Namaku Hanum Anindya, aku adalah seorang wanita yang sudah bersuami. Usiaku kini adalah 27 tahun. Suamiku, Nurman, usianya 29 tahun. Dia seorang ustadz yang mengajar di sebuah Madrasah Aliyah, selalu sibuk dengan tugasnya mengajar anak-anak remaja yang sedang mencari jati diri. Kami tinggal di sebuah rumah sederhana di gang sempit di pinggiran kota Jakarta. Sementara aku, lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Setiap hari, aku membersihkan rumah kecil kami yang sederhana, menyiapkan makanan, dan menunggu suamiku pulang dari mengajar.
Tiga tahun sudah kami menikah. Alhamdulillah, meskipun hidup kami sederhana, aku merasa tenang dan bahagia menjalani kehidupan sebagai istri yang berusaha menjaga kehormatan dan prinsipku. Sejak kecil, aku diajarkan untuk menjaga auratku, dan setelah menikah, aku semakin yakin bahwa hanya suamiku yang berhak melihat wajahku. Cadar yang kukenakan setiap kali keluar rumah adalah pengingat akan komitmenku terhadap agamaku dan suamiku.
Tapi meski begitu ada sebuah masalah yang selalu menjadi ganjalan dalam hatiku. Yaitu terkadang, ada pertanyaan dari kerabat dan kenalan mengapa sampai kini kami belum punya momongan.
"Kapan ya, Nurman dan Hanum punya anak?" Aku mendengarnya kadang-kadang, tetapi aku selalu diam. Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kami, dan aku selalu yakin bahwa waktunya akan tiba jika memang itu kehendak-Nya.
Namun, di balik semua keyakinan itu, aku juga manusia biasa. Di dalam hati kecilku, aku sering bertanya-tanya, mengapa belum ada tanda-tanda kehamilan. Apakah ada yang salah denganku? Aku tak pernah mengungkapkannya pada Nurman, karena aku tahu ia tak pernah menyalahkanku. Ia selalu tersenyum lembut dan mengatakan bahwa semua ini bagian dari rencana Allah. Tapi kadang di malam yang sepi, saat ia tertidur pulas, aku menatap langit-langit kamar dan bertanya dalam hati, kapan kami akan diberikan anugerah itu?
Setiap hari, aku berdoa. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bersabar. Tugasku adalah menjadi istri yang baik, menjaga rumah, menjaga kehormatan, dan selalu setia pada suamiku.
Pagi itu seperti biasa, aku memulai hariku dengan rutinitas sederhana. Setelah menyapu halaman depan dan menyiram tanaman kecil di pot-pot sederhana, aku menuju kamar mandi di belakang rumah. Kamar mandi kami salah satu temboknya adalah bagian dari tembok pagar samping rumah. Di balik tembok itu tinggal tetangga baru kami seorang pemudah keturunan tionghoa yang baru dua bulan tinggal di sana.
Aku mengguyur tubuhku dengan air dari gayung, membiarkan kesegaran air mengalir di kulitku. Hawa sejuk pagi menambah kenyamanan, dan sejenak semua rasa lelah dan penat seolah luruh bersama air yang mengalir. Di sini, di dalam kamar mandi ini, aku merasa benar-benar bebas. Tidak ada cadar, tidak ada kain penutup. Hanya aku dan kesunyian pagi yang menemani. Aku menikmati setiap siraman air dengan perasaan damai, tak ada sedikit pun kekhawatiran.
Namun, tiba-tiba, ada perasaan aneh yang muncul. Entah apa itu—seperti ada sesuatu yang mengintai, tetapi aku menepisnya. "Mungkin hanya perasaanku saja," pikirku. Aku terus mengguyur tubuhku, tetapi perasaan itu semakin kuat. Ada yang tidak beres. Jantungku mulai berdetak lebih cepat, meskipun aku berusaha tetap tenang. Suara burung di kejauhan dan gemericik air kini terasa jauh. Hening yang tiba-tiba muncul membuat semuanya terasa berbeda.
Aku berhenti, tangan yang memegang gayung terasa kaku. Mataku bergerak ke sekeliling, menatap bagaian dinding kamar yang terlihat semakin tua dan rapuh. Dinding itu memang sudah lama ingin diganti, tapi kami belum sempat memperbaikinya. Dan saat itulah, samar-samar dari sela-sela dinding yang retak, aku merasa ada sesuatu. Atau… seseorang. Hatiku mencelos.
Tanpa berpikir panjang, aku menutupi tubuhku dengan handuk, rasa segar yang tadi kurasakan mendadak berubah menjadi kegelisahan yang menusuk. Aku mencoba mengatur napas, tetapi keringat dingin mulai membasahi keningku, bercampur dengan sisa-sisa air di tubuhku.
Siapa di luar sana? Apa benar ada seseorang yang mengintipku?
Aku berdiri diam, berusaha mendengar lebih jelas. Tapi yang kudengar hanya suara air yang menetes pelan ke lantai.
