POV Hanum.
Pagi itu yang tadinya terasa begitu tenang tiba-tiba berubah mencekam. Saat sedang membilas tubuhku, instingku seketika bangkit. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku merasakan tatapan yang menusuk, dan jantungku berdegup kencang. Tanpa sengaja, mataku menangkap bayangan samar di balik celah dinding kayu yang retak.
Seperti kilatan petir, darahku berdesir hebat. Ada seseorang di sana!
Seketika itu juga, aku panik. Dengan tangan gemetar, aku meraih kain di dekatku dan menutupi tubuhku yang basah. Nafasku tersengal-sengal, tapi aku tak peduli. Aku harus bergerak cepat. Dengan tangan yang masih gemetar, aku buru-buru mengenakan jilbab dan cadarku, menyembunyikan wajahku yang saat itu pasti sudah memerah antara malu dan marah. Aku tak bisa berpikir jernih, amarah menguasai pikiranku. Bagaimana mungkin ada orang yang berani melakukan hal ini?
Aku bergegas keluar dari kamar mandi, pintu kayu tua itu hampir terlepas ketika aku membantingnya. Dadaku naik turun, wajahku memanas oleh rasa malu yang luar biasa. Siapa pun itu, dia sudah melanggar batas yang tak termaafkan. Tanpa ragu, aku langsung menuju rumah tetangga terdekat. Aku tahu ini perbuatan siapa. Sudah beberapa kali aku merasakan hal-hal aneh, tetapi hari ini aku benar-benar yakin.
Dengan langkah cepat, aku menuju rumah Koh Hendy, tetangga sebelah rumah kami. Tanganku mengepal erat, penuh dengan rasa marah yang meluap-luap. Sampai di depan pintu rumahnya, aku tak ragu sedikit pun dan langsung mengetuk pintu dengan keras.
Tok! Tok! Tok!
"Koh Hendy!" Aku berteriak tanpa bisa mengendalikan emosiku. Dadaku berdebar kencang, wajahku masih merah padam karena kejadian tadi di kamar mandi. Bagaimana mungkin dia berani melakukan ini kepadaku? Setiap ketukan terasa penuh amarah, memantulkan semua kemarahan yang terpendam.
“Koh Hendy, buka pintunya!” suaraku memecah keheningan pagi di gang sempit itu. Tetangga mungkin akan mendengar, tapi aku tidak peduli. Aku tidak bisa menahan lagi rasa marah dan penghinaan yang kurasakan.
Dari dalam, terdengar langkah kaki yang mendekat, dan aku menunggu dengan napas tertahan. Apa yang akan dia katakan? Apa yang akan dia lakukan setelah aku menghadapkan dia pada perbuatannya?
Pintu rumah Koh Hendy terbuka, dan di hadapanku berdirilah dia, memasang wajah bingung yang jelas-jelas pura-pura. Sejenak aku menatapnya tajam, menahan emosi yang nyaris meledak di dadaku. Napasku masih memburu, tapi aku tak peduli. Aku tahu persis apa yang dia lakukan, dan kali ini, aku tidak akan tinggal diam.
"Eh, Hanum? Ada apa? Kenapa marah-marah gitu?" Suaranya datar, seolah-olah dia tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku bisa melihat dari tatapan matanya, ada sedikit kepanikan di sana. Dia tidak menyangka aku akan langsung datang ke sini dan menemuinya.
Aku menatapnya lekat-lekat, merasakan panas di pipiku di balik cadar yang kukenakan. Meski wajahku tertutup, aku yakin dia bisa merasakan kemarahan yang membara dari sorot mataku. “Kamu pikir aku nggak tahu?” suaraku gemetar, bukan karena takut, tapi karena marah. "Kamu berani-beraninya ngintip aku mandi tadi! Kamu pikir aku nggak sadar?"
Wajahnya sedikit pucat, tapi dia tetap berpura-pura. "Apa maksudmu, Hanum? Aku nggak ngerti..."
Aku tidak membiarkannya menyelesaikan kalimatnya. “Jangan pura-pura, Koh! Aku tahu kamu ngintip di balik dinding kamar mandi. Kamu pikir aku buta? Apa aku harus bilang ke suami aku? Atau lapor Pak RT?” Kata-kataku meledak, seperti api yang sudah terlalu lama terpendam. Suaraku semakin tinggi, membuat tetangga sekitar pasti bisa mendengar. Tapi aku tak peduli. Malu? Marah? Perasaan itu bercampur begitu kuat, aku tak sanggup lagi menyimpannya sendiri.
Koh Hendy terdiam sejenak. Tatapannya beralih, jelas tak menyangka aku akan seberani ini. Biasanya aku memang pendiam, tidak banyak bicara, selalu menjaga sopan santun. Tapi hari ini, dia melihat sisi lain diriku—sisi yang sudah terlalu lama tertahan. Sisi yang tak akan membiarkan dirinya diperlakukan seperti ini lagi.
Dia mencoba tersenyum tipis, tapi aku bisa melihat gugupnya. “Hanum... kamu salah paham... Aku nggak ngapa-ngapain, sumpah...”
