio terlihat agak sedikit terpaksa mengimbangi 'keramahan' Tomi.
Dari posisi Andi, dia dapat mengamati kedua teman barunya itu dengan seksama, walau agak terhalang meja kecil dengan vas bunga dan secangkir teh di hadapannya. Keduanya dikaruniai tubuh yang cukup atletis, sama seperti Ryan. Mungkin karena mereka bertiga sama-sama rajin berlatih di gym kampus. Andi sekilas melihat tato kecil menghiasi lengan kekar Rio yang kemudian tenggelam di balik kaus biru muda ketat yang dikenakannya saat itu. Sementara si baby-face Tomi yang terlihat lebih langsing dari Rio, saat itu mengenakan kaus abu-abu yang tidak terlalu ketat, namun dada bidangnya tercetak tegas ketika ia duduk bersandar.
"Ngomong-ngomong, kamu satu jurusan sama Dimas ya, Ndi?" tanya Rio membuyarkan lamunannya. Secepat kilat, dia alihkan pandangannya dari dada bidang Tomi ke arah Rio. "Iya, kami sama-sama di arsitektur," jawab Andi singkat sambil tersenyum tipis, seolah memamerkan lesung manis di pipi kirinya. "Tapi kami sudah bersahabat dari SMA. Orang tua kami juga saling kenal, karena papa kami dulu sama-sama kuliah di fakultas kedokteran UGM", lanjutnya.
"Oh, jadi papa kamu dokter, ya?" tanya Tomi. "Iya, dan papaku awalnya pengin aku kuliah kedokteran juga, tapi ya, aku pilih jurusan arsitektur karena memang passion-ku di sini" lanjut Andi. "Oh ya, kalian udah lama juga kenal sama Dimas?" tanya Andi kepada mereka. "Belum terlalu lama, sih. Ryan yang kenalin kita bertiga, karena dia yang waktu itu ngajak Dimas buat nge-gym bareng," jawab Rio. "Lebih tepatnya, dia maksa aku buat nemenin dia nge-gym, hahaha" sahut Dimas sambil berjalan dari arah kamar Andi, dan duduk di sebelahnya. "Eh, aku barusan taruh koper-koperku di kamarmu, sorry ya, kalau kamarmu jadi agak lebih sempit sekarang," ujar Dimas sambil menepuk bahu Andi. "Si Ryan kan udah resmi pindahan ke sini, jadi ya mau enggak mau, aku numpang tidur di kamarmu aja dulu untuk dua hari ke depan", lanjutnya. Andi setengah terkejut memandang Dimas. "Oh, oke", jawabnya singkat. "Thanks, Buddy," kata Dimas sambil tersenyum.
"Eh, ngomong-ngomong, si Ryan ke mana?" tanya Andi ke Tomi. "Dia lagi mandi, mau balik bentar ke apartemennya yang lama. Aku sama Rio sekalian nebeng pulang tar," jawab Tomi.
Beberapa menit selanjutnya, mereka bertiga lanjut mengobrol ringan. Ya, mereka bertiga, karena Rio lebih banyak diam sementara Tomi terus mengoceh, berkelakar, diimbangi dengan candaan Dimas, dan sesekali Andi ikut menimpali obrolan mereka. Dari obrolan singkat mereka, Andi pun mengetahui bahwa Ryan dan Rio mengambil jurusan yang sama, yaitu hukum, sedangkan Tomi mendalami ilmu komunikasi.
Tak lama kemudian, Ryan keluar dari kamar sambil menenteng tas gym hitamnya. Tomi dan Rio pun segera berpamitan, dan menyusul langkah Ryan ke mobilnya.
"Mas, kamu yakin mau tidur di kamarku selama dua malam ini?" tanya Andi dengan sedikit ragu, setelah menutup pintu rumah. Dimas tampak bingung dengan pertanyaan Andi. "Kenapa aku harus enggak yakin?" Dimas bertanya balik. Andi menunduk sambil membenarkan posisi kacamatanya dan menjawab dengan sedikit tercekat, "Kamu tahu kan, kalau aku..." "Kalau kamu ngorok pas tidur?" potong Dimas. Tawa kecil Andi terlepas mendengar candaan sahabatnya itu. "Bukan, bukan itu maksudku," jawab Andi.