Perlahan, aku melangkah ke arah pintu, merasa ada jarak tak kasatmata yang tiba-tiba terbentang antara aku dan dinding kamar mandi itu. Pandanganku tertuju pada celah di tembok yang retak, yang sebelumnya tampak tak berarti. Aku merasa ngeri, tetapi aku tidak bisa hanya berdiam diri. Aku harus tahu. Aku menunduk sedikit, mencoba melihat dari sisi lain pintu.
Namun, saat mataku menatap celah itu, tak ada apa-apa. Kosong.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Mungkin hanya imajinasiku yang berlebihan. Mungkin hanya bayanganku yang dipermainkan oleh rasa takut. Tapi, di sisi lain hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak benar. Ada yang memperhatikanku. Aku bisa merasakannya.
2024Please respect copyright.PENANAjAIDERu0KB
POV Hendy
Namaku Hendy. Aku adalah seorang pemuda keturunan Tionghoa. Aku baru saja pindah ke rumah ini, sebuah rumah mungil di pinggiran kota Jakarta yang berdampingan dengan rumah-rumah lain. Sebuah perubahan yang kuharapkan bisa memberiku ketenangan, jauh dari keramaian pusat kota. Hari ini, aku sibuk merapikan halaman belakang, mengumpulkan daun-daun kering yang berserakan dan memangkas rumput yang sudah terlalu tinggi. Suara gemericik air terdengar samar dari rumah sebelah.
Di rumah itu tinggal sepasang suami istri muda. Pak Nurman seorang guru di sebuah madrasah dan Istrinya yang bercadar namanya Hanum. Ketika sedang menunduk untuk mengambil sekop kecil, mataku tanpa sengaja tertuju pada sebuah celah kecil di dinding yang memisahkan rumahku dengan rumah Hanum. Awalnya, aku tak terlalu peduli. Namun entah mengapa, ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul, sebuah tarikan yang membuatku ingin tahu. Dalam hati aku sadar bahwa ini tidak benar, tetapi langkah kakiku tetap maju mendekati celah itu.
Aku mendekat, dan dengan jantung berdebar, kubungkukkan tubuh untuk melihat lebih jelas. Sesaat aku terdiam, tak percaya dengan apa yang kulihat. Dadaku berdegup kencang. Aku melihat dengan jelas balik celah kecil itu, tampak Hanum, tetanggaku yang bercadar itu sedang mandi. Aku benar-benar kaget. Hanum yang biasa hanya terlihat matanya. Jangankan untuk melihat rambutnya, wajahnya saja tertutup cadar. Kini dari celah itu aku melihat tubuh Hanum yang telanjang basah bersinar, kulitnya berkilau lembut di bawah sinar lampu yang temaram. Rambut panjangnya terurai, menempel di punggungnya, sementara ia dengan santai mengusap tubuhnya, seolah tidak menyadari ada sepasang mata yang sedang mengintip dari seberang dinding. Wajah Hanum sangat cantik jauh lebih cantik dari yang aku bayangkan saat melihat matanya saja.
Saat pertama melihat aku sudah menduga bahwa ada wajah jelita di balik cadar itu dan ternyata memang benar. Semua begitu sempurna. Lekukan tubuhnya, pahanya yang mulus pinggulnya yang aduhai semua begitu mempesona apalagi payudaranya terlihat berukuran sedang membulat indah dengan puting coklat kemerahan. Payudara itu telihat kencang. Mataku kemudian tertuju ke bagian selangkangan Hanum. Terpampang sebuah memek yang begitu indah.
Aku tersentak. Tubuhku menegang, tapi seolah tak bisa bergerak. Harusnya aku menjauh, menyingkir dan melupakan apa yang kulihat, tapi tubuhku seperti membeku. Pikiranku berperang, antara dorongan moral untuk segera menghentikan ini dan keinginan yang tiba-tiba tumbuh, yang membuatku tetap terpaku di tempat.
Sial, pikirku. Apa yang sedang kulakukan? Ini salah, ini gila. Tapi aku tidak bergerak. Setiap gerakan Hanum, setiap cipratan air di tubuhnya, seakan memikatku lebih dalam. Akhirnya, dengan satu tarikan napas panjang, aku memaksa diriku untuk berbalik dan menjauh dari celah itu. Tapi bayangan Hanum tidak hilang begitu saja dari pikiranku.
Aku berjalan menjauh, masih bisa merasakan jantungku berdetak kencang. Aku mencoba menenangkan diri, tapi sulit melupakan apa yang baru saja kulihat. Dan entah mengapa, dalam benakku, ada keinginan yang muncul untuk kembali ke sana esok hari, untuk melihat lebih banyak—meskipun aku tahu itu salah. Aku menggigit bibir, merasa bersalah sekaligus terbawa oleh sensasi yang baru saja kurasakan.
Hari-hari setelah itu, pikiranku tak pernah benar-benar bebas dari bayangan Hanum. Aku mulai mendapati diriku lebih sering melirik dinding itu setiap kali aku berada di halaman belakang. Setiap suara gemericik air dari kamar mandi sebelah seakan memanggilku, menggoda rasa ingin tahuku yang semakin tak terbendung. Meski logika berteriak bahwa aku harus berhenti, bagian lain dari diriku, bagian yang lebih dalam dan lebih gelap, mulai menikmati permainan ini.
Bersambung
ns 15.158.61.11da2