
Di ronde kedua ini, aku dan Bu Maya dipaksa diajak masuk ke dalam kolam renang yang dingin. Namun, sensasi sejuk itu hanya sementara, karena tubuh kami yang sudah membara oleh gairah segera membakar air di sekitar kami.Para tamu dengan liar langsung meraba-raba tubuh telanjang kami. Jari-jari mereka menelusuri lekuk tubuh, mencubit gemas puting susu, dan meremas pantat berisi kami."Ahh... Jangan berhenti," aku mendesah parau, tubuhku bergidik nikmat merasakan sentuhan-sentuhan memabukkan itu.Bu Maya pun tak kalah responsif. Tubuh rampingnya melengkung indah saat tangan-tangan nakal mencari-cari titik sensitifnya. Desahan erotis terus mengalun dari bibirnya yang terbuka, membuat siapa pun yang mendengarnya mabuk kepayang.Air kolam yang sejuk kini seakan mendidih. Suara kecipak dan percikan air mengiringi erangan serta rintihan penuh birahi yang memenuhi udara. Kami benar-benar menjadi pusat perhatian, dipuja dan diperlakukan bagai ratu-ratu nafsu.
Mmmmh... tubuhku seolah tersengat listrik kenikmatan setiap kali lidah asing itu melesak masuk, membelitku dalam ciuman panas nan liar. Tak peduli siapa yang sedang mencumbuku, aku menyambutnya dengan antusias, membalas lumatan dan jilatan itu dengan sama panasnya.Dinginnya air kolam yang membasahi kulit telanjangku malah menambah sensasi yang luar biasa. Setiap sentuhan, setiap remasan di tubuhku terasa berlipat ganda, membuat tubuhku seakan terbakar oleh gairah yang tak terbendung."Ahhh... Lebih dalam lagi..." aku mendesah di sela-sela ciuman, tak peduli lagi siapa gerangan yang sedang menikmati bibirku. Yang kuinginkan hanyalah kepuasan, kenikmatan yang akan membawaku terbang ke puncak surga duniawi.Tubuhku melengkung indah, seakan mempersembahkan diri untuk dipuja dan dieksploitasi habis-habisan. Nafsuku benar-benar di luar kendali, hanya ingin terus-menerus digeluti dalam permainan birahi yang tiada akhir.
Ryan duduk di tepi kolam renang, kakinya terjulur masuk ke dalam air yang beriak. Dengan gerakan sensual, ia membuka lebar pahanya, memamerkan kontol tegangnya yang mengacung menantang.Tanpa membuang waktu, aku dan Bu Maya langsung menyambutnya. Dengan penuh semangat, kami bergantian melahap batang keras itu, mengulum dan menjilatinya penuh gairah.Sementara mulut kami sibuk memuaskan kejantanan Ryan, para tamu lain tak tinggal diam. Tangan-tangan nakal meraba dan meremas-remas putting susuku yang menegang, membuatku semakin terbuai dalam ombak kenikmatan yang menyapu seluruh tubuhku."Aaahhh... Terus, jangan berhenti!" aku mendesah parau di sela-sela kegiatanku, merasakan cairan nikmat mulai merembes keluar dari vaginaku yang basah dan berdenyut.Atmosfer penuh birahi semakin pekat, seolah siap meledak kapan saja.
Ryan lalu sepenuhnya masuk ke dalam kolam, membiarkan pinggang ke bawahnya terbenam di dalam air yang beriak."Tahan nafas kalian, Sakura, Hijab!" ia memerintah dengan suara berat penuh dominasi. Tanpa membuang waktu, Ryan langsung mencengkeram wajah kami dan membenamkannya ke dalam air kolam.Aku sedikit panik, berusaha keras menahan nafas sementara tanganku dan Bu Maya dengan liar mengocok kontol Ryan yang mengacung tegak di bawah sana. Sesekali kami menciumnya dalam, lidah kami membelitnya penuh gairah.Sensasi tercekik, datar dan dinginnya air, serta kenikmatan yang menyerang indera kami melebur menjadi satu, membuat seluruh tubuhku seakan meledak oleh gejolak birahi yang tak terkendali.Aku tak tahu berapa lama kami bertahan di dalam sana, tapi yang jelas ketika akhirnya kami mendapat kesempatan untuk muncul ke permukaan, seluruh tubuhku terasa lemas, seakan nyawaku hampir melayang karena kehabisan nafas.
