Kau amat indah dengan wajah yang berseri-seri membuat siapapun akan terpana bahkan, takjub akan pancaran wajahmu. Kursi besi itu tak menyurutkan semangatmu untuk bisa bersentuhan langsung dengan hamparan pasir dan ombak yang menerjang. Alunan teriakanmu juga terdengar bagaikan melodi simfoni di tengah panasnya pantai. Sungguh menyenangkan sekaligus merisaukan.
Aku takut ada gelombang besar yang bisa menyeretmu. Tak dipungkiri memang aku memegang erat kursi rodamu tapi, jikalau ada ombak besar entahlah tenagaku tak begitu kuat untuk mempertahankanmu.
"Zar, kita kesana dulu yuk. Neduh."
"Di sini aja. Ta kalau aja Ara masih ada ya, pasti dia bakalan pengen nyelam. Katanya dia mau bareng aku, liat ikan laut."
Aku tak ingin membalas ucapannya sebab, hanya akan membuat dia mengingat Ara, tunangannya.
Seketika wajahnya berubah menjadi sendu sarat akan kehilangan. Matanya berembun, tangannya juga terkepal erat.
"Eh Zarky itu ada ikan."
"Seberapapun aku berusaha buat melupakan Ara, gak bakalan bisa. Apalagi kejadian itu terus terekam di otakku."
Kecelakaan itu merenggut semua harapannya untuk menikah dengan Ara. Aku teramat sedih melihat cahaya cintaku seperti ini. Frustasi seakan tak ada hal lain selain memikirkan Ara. Selalu dia yang terpikirkannya. Seakan tak peduli dengan orang-orang di sekitarnya yang terus mencoba membuatnya bangkit.
Aku paham, Zarky sedih melihat orang yang dicintainya terenggut nyawanya di depan matanya sendiri. Apalagi waktu itu, dia tidak bisa berbuat apa-apa karena kakinya terjepit. Tapi apakah dia tau tak hanya dia yang merasa patah hati? Aku juga merasakannya, melihat orang yang kucintai diam-diam seperti ini. Terus bermurung, seakan tak ada gairah hidup. Aku pikir ketika membawanya ke tempat kesukaannya, dia akan sedikit melupakan Ara. Tapi ternyata tidak, hanya sebentar dia melupakannya. Sungguh efek Ara sangat besar bagi Zarky, bahkan ketika dia sudah tiada.
Aku sungguh benci hal itu.