Pagi ini kabut tipis menggantung di halaman depan rumah Mira dan Rian. Angin pagi berembus lembut, tetapi dinginnya menusuk hingga ke hati Mira. Ia berdiri di depan rumah, menatap suaminya, Rian, yang sedang bersiap pergi.
Koper hitam besar tergeletak di dekat kakinya, seolah menjadi simbol beratnya keputusan yang harus mereka ambil. Hari ini, Rian akan berangkat ke Malaysia sebagai TKI, meninggalkan Mira dan anak mereka, Farel.
Rian menunduk, berjongkok di depan Farel yang memeluk erat kakinya. Mata anak itu berkaca-kaca.
“Ayah, jangan pergi. Farel mau Ayah di sini aja,” kata Farel dengan suara kecil yang terdengar rapuh. Tangannya menggenggam tangan Rian sekuat tenaga, seolah tidak ingin melepaskannya.
Mira berdiri di samping mereka, air matanya jatuh tak terbendung. Hatinya perih melihat Farel yang masih terlalu kecil harus menerima kenyataan ini. Namun, Mira tahu mereka tidak punya pilihan. Ekonomi mereka semakin sulit.
Rian memeluk Farel erat-erat, mencium keningnya lembut. “Farel, Ayah harus pergi supaya kamu bisa sekolah. Supaya kamu bisa makan enak. Ayah janji, Ayah akan pulang secepatnya,” ucapnya dengan suara yang bergetar.
Farel hanya menangis di pelukan ayahnya. Mira menunduk, mencoba menyembunyikan tangisnya di balik tangan. Ia tahu, sebagai istri, ia harus kuat, tetapi kenyataan ini begitu sulit diterima. Suami yang selama ini menjadi tempatnya bersandar akan pergi jauh ke negeri orang, dan ia tidak tahu kapan mereka akan bertemu lagi.
Darma dan Sri, berdiri di dekat pagar. Sri menggenggam tangan suaminya, Darma, dengan erat, mencoba menahan isak tangis. Darma, yang biasanya tegar, terlihat tak berdaya.
“Rian, jaga dirimu baik-baik di sana. Jangan lupa kabari kami. Doa kami selalu menyertaimu,” kata Darma dengan suara pelan namun penuh makna.
Rian berdiri, menatap Mira dengan mata yang penuh rasa bersalah dan cinta. “Mira… maafkan aku harus pergi. Aku janji, aku akan kirim uang untuk kalian, dan aku akan pulang secepatnya. Farel jangan nakal ya selama ditinggal ayah.”
Mira mengangguk sambil menangis. “Mas, hati-hati di sana, ya. Kami akan selalu menunggu kamu pulang…”
Suara mobil jemputan yang mendekat membuat waktu terasa semakin cepat berlalu. Farel kembali meraih tangan ayahnya dengan tangisan keras. “Ayah, jangan pergi! Jangan pergi!”
Rian memeluk Farel untuk terakhir kalinya, kemudian berdiri dengan berat hati. Ia mengambil koper hitamnya, melangkah menuju mobil yang sudah menunggunya di tepi jalan. Mira memeluk Farel erat, mencoba menenangkan anaknya yang terus menangis.
Ketika mobil itu perlahan bergerak, Mira hanya bisa berdiri mematung. Pandangannya tak lepas dari kendaraan yang membawa suaminya pergi. Air matanya mengalir deras, menggambarkan betapa beratnya perpisahan ini.
Sri mendekati Mira, memeluk bahunya dengan lembut. “Nak, sabar ya… Tuhan pasti menjaga Rian di sana. Semua ini demi masa depan kalian.”
Mira mengangguk kecil sambil memeluk Farel yang terus menangis di pelukannya. Dalam hati, ia hanya bisa berdoa agar Rian selamat dan suatu hari akan kembali pulang, membawa kebahagiaan yang selama ini mereka impikan.
Di depan rumah itu, Mira hanya bisa berdiri dalam diam, menatap jalan yang kini kosong, berharap keajaiban akan segera membawa suaminya kembali. ***
ns 15.158.61.8da2