Dalam jurang nafsu yang semakin dalam ini, kami tak ubahnya seperti ikan-ikan kecil yang terperangkap dalam jaring raksasa. Setiap kali kami mencuat ke permukaan untuk menarik nafas, kami disambut oleh lumatan-lumatan ganas dari bibir-bibir haus akan kepuasan.Mereka memperlakukan kami dengan kasar, seolah tak puas hanya dengan menyentuh. Jari-jari nakal meremas-remas payudara kami, lidah menjilat leher dan badan, sementara tangan lain menelusup ke dalam selangkangan, mencari-cari titik nikmat yang tersembunyi.Wig pink yang kukenakan sudah lepek oleh air, melekat erat di kulit kepalaku. Sementara cadar dan jilbab Bu Maya yang basah kuyub juga tak lagi menyembunyikan lekuk wajah cantiknya yang kini tersaji jelas di hadapan mata para tamu. Kami tak ubahnya boneka-boneka penurut yang siap disantap kapan pun mereka mau. Rontaan dan penolakan hanyalah buang-buang tenaga, karena pada akhirnya kami akan selalu berakhir di bawah kuasa nafsu mereka yang menggebu.Terus, terus, dan terus. Permainan ini seakan tak akan pernah berhenti sampai kami berdua benar-benar kehilangan kesadaran.
Puas 'membilas' wajah kami, Ryan langsung menggendongku dan menurunkanku ke dalam kolam. Air yang semula terasa dingin kini seakan membakar kulitku, bercampur dengan sensasi nikmat saat Ryan mulai menghujamkan kontolnya ke dalam vaginaku.Aku mengeratkan peganganku pada pinggiran kolam, berusaha menjaga keseimbangan sementara Ryan terus menghentak-hentakkan pinggulnya dengan liar. Setiap sodokan yang dalam membuatku menjerit tertahan, merasakan kenikmatan luar biasa yang seakan menyengat seluruh syarafku.Di sisi lain, Bu Maya duduk di pinggir kolam, membiarkan sosok bertopeng One Piece mengeksplor tubuhnya yang indah. Desahan dan rintihan keduanya bersahut-sahutan, membuat suasana di sekitar kolam semakin sarat akan aura nafsu yang menggebu.Air kolam yang beriak-riak mengiringi irama gerakan kami, seolah turut serta dalam pesta birahi yang berlangsung. Suara kecipak dan debur air bersatu dengan erangan penuh gairah, menciptakan simfoni liar nan memabukkan.
Mendengar desahanku yang semakin membahana, Ryan semakin bersemangat menggerakkan pinggulnya. Ia menghujamkan kontolnya dalam-dalam, membuat seluruh tubuhku berguncang hebat di dalam air. Bau kaporit dan aroma keringat kami bercampur, menciptakan aroma birahi yang memabukkan.Sementara itu, Bu Maya nampak semakin larut dalam gairahnya sendiri. Ia meremas rambut pria bertopeng One Piece itu, memaksanya untuk semakin dalam melumat toket sintalnya. Erangan nikmat tak henti-hentinya meluncur dari bibirnya yang merekah. Air kolam seakan tak sanggup lagi mendinginkan api nafsu yang membakar seluruh indranya.Sekujur tubuh kami basah kuyub, namun justru semakin menambah sensualitas yang terpancar. Gerak-gerik kami yang liar dan bernafsu seakan menyatu dengan percikan air, membentuk harmoni yang memabukkan. Aku yakin saat ini tak ada lagi yang bisa menghentikan gairah membara kami.Terus, terus, dan terus... Kenikmatan ini tak kan pernah berujung.
