Rian, suami Mira, adalah pria berusia 32 tahun dengan tubuh yang kekar dan kuat. Ia bekerja sebagai mekanik motor di kota.
Tingginya sekitar 170 cm, dengan bahu lebar dan lengan yang berotot. Otot-otot tersebut terbentuk secara alami, bukan dari latihan olahraga, melainkan dari mengangkat mesin berat dan alat-alat mekanik di bengkelnya.
Kulit Rian berwarna coklat gelap, sedikit lebih gelap dari kulit Mira, hasil dari paparan sinar matahari selama ia bekerja di bengkel terbuka. Rambutnya hitam pekat, pendek, dan sering kali berantakan karena ia lebih peduli pada pekerjaannya daripada penampilan.
Wajah Rian tirus dengan rahang tegas, memberikan kesan pria yang tegas dan pekerja keras. Matanya berwarna hitam, dalam dan tajam, mencerminkan ketekunan serta keuletannya dalam menghadapi hidup.
Hidungnya tidak terlalu mancung, tetapi proporsional dengan wajahnya, sementara bibirnya tipis dan sering terlihat mengatup, menandakan kebiasaan Rian yang jarang berbicara panjang lebar kecuali jika diperlukan.
Rian memiliki postur tubuh yang sedikit membungkuk ke depan, hasil dari kebiasaan membongkar mesin di meja kerja yang rendah.
Rian adalah pria yang penuh tanggung jawab, terutama terhadap keluarganya. Setiap tetesan keringatnya adalah demi Mira, Farel, dan masa depan keluarga kecil mereka.
Namun belakangan ini, keluarga Rian mengalami masalah ekonomi. Dia tidak bisa mencukupi kebutuhan semua kebutuhan rumah tangga. Sehingga kadang harus meminta kepada orangtuanya maupun berhutang ke orang lain.
Rian menyampaikan pada Mira, jika bengkel tempat kerjanya sudah tidak seramai dulu, sehingga gajinya diturunkan dan sudah tidak mendapat bonus kerja.
Mira memaklumi alasan dari Rian. Mira kemudian membantu ekonomi keluarga dengan berjualan makanan ringan. Ia juga mendapat tawaran sebagai guru TK di desanya. Mira yang punya pendidikan lumayan, mengambil kesempatan tersebut.
Sebelum hari sudah gelap, Rian sudah tiba di rumah. Terlihat kaosnya lusuh yang sering terkena noda oli dan celana panjang dari bahan denim yang sudah mulai usang. Sepatu kerjanya penuh bekas goresan dan kotoran.
Mira adalah wanita yang setia kepada suaminya. Ia terus bersabar dengan kondisi ekonomi saat ini. Sebenarnya Darma sudah banyak membantu mereka. Darma kerap memberi mereka uang untuk mencukupi kebutuhan mereka.
Namun Rian dan Mira tidak bisa seterusnya mengandalkan Darma. Keduanya juga malu jika terus-terusan disokong oleh Darma. Mangkanya Rian memilih untuk berhutang kepada orang lain untuk menutupi kebutuhan mereka, terutama biaya sekolah anaknya.
“Mas, kalau mau mandi bisa pakai air hangat, itu sudah saya siapkan. Setelah itu kita bisa makan bareng,” ucap Mira ketika menyambut kedatangan Rian. Ia begitu perhatian pada suaminya.
“Iya, terimakasih banyak sayang,” jawab Rian.
Kondisi ekonomi mereka lambat laun makin parah. Hutang Rian juga makin menumpuk dan terus dikejar-kejar oleh temannya untuk menagih.
Sampai akhirnya, pada suatu hari suasana rumah Rian dan Mira memanas. Rian setelah pulang dari bengkel, wajahnya kusut dan penuh beban.
Mira, yang sejak pagi sibuk mengurus Farel dan pekerjaan rumah, menunggu di ruang tamu dengan raut wajah tegang.
“Aku sudah tidak tahan lagi, Mas,” ucap Mira, memulai percakapan. Suaranya bergetar, campuran antara lelah dan marah.
“Tagihan listrik hampir diputus. Hutang ke warung terus bertambah. Sampai kapan kita hidup begini?” tanya Mira. Ia sudah lama bersabar, namun pada akhirnya Mira tidak bisa menahan hal ini.