Aku mendekatkan diriku sedikit, menatapnya lebih tajam. “Kamu pikir aku percaya? Sekarang aku tanya, kamu mau aku cerita ke suami aku atau aku langsung ke Pak RT? Pilih salah satu.”
Untuk beberapa detik, aku hanya berdiri di sana, memandang Koh Hendy yang kini mulai semakin gelisah. Pura-puranya sudah tidak meyakinkan lagi. Tatapan matanya beralih ke kiri dan ke kanan, seperti mencari-cari jalan keluar. Sementara itu, dadaku masih bergemuruh, tapi perlahan-lahan, aku mulai mengendalikan diri. Meski marah, aku sadar ini bukan situasi yang bisa kuselesaikan dengan meledak-ledak.
Pikiranku berlarian ke berbagai arah. Memang, aku bisa langsung melapor ke suamiku, ke Pak RT, atau bahkan ke polisi. Tapi saat kubayangkan semua itu, rasa malu menyeruak ke permukaan. Bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk Nurman, suamiku. Apa yang akan terjadi kalau orang-orang tahu tentang ini? Nama baikku, keluargaku… semua bisa hancur. Dan Koh Hendy, dengan segala dalihnya, mungkin akan bisa lolos begitu saja.
Aku menarik napas panjang, berusaha meredakan amarah yang berkobar di dadaku. Mataku masih menatap Koh Hendy, namun kini dengan ketenangan yang lebih terkendali. “Dengar, Koh,” suaraku lebih rendah, tapi tegas. “Aku nggak akan cerita ini ke siapa-siapa. Bukan karena aku takut. Tapi karena aku merasa ini terlalu memalukan.”
Koh Hendy tampak lega sejenak, tapi aku tak berhenti di sana. “Tapi, kalau kamu berani lagi... kalau sekali lagi aku merasa kamu melakukan hal yang sama—aku nggak akan segan-segan langsung lapor polisi. Dan aku serius soal ini.” Sorot mataku tajam, dan kali ini dia tahu aku tidak main-main.
Dia hanya mengangguk pelan, tak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Mungkin dia tahu tidak ada yang bisa dikatakannya lagi. Aku menatapnya sebentar, memastikan ancamanku benar-benar tertancap dalam kepalanya. Lalu, dengan langkah cepat, aku berbalik dan meninggalkan rumahnya.
Langkahku terasa berat, bukan karena ketakutan, tapi karena campuran rasa marah, malu, dan lega yang bercampur aduk. Aku ingin berlari, tapi kutahan. Saat sampai di depan pintu rumahku, aku berhenti sejenak, menutup mataku, dan menarik napas panjang.
Saat membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, suasana sepi kembali menyelimutiku. Aku bersandar di pintu, mencoba menenangkan diri. Di dalam hati, aku tahu aku sudah melakukan yang benar. Aku tidak perlu menceritakan ini kepada siapapun, tidak kepada suamiku, tidak kepada orang lain. Ini terlalu memalukan, bukan hanya bagiku, tapi bagi keluargaku.
Tapi, jika Koh Hendy berani melakukannya lagi… aku tak akan ragu-ragu.
1785Please respect copyright.PENANAXKqCUnV0NF
Pov Hendy
Hari ini aku benar-benar sial. Hanum, yang selama ini selalu tersenyum ramah saat berpapasan denganku di jalan, kini berubah menjadi sosok yang penuh kemarahan dan kekecewaan. Sakit hati jelas tergambar di wajahnya. Wajar, aku telah melanggar privasinya, melakukan hal yang teramat buruk.
Namun yang paling membuatku terkejut bukan hanya kemarahannya. Saat aku berusaha menenangkan diriku setelah dia mengancamku, bayangan tubuh Hanum yang basah kembali muncul di benakku. Tubuh yang selama ini selalu dibungkus dengan pakaian muslimah dan cadar, kini terukir jelas di pikiranku. Aku benci mengakuinya, tapi bahkan setelah kejadian itu, setelah kemarahannya, aku masih terbayang sosoknya yang indah. Aku tidak bisa menghapusnya dari pikiranku, dan itu membuatku semakin tersiksa.
Setelah Hanum masuk kembali ke rumahnya dengan bantingan pintu, aku hanya bisa berdiri di sana, tertegun, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Rasa bersalah dan ketakutan menyelimuti diriku, namun di balik itu semua, ada sesuatu yang lebih mengerikan—sebuah hasrat terlarang yang tak kunjung padam, yang terus membayangiku.
Aku tahu ini salah. Aku tahu seharusnya aku tidak membiarkan pikiranku terus tenggelam dalam bayangan tubuhnya. Tapi setiap kali aku mencoba memikirkan hal lain, Hanum, dengan tubuh telanjangnya yang basahnya, kembali hadir di benakku. Dan ketakutanku bukan hanya pada ancamannya—aku takut pada diriku sendiri. Takut kalau suatu hari, dorongan ini akan membuatku jatuh ke dalam jurang yang lebih dalam dan gelap.
Bersambung
ns 15.158.61.11da2