POV Hanum.
Aku duduk termenung di sudut kamar, punggungku bersandar pada dinding yang dingin. Rasa marah dan jengkel masih membara dalam dadaku, berputar-putar tanpa henti seperti badai yang tak kunjung reda. "Kenapa harus aku yang ngalamin ini? Kenapa ada aja cobaan kayak gini..." gumamku dalam hati, penuh kegelisahan yang tak kunjung sirna.
Tanganku meremas ujung cadar yang masih kukenakan. Kain itu biasanya menjadi pelindungku, simbol kehormatanku, namun kini rasanya seperti pengingat pahit dari kejadian yang baru saja terjadi. Kain yang menutupi wajahku dari pandangan dunia luar, kini terasa seperti tidak ada gunanya lagi. Semua kehati-hatianku, setiap langkah yang kulalui dengan menjaga prinsip, terasa hancur seketika. Lelaki asing itu... Koh Hendy... dia sudah melihat apa yang seharusnya hanya suamiku yang boleh lihat. Aku merasa ternodai.
Kejadian di kamar mandi tadi terus berputar di kepalaku. Pandangan mata yang tak kuundang, tatapan dari balik dinding yang seharusnya menjadi pelindung privasiku. Betapa aku menjaga tubuhku, betapa aku menjaga auratku agar hanya Nurman, suamiku, yang bisa melihatnya. Tapi sekarang? Lelaki lain... orang lain... dia sudah melihat. Seolah harga diriku, yang kubangun dengan segala keteguhan, hancur berkeping-keping di hadapanku.
Air mata mulai menggenang di sudut mataku, meski kutahan agar tidak tumpah. Aku bukan wanita yang lemah. Aku selalu ingin jadi kuat. Tapi kenapa rasanya seperti ini? Kenapa aku merasa begitu rapuh? Seolah-olah satu tatapan dari lelaki asing itu merenggut sesuatu yang sangat berharga dariku.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan isak yang semakin mendesak keluar dari tenggorokanku. Bagaimana aku bisa menghadapi ini? Bagaimana aku harus melanjutkan hidup setelah tahu ada yang sudah melihat apa yang seharusnya hanya suamiku yang boleh lihat? Rasa malu dan hina menyelimutiku, seperti selimut tebal yang menyesakkan napasku.
Ternyata, menjaga kehormatan bukan hanya soal menutup diri dari dunia luar. Ada hal-hal yang tak bisa kuatasi. Rasa sakit ini, rasa keterlukaan yang mendalam, menyesak di dada.
"Aku harus kuat," bisikku pada diri sendiri, meski hatiku terasa seakan-akan terkoyak. Tapi entah bagaimana, kata-kata itu tidak cukup kali ini. Bagian diriku yang hancur ini, apakah akan sembuh?
1711Please respect copyright.PENANAXrBMELe4zl
Aku memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. Udara kamar ini biasanya terasa begitu menenangkan, tapi kali ini, seolah berat sekali untuk dihirup. Bayangan suamiku, Nurman, melintas di benakku. Wajahnya yang teduh, suaranya yang lembut saat mengajarku mengaji di malam-malam sepi. Dia selalu penuh kasih, sabar, dan sangat memahami perasaanku. Tapi kali ini, aku tahu... aku tak bisa menceritakan ini kepadanya.
Hatiku bergetar memikirkan apa yang akan terjadi jika dia tahu. Bagaimana dia akan bereaksi? Rasa marah, terluka, dan mungkin... rasa bersalah. Aku tidak ingin menambah beban di pundaknya. Nurman sudah bekerja keras setiap hari, mengajar di madrasah, pulang dengan senyum hangat meskipun lelah. Tak pernah sekalipun dia mengeluh.
Dia selalu memastikan aku bahagia, selalu berkata, “Selama kamu baik-baik saja, aku juga baik-baik saja.” Kata-katanya selalu berhasil menenangkan hatiku. Tapi kali ini, aku tak ingin membuat hatinya risau. Aku tak ingin dia merasa bersalah karena tidak bisa melindungiku saat kejadian tadi terjadi. Aku tahu dia akan merasa begitu, meski semua ini bukan kesalahannya.