Rian menghela napas panjang, lalu duduk di kursi tanpa menatap Mira. “Aku sudah bilang, bengkel lagi sepi, Mir. Aku bukannya nggak usaha!” ucap Rian dengan nada lumayan tinggi.
“Tapi setiap kali aku tanya uang hasil kerja, Mas selalu bilang habis! Bengkel sepi, itu alasan yang Mas pakai terus. Tapi apa benar semua ini cuma karena bengkel? Aku nggak yakin,” Mira menatap Rian tajam.
Rian mendadak gugup. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, menghindari kontak mata dengan Mira. “Maksudmu apa? Kamu nggak percaya sama aku sekarang?” tanya balik Rian.
Mira berdiri dari tempat duduknya, melipat tangan di depan dada.
“Aku tahu ada yang nggak beres, Mas. Aku dengar dari Bu Wati, istri Pak Hendra. Katanya dia pernah lihat Mas masuk ke warung kopi itu. Katanya tempat itu sering dipakai buat main judi online. Apa benar, Mas?!” tanya Mira.
Rian langsung bangkit dari duduknya. “Kamu denger dari siapa pun, jangan langsung percaya! Itu omong kosong!” bentaknya. Suaranya terdengar lebih keras dari yang seharusnya, seolah berusaha menyembunyikan sesuatu.
“Tapi kenapa uang kita selalu habis? Kenapa hutang terus menumpuk? Mas, aku butuh jawaban jujur! Jangan bohong lagi!” Mira mendekat, tatapannya semakin tajam, matanya berkaca-kaca.
Rian terdiam sejenak. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Ia berdiam sejenak. Akhirnya, ia menyampaikan yang sebenarnya. Karena tidak mau berlarut-larut dalam pertengkaran ini.
“Iya, Mir. Aku... aku pernah main. Sekali, dua kali, tapi….” kata Rian.
“Sekali dua kali?” Mira memotong dengan suara tinggi. “Sekali dua kali apa sering sebenarnya, Mas?!” tanya Mira, matanya memerah.
Rian mendongak, marah karena merasa terpojok. “Aku cuma coba peruntungan! Aku pikir bisa menang, bisa bayar hutang lebih cepat. Tapi—tapi malah tambah berantakan!” Rian bersuara lebih kencang.
Mira memegang kepalanya, tubuhnya gemetar. “Mas pikir ini lelucon? Ini keluarga kita, hidup kita! Kalau memang bengkel lagi sepi, kita bisa cari jalan lain! Tapi judi? Mas tahu itu nggak akan pernah menyelesaikan masalah!” ucapnya.
“Aku tahu aku salah!” balas Rian, nadanya lebih rendah tapi masih emosional. “Aku juga nggak mau begini, Mir. Aku tertekan! Aku cuma ingin cari jalan keluar, tapi malah makin rumit. Aku...”
Mira menggeleng, air matanya mulai jatuh. “Aku nggak bisa percaya lagi, Mas. Aku bantu kerja keras tiap hari, ngurus Farel, hemat sebisa mungkin, tapi Mas malah main judi? Apa ini yang namanya tanggung jawab?” ucap Mira.
Rian mencoba mendekati Mira, tapi Mira mundur satu langkah. “Aku bakal perbaiki semuanya, Mir. Aku janji. Aku bakal berhenti,” ujarnya.
“Tapi apa aku bisa percaya, Mas? Janji nggak berarti apa-apa kalau terus diulang-ulang. Aku capek, Mas,” kata Mira.
Hening menyelimuti ruangan. Farel, yang sedang tidur di kamar, tiba-tiba menangis, seolah merasakan ketegangan di antara orang tuanya.
Mira langsung pergi ke kamar untuk menenangkan anaknya, meninggalkan Rian sendirian dengan rasa bersalah yang semakin menyesakkan dada.
Malam itu, Rian duduk diam di ruang tamu, memandangi lantai. Ia tahu bahwa ia telah menghancurkan kepercayaan Mira, dan memperbaiki semuanya tidak akan semudah sekadar ucapan.
Tapi satu hal yang pasti, jika ia tidak segera mengambil tindakan, ia bisa kehilangan semuanya. Rian pun memutar otak, bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Bagaimana cara agar memperbaiki perekonomian mereka. ***
985Please respect copyright.PENANAeyPNvkZRrF