Menjadikan lelaki dewasa lain sebagai teman oleh seorang wanita muslimah bersuami seperti aku tentu itu sebuah kesalahan. Namun, entah kenapa, rasa bersalah itu perlahan terkikis, dan aku menjadi tidak peduli. Ada sesuatu dalam diriku yang seolah tak bisa kuhindari—seperti ada dorongan yang kuat, tak tertahankan, untuk mengenal Hendy lebih dekat. Seolah, ada bagian dari diriku yang selama ini tertidur, dan sekarang terbangun karena kehadirannya.
Malam semakin larut, dan aku masih memegang ponselku erat-erat, menatap pesan balasan yang baru saja kukirimkan. Pesan yang sederhana, tapi aku tahu maknanya lebih dari sekadar kata-kata. Pesan itu adalah pengakuan bahwa aku, seorang istri, telah membuka pintu yang seharusnya tertutup rapat. Namun, alih-alih merasa takut atau malu, aku justru merasa ada sesuatu yang menggelitik di dalam hatiku—sebuah rasa penasaran yang terus tumbuh setiap kali Hendy menyapaku.
Aku teringat pada sosoknya yang sering kulihat dari kejauhan, di halaman rumahnya atau saat berpapasan di jalan. Tatapan matanya yang dalam, senyum ramah yang selalu ia tunjukkan meski aku kerap membuang muka. Tapi sekarang, senyum itu bukan lagi sesuatu yang kuhindari. Aku ingin melihatnya lebih dekat, mengenalnya lebih dalam.
Suamiku, Nurman, selalu baik padaku. Tapi ada sesuatu yang selama ini kurasakan hilang—sebuah kekosongan yang tidak bisa kugambarkan. Mungkin itulah sebabnya aku merasa tertarik pada Hendy. Dia membangkitkan perasaan yang selama ini tersembunyi dalam diriku, perasaan yang membuatku merasa… hidup.
Malam itu, aku berbaring di ranjang, menatap langit-langit dengan perasaan yang campur aduk. Hati kecilku berbisik bahwa ini adalah jalan yang salah, bahwa aku seharusnya menutup pintu ini sebelum semuanya terlambat. Tapi di sisi lain, ada keinginan kuat untuk terus melangkah, untuk melihat ke mana perasaan ini akan membawaku.
Mengapa aku merasakan dorongan ini? Mengapa aku membiarkan diriku terjebak dalam situasi seperti ini? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku, tapi jawabannya tetap kabur. Yang kutahu, aku tak bisa lagi berpaling. Hendy telah masuk ke dalam pikiranku, dan semakin hari, semakin sulit untuk menyingkirkannya.
Aku merasakan desiran halus di dada saat membayangkan bagaimana rasanya berbicara dengan Hendy secara langsung, mendengar suaranya, dan melihat bagaimana ia menatapku. Mungkinkah ini sebuah godaan yang akan menyeretku ke jurang yang lebih dalam? Atau mungkinkah ini hanya fase singkat yang akan segera berlalu?
Namun, satu hal yang pasti, aku telah melangkah ke wilayah yang tidak terduga. Dan malam itu, di tengah keremangan kamar, aku menyadari bahwa sebagian dari diriku tidak ingin kembali.
Di balik cadarku, aku tersenyum kecil. Tak ada yang bisa melihat, tentu saja, tapi senyum itu ada—muncul tanpa bisa kuhentikan. Rasanya aneh, menyadari bahwa aku bisa tersenyum setelah semua yang terjadi. Dulu, saat amarah dan rasa malu menyelimuti hatiku, aku tak pernah membayangkan akan ada momen seperti ini. Dulu, setiap kali teringat kejadian di kamar mandi itu, rasanya aku ingin marah, ingin melupakan Hendy dan menjauh sejauh mungkin darinya. Namun kini, semua itu terasa seolah bayangan yang memudar, tenggelam di balik perasaan baru yang samar-samar.
Malam itu, kami terus bertukar pesan. Kata-kata yang ringan, percakapan yang mungkin tak berarti apa-apa bagi orang lain, tapi bagiku, setiap pesan terasa seperti langkah kecil menuju kedekatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hendy tak lagi meminta maaf berulang-ulang seperti sebelumnya. Dia kini lebih santai, lebih terbuka, dan entah bagaimana, aku merasa nyaman dengan itu. Aku pun tak lagi menghindari setiap kali namanya muncul di layar ponselku. Malah, ada dorongan yang tak bisa kubendung untuk terus melihat balasannya.