"Ndi, kita berteman bukan dari kemarin sore, santai aja. Kamu enggak pernah permasalahkan aku yang lebih suka makan sate kambing daripada sate ayam, kan? Jadi kenapa aku harus permasalahkan apa yang kamu suka dan apa yang enggak kamu suka? Straight, gay, queer, itu semua hanya label. For what it's worth, we both are best friends." "Ya, sih", jawab Andi lirih. "All good, Buddy," sambung Dimas sambil tersenyum dan menepuk bahu Andi, untuk menghibur sahabatnya itu.
Jam digital di meja belajar Andi menunjukkan pukul 22:09. Dia masih sibuk menulis beberapa catatan kecil di bukunya saat Dimas keluar dari kamar mandi. "Aku tidur duluan ya," kata Dimas sambil merapikan rambutnya di depan cermin besar di sudut kamar. "Oke", jawab Andi singkat. Dia lalu menutup bukunya, mematikan lampu bacanya, lalu berjalan ke arah kamar mandi. "Aku juga mau tidur, udah ngantuk," lanjutnya.
Beberapa menit kemudian, Andi melihat Dimas yang saat itu mengenakan kaus singlet putih dan celana boxer hitam, sudah tertidur saat ia keluar dari kamar mandi. Andi tersenyum tipis ketika ia menyadari bahwa Dimas terlihat ganteng dan menggemaskan ketika tertidur pulas seperti bayi. Setelah mengenakan piyama kesayangannya, Andi berbaring perlahan di sisi Dimas. Sangat perlahan. Dia tidak ingin membangunkan sahabatnya itu.
"Pakai aja selimutnya. Aku enggak terbiasa tidur pakai selimut" kata Dimas dengan suara parau. Andi terkejut mendengarnya, karena ia pikir Dimas sudah tertidur. "Eh, belum tidur?" tanya Andi setengah berbisik. "Tadi udah" jawab Dimas singkat. Dia lalu memiringkan badannya menghadap ke arah Andi, dan menyangga kepalanya dengan tangan kanannya. "Tapi aku kebangun barusan, waktu kamu naik ke kasur" lanjutnya dengan suara parau dan matanya yang merah. "Eh, sorry. Aku ganggu tidur kamu ya?" tanya Andi sambil memalingkan wajahnya menghadap ke Dimas.
Mereka pun beradu pandang dengan sangat dekat, dan lekat. Andi diam-diam memperhatikan sahabatnya, karena mereka belum pernah 'sedekat' ini sebelumnya. Ia terkejut sekaligus kagum melihat lekuk otot yang menghiasi setiap jengkal lengan kekar Dimas dan dada bidangnya yang tercetak di balik kaus singletnya itu.
"Enggak, kok. Mungkin karena aku enggak terbiasa punya teman tidur," jawab Dimas sambil tersenyum tipis, dengan berusaha menahan kantuknya. Entah mengapa, senyum Dimas kala itu membuat Andi tersipu.
"Ya udah kalau gitu. Good night, Mas!" jawab Andi dengan cepat mengalihkan pandangannya dan berbalik memunggungi Dimas. Dia tidak ingin Dimas melihat ekspresi wajahnya yang tersipu malu. "Good night, Ndi!" jawab Dimas singkat.
Tiga puluh menit berlalu, Andi masih belum bisa tidur juga. Pikirannya masih berkecamuk tak karuan. Dia belum pernah tidur dengan pria lain, apalagi pria seganteng Dimas. Sebagai penyuka sesama, tentu Andi merasa sangat canggung, terlebih ketika alam bawah sadarnya tergoda untuk membayangkan hal-hal yang ingin ia lakukan ketika seorang pria berbaring di sisinya. Dan yang membuat situasi menjadi lebih canggung, Dimas adalah sahabatnya!
Di tengah perjuangannya untuk meredam kekacauan batinnya, Andi terkejut ketika tangan Dimas tiba-tiba memeluknya erat dari belakang. Dia sangat yakin bahwa Dimas tidak sengaja memeluknya, karena ia mendengar dengkur lirih sahabatnya itu.
No, Andi tidak hanya mendengarnya, tapi ia merasakannya!
Wajah Dimas sepertinya hampir menempel ke leher belakang Andi, sehingga ia dapat merasakan setiap hembusan napas hangat Dimas yang hangat di tengkuknya.
Andi memejamkan mata semakin erat. Dia tidak berani bergerak sedikit pun. Dia galau. Namun… kegalauannya perlahan menjelma menjadi kenyamanan. Rasa nyaman dan aman berada di dalam pelukan. Pelukan pria pertama dalam hidupnya. Dan rasa nyaman itu, membawanya… terlelap… tidur...285Please respect copyright.PENANA44CUqsoyqE
285Please respect copyright.PENANAp6tzqkxgCV