Aku menatap bayangan diriku di cermin. Di balik cadar yang menutupi wajahku, aku tahu aku bukan hanya melindungi diriku dari dunia luar, tapi juga berusaha menjaga agar suamiku tak perlu mengetahui hal yang akan membuat hatinya sakit.
“Aku harus menyimpan ini sendiri,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri. Jika kuceritakan padanya, hanya akan menambah beban di hatinya. Dan aku tidak sanggup melihat matanya yang penuh cinta itu berubah menjadi suram karena rasa sakit yang tak perlu dia rasakan.
Aku mencintai suamiku, lebih dari yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata. Cinta kami adalah kekuatan yang selama ini menjagaku tetap teguh. Dia adalah cahaya dalam hidupku, dan aku ingin cahaya itu tetap bersinar. Untukku. Untuk kami.
Aku tahu, aku bisa melalui ini sendiri. Aku harus kuat. Demi cinta kami.
****
Waktu terus berlalu, tapi entah kenapa, perasaan di dalam hatiku mulai berubah. Aku masih ingat betul kejadian itu, bagaimana amarah dan rasa terhina sempat menguasai diriku. Tapi kini, seiring dengan berjalannya waktu, ada sesuatu yang aneh dan sulit dijelaskan. Setiap kali aku melangkah masuk ke kamar mandi, rasanya seperti ada sesuatu yang berbeda di udara.
Aku masih ingat suara air yang mengalir, dinginnya menyentuh kulitku, membawa kesegaran seperti biasanya. Namun, kini ada dorongan aneh yang mulai tumbuh di dalam diriku. Setiap kali aku berada di sana, bukannya marah atau takut, aku malah merasakan debaran yang tak biasa. Hati ini berdegup lebih kencang, tapi bukan karena rasa takut atau trauma seperti yang kupikirkan dulu. Ada rasa penasaran yang menggelitik, rasa yang sulit kujelaskan dengan kata-kata.
Tanpa sadar, setiap kali aku membasuh tubuhku, mataku sering kali melirik ke arah dinding kayu yang pernah menjadi saksi kejadian itu. Dinding kayu yang retak, yang dulu membuatku merasa begitu tersingkap. Sekarang, aku malah sering mendapati diriku mencari-cari celah kecil itu, seolah-olah ingin tahu apakah masih ada jejak yang tertinggal di sana. Jantungku berdetak kencang setiap kali aku mendekatinya, tapi kali ini, ada perasaan lain yang menyertainya.
Aku terdiam sejenak, meresapi perasaan ini yang kian hari semakin kuat. Setiap kilatan kenangan itu muncul di benakku, hatiku berdebar, tapi bukan dengan rasa takut. Entah mengapa, ada keinginan yang halus dan samar, sebuah dorongan yang membuatku ingin memahami lebih jauh apa yang sebenarnya kurasakan. Kenapa hatiku bergetar setiap kali mengingat dinding itu, atau saat aku melirik ke arah retakan kecil yang dulu membuatku marah?
Aku tahu ini salah, sangat salah. Tapi aku juga tidak bisa menolak bahwa ada rasa ingin tahu yang perlahan menyusup ke dalam batinku. Aku berusaha menahannya, melawannya, tapi semakin kucoba, semakin kuat dorongan itu datang. Seolah-olah ada sesuatu di dalam diriku yang ingin keluar, sebuah rasa yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Perasaan ini membingungkan, dan aku belum sepenuhnya memahami dari mana asalnya. Tapi yang jelas, setiap kali aku berada di kamar mandi, dan setiap kali mataku kembali melirik celah itu, hati ini tak lagi hanya dipenuhi amarah atau rasa malu. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang entah mengapa, membuatku penasaran… dan berdebar.
Bersambung
ns 18.68.41.132da2