"Hanum, kamu udah makan malam? Jangan sampai lupa makan ya, kesehatan penting loh," tulisnya, sebuah pesan yang sederhana namun penuh perhatian.
Aku tersenyum lagi. Pesan-pesan seperti itu dulu hanya akan kutanggapi dengan canggung, tapi sekarang, rasanya hangat. Ada sesuatu yang berubah, baik dalam diriku maupun dalam hubungan kami. Aku tahu ini salah. Aku tahu, sebagai seorang istri, seharusnya perasaan ini tak boleh muncul. Tapi kenyataannya, aku merasa lega. Seolah ada beban yang perlahan terangkat dari hatiku, meskipun aku sadar ada sesuatu yang berubah, sesuatu yang tak seharusnya ada.
"Udah, Ko Hendy. Kamu sendiri udah makan?" balasku.
Pesannya muncul hampir seketika. "Udah juga, Hanum. Aku seneng bisa ngobrol sama kamu kayak gini."
Aku berhenti sejenak, merasakan debaran halus di dada. Kata-katanya menyentuh sesuatu di dalam diriku yang selama ini tak pernah kusadari ada. Mungkin perasaan itu telah lama terkubur, terbungkus oleh rutinitas hidup dan kewajiban sebagai istri yang taat. Tapi sekarang, Hendy membangkitkan sesuatu—sebuah dorongan yang tak pernah kubayangkan.
Malam itu terasa panjang, tapi juga hangat. Seolah-olah dunia luar menghilang, meninggalkan hanya aku dan Hendy di dalam percakapan ini. Kejadian di kamar mandi yang dulu terasa begitu memalukan kini tampak jauh di belakang, seperti bayangan yang tak lagi penting. Yang tersisa hanyalah momen-momen ini, di mana aku merasa lebih hidup dari sebelumnya, meski aku tahu itu salah.
Di balik semua ini, ada kekhawatiran yang samar-samar mulai tumbuh. Apa yang sedang kulakukan? Mengapa aku merasa begini? Tapi, setiap kali pertanyaan itu muncul, aku mengabaikannya. Mungkin karena aku tak siap untuk menghadapi kebenaran di balik perubahan ini. Yang kutahu, ada sesuatu yang mendalam yang menghubungkanku dengan Hendy, sesuatu yang telah menggeser perasaanku, baik terhadapnya maupun terhadap diriku sendiri.
Aku menghela napas panjang, menatap layar ponselku yang masih menyala. Apapun yang terjadi selanjutnya, aku tak bisa lagi berpura-pura bahwa semuanya sama. Sesuatu telah berubah. Aku telah berubah.
Hari itu, aku sedang duduk di ruang tamu, mengawasi pesan-pesan yang masuk di WhatsApp. Percakapan dengan Hendy semakin lama semakin akrab, dan meski aku tahu ini salah, ada sesuatu tentang Hendy yang membuatku terus kembali. Percakapan-percakapan singkat berubah menjadi candaan ringan, kemudian menjadi lebih dalam. Hingga tiba-tiba, pesan itu datang.
"Bisa ketemu, Hanum? Sepertinya kita butuh ngobrol lebih dari sekedar chat."
Aku tertegun membaca pesannya. Hendy tahu aku selalu mengenakan cadar di luar rumah, dan bagiku, bertemu bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan laki-laki lain selain suamiku, Nurman. Sejenak aku terdiam, tapi jari-jariku bergerak sendiri.
"Kamu serius mau ketemu?" tanyaku, berharap dia tidak benar-benar menginginkannya.
"Aku serius. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan langsung denganmu. Lagi pula, bukankah kita sudah cukup lama bertukar pesan di HP. Sekali-kali ngobrol langsung boleh kan?"
Aku tahu dia benar, dan dalam hati, rasa penasaran serta debar yang aneh mulai muncul. Ada bagian dari diriku yang ingin mendengar suaranya langsung, melihat ekspresi wajahnya saat bicara, meskipun aku harus tetap menutup wajahku.
"Tapi aku pakai cadar gimana kata orang kalau lihat kita ngobrol?" tanyaku, mencoba mengulur waktu. Aku berharap dia akan membatalkan niatnya.
Bersambung
ns 15.158.61.11da2