Permainan kami pun beralih ke meja. Aku dan Bu Maya berdiri di samping meja, menempelkan bagian atas tubuh kami yang basah kuyub ke permukaannya yang dingin. Ryan dan seorang tamu tak sabaran memberikan kenikmatan doggy style yang luar biasa dari belakang.Tubuh kami bergoyang liar, mengiringi gerakan pinggul mereka yang membabi buta. Meja yang kami pegang bergetar hebat, seolah tak sanggup menahan guncangan dahsyat ini."Para tamu sekalian. Apakah kalian penasaran siapakah Sakura dan Hijab ini?" teriak Ryan di antara desahan napasnya yang memburu.Jantungku berdegup kencang, khawatir akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Pikiranku dipenuhi gairah yang membakar, namun juga ada secercah ketakutan di sana. Akankah kami berdua dihina dan dipermalukan lebih jauh lagi?Tetes-tetes keringat membasahi kulit kami yang panas membara. Suara kecipak air dan derit meja yang bergoyang bersatu dengan erangan nikmat, menciptakan simfoni birahi yang memabukkan.
Demi Tuhan, mimpi buruk itu kini menjadi kenyataan. Dengan rasa malu yang membara, aku menonton para tamu dengan ngeri saat mereka berhasil membuka topeng dan cadar kami. Tubuhku bergetar hebat, namun entah mengapa kenikmatan yang kurasa justru semakin menjadi-jadi."Bu Angel? Bu Maya?" Sorak-sorai penuh ejekan membahana di seluruh ruangan. Wajah-wajah mereka yang familiar kini menatap kami dengan pandangan penuh nafsu dan kemenangan. Mereka menertawakan nasib kami yang terperangkap dalam pusaran dosa ini."Lihat, guru-guru jalang kita rupanya tak ubahnya seperti pelacur murahan!" Salah seorang murid berteriak dengan nada merendahkan. "Kupikir kalian berdua selalu bersikap angkuh dan suci. Ternyata di balik itu, kalian hanyalah sekumpulan binatang buas yang haus akan sentuhan!"Hujatan demi hujatan terus dilontarkan, menghujam telinga kami bagaikan pukulan bertubi-tubi. Namun entah mengapa, rasa malu dan hina itu justru semakin memupuk gairahku. Aku mengeratkan remasan pada kontol Ryan, seakan ingin menyalurkan seluruh emosi yang bergejolak di dalam diri.Ya Tuhan, apa yang telah kami lakukan? Kami bagai hewan-hewan yang terperangkap, tak berdaya menghadapi amukan nafsu yang membabi buta.
Aku dan Bu Maya berteriak terbata-bata, berusaha menahan kegugupan yang semakin menjadi-jadi. Wajah kami yang telah terbuka di hadapan para tamu membuat kami semakin malu dan gemetar."Ja-jangan lihat... kumohon..." lirihku dengan suara bergetar. Namun bukannya mematuhi, para tamu justru semakin bernafsu menatap wajah asliku dan Bu Maya yang penuh dengan guratan dosa."Haha, lihat! Ternyata guru-guru suci kita ini sama jalangnya dengan pelacur-pelacur di luar sana!" Seru salah seorang tamu dengan nada mengejek. "Siapa sangka di balik cadar dan topeng itu tersimpan wajah-wajah penuh birahi macam ini?"Tubuhku semakin bergetar hebat. Aku menggigit bibir kuat-kuat, berusaha menahan isak tangis yang hampir meledak. Namun anehnya, rasa hina itu justru semakin memompa gairahku. Remasan di kontol Ryan semakin erat, seakan ingin menyalurkan seluruh emosi yang bergejolak dalam diriku.Di sampingku, Bu Maya nampak tak kalah frustrasi. Air mata mulai mengalir di pipinya yang merona, namun ekspresi itu justru turut memancing nafsu para tamu yang semakin membara. Mereka bersorak-sorai seolah baru saja mendapatkan mangsa terenak.
Waktu terasa berjalan sangat lambat, meski di realita gerakan pinggul mereka terus membabi buta. Setiap hentakan yang menghantam vaginaku terasa begitu lambat dan dahsyat, seolah menghujam dalam slow motion.Tubuhku bergoyang dengan gerakan kaku, bagaikan robot yang terserang gangguan sistem. Mulutku terbuka lebar, terengah-engah tak sanggup menahan gejolak kenikmatan yang memenuhi seluruh diriku."Heh Bu Angel, kamu pasti udah sering praktikin kontol ke memekmu pas pelajaran biologi ya?" cetus salah seorang tamu dengan nada meremehkan. "Ini juga Bu Maya, pasti udah nemuin rumus matematika buat menghitung panjang kontol di dalem memek," timpal yang lain.Hinaan-hinaan merendahkan itu seakan menusuk hatiku. Aku ingin menangis, namun justru semakin membuat gairahku memuncak. Tubuhku tak lagi dapat kukendalikan - aku bagai budak nafsu yang tak berdaya.Sungguh ironis. Di saat aku dan Bu Maya seharusnya menjadi suri teladan bagi murid-murid, kini kami malah terjebak dalam pusaran kelicikan duniawi.
Aku membuka mulut dengan lemah, hampir tak terdengar. "Terus... ah," aku dan Bu Maya memohon dengan suara gemetar, tak kuasa menahan gairah membara."Apa? Ngomong yang jelas!" bentak Ryan, mengunci tatapan kami dengan tatapan dominan. Tubuhku bergidik, namun justru semakin tenggelam dalam hasrat yang tak terbendung."Te-terus... mmmh," kami berusaha menguatkan suara, namun kenikmatan yang menyerang tak memberi kami kesempatan. Rintihan kami terkalahkan oleh bunyi hentakan pinggul yang semakin kasar."Ngomong yang jelas!" Tanpa ampun, Ryan menampar bokongku dan Bu Maya dengan keras. "Ohh..." kami memekik keenakan, tubuh semakin liar terhanyut dalam kenikmatan."Teruss!! Terus entotin memek Ibu... i-ibu.. mo-ahhh- mohooon!" Desakan nafsu membuat kami akhirnya menjerit frustasi, memohon lebih dari siksaan birahi yang menggerogoti.
Kontol Ryan terus menghujam memekku dengan brutal, mencapai titik terdalam. Tubuhku terhentak-hentak, seolah akan remuk berkeping-keping. Namun justru rasa sakit yang memicu kenikmatan luar biasa, membuatku menjerit tak terkendali."Ah! Ahhh... terus... terus genjot!" Aku memohon dengan suara parau, tak peduli lagi dengan rasa malu dan hina yang memenuhi sanubari. Seluruh rasionalitasku lenyap, tergantikan oleh gejolak nafsu yang menggebu-gebu.Di sampingku, Bu Maya tak kalah liar. Ia merintih dan mendesah penuh ekstasi, seolah tenggelam dalam kenikmatan yang tak terbatas. Tubuhnya bergoyang mengikuti hentakan pinggul Ryan, mencoba meraih kepuasan yang tak kunjung terpenuhi."Ohh... Ah, remasss! Remas memekku yang berdosa ini!" Aku menjerit parau, mencakar punggung Ryan dengan kalap. Sensasi remasan di kontolnya semakin memancing gairahku yang memuncak. Seolah tak ada lagi batas antara rasa nikmat dan rasa sakit.
Mereka bergantian menggilir tubuh kami, seolah kami adalah mainan seks yang dapat dipermainkan sesuka hati. Aku dan Bu Maya merangkak dengan lemas, berganti posisi dari telentang, tengkurap, hingga melengkung - tak kuasa menahan serbuan gairah yang tanpa henti.Tamparan demi tamparan mendarat di wajah kami, disertai cengkraman di leher dan jambakan di rambut. Namun bukannya merasa sakit, aku justru menyambut semua itu dengan desahan penuh kenikmatan, air mata bercucuran.Tubuh Bu Maya kini dipenuhi peluh dan cairan cinta. Putingnya yang memerah bengkak akibat dipijat dan dihisap tanpa ampun. Mataku dan Bu Maya pun ditutup oleh kain, tetapi itu tak menyurutkan gairah mereka untuk terus menyemprotkan hasrat."Ah! Ah! Ryan... tuanku..." Aku merintih pasrah, mengikrarkan diriku sebagai budak nafsu. "Isi terus memek gurumu ini... banjiri aku dengan cairanmu..." Tak ada lagi rasa malu ataupun harga diri. Yang ada hanyalah hasrat yang menggebu-gebu, membutakan segala rasionalitas.Malam itu, pesta nista terus berlanjut tanpa henti - seiring bulan yang perlahan menjemput fajar. Kami berdua telah sepenuhnya menjadi hewan-hewan birahi yang tak lagi mengenal batas, tenggelam dalam jurang kenistaan yang tak berujung.
ns 15.158.61.16da2