Malam itu, setelah selesai menunaikan sholat Isya seorang diri, aku duduk di tepi tempat tidur. Keheningan menyelimuti kamar ini, dan hanya suara napasku yang terdengar samar di udara. Suamiku, Nurman, sedang tidak di rumah, dia ada kegiatan bimbingan tehnik untuk guru-guru madrasah di luar kota. Aku selalu menikmati waktu sholat sendirian seperti ini—waktu untuk merenung, memohon ampun, dan mencari ketenangan dalam hati. Namun, akhir-akhir ini, doa-doaku sering kali terasa kosong, seperti ada yang mengganjal yang tak bisa kuhapus dari pikiranku.
Pikiranku melayang, memikirkan berbagai hal yang telah terjadi. Perasaan aneh yang terus menghantui setiap sudut batinku semakin menyiksaku. Hendy. Nama itu terus saja muncul dalam benakku, meskipun aku mencoba untuk melupakannya. Aku menggigit bibir, merasa bersalah pada diriku sendiri, pada suamiku, pada Allah. Tapi entah kenapa, aku tak bisa mengusir bayangan Hendy dari kepalaku.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi, memecah keheningan malam yang kian sunyi. Aku mengambilnya, melihat layar yang berpendar. Sebuah pesan WhatsApp masuk dari nomor tak dikenal. Seketika jantungku berdegup kencang. Rasanya tidak biasa menerima pesan larut malam begini. Dengan sedikit rasa ragu, aku membuka pesan itu.
"Selamat malam, Hanum. Ini Hendy. Maaf ganggu malam-malam. Aku pengen minta maaf lagi soal kejadian tempo hari. Aku bener-bener nyesel udah bikin kamu nggak nyaman. Baru kali ini aku berani minta maaf. Aku harap kemarahan kamu sudah hilang dan sekali lagi aku minta maaf."
Tanganku gemetar sedikit saat membaca pesan itu. Hendy. Nama yang beberapa waktu belakangan ini terus menghantuiku. Dia kembali, kini hadir dalam bentuk pesan. Seketika, seluruh ingatanku tentang kejadian itu berputar lagi. Rasa marah, jijik, tapi juga perasaan yang sulit kupahami. Bagaimana mungkin pesan singkat dari seseorang yang seharusnya kuhindari ini bisa mengguncangku begitu dalam?
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. Di satu sisi, ada rasa marah yang ingin kembali muncul, tapi di sisi lain, hatiku mulai melunak. Entah kenapa, pesan permintaan maaf itu terasa tulus. Kata-katanya tidak lagi membuatku kesal seperti dulu. Justru ada perasaan lain yang mulai menguasai hatiku—sebuah perasaan yang tak bisa kujelaskan. Mungkin, rasa ingin tahu, atau mungkin… lebih dari itu.
Aku duduk diam beberapa saat, menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan dari Hendy. Tiba-tiba, ada perasaan hangat yang menjalari tubuhku. Mengingat dia menulis pesan ini malam-malam, dalam sunyi, membuatku bertanya-tanya. Apa yang membuatnya tergerak untuk menghubungiku lagi? Mengapa di saat aku sendiri seperti ini, dia muncul kembali?
Aku menyandarkan punggungku pada bantal, membiarkan ponsel tergeletak di pangkuanku. Hatiku dilanda kebingungan yang semakin besar, tapi juga ada ketertarikan yang aneh. Apakah aku harus membalas pesannya? Atau lebih baik membiarkan pesan itu tak terjawab? Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di dalam kepalaku. Tapi yang jelas, aku tak bisa memungkiri bahwa malam ini, pesan dari Hendy telah menggetarkan hatiku dengan cara yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Malam yang seharusnya tenang berubah menjadi penuh ketegangan. Aku tahu, ini salah. Aku tahu seharusnya aku tidak memikirkan dia, apalagi merasa tergugah oleh pesan singkatnya. Tapi kenyataannya, pesannya telah menggugah sesuatu yang lebih dalam di hatiku, sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hendy telah kembali dalam hidupku, dan aku tak tahu harus berbuat apa.
"Malam juga, Ko Hendy. Iya, aku udah nggak marah lagi. Gapapa koh."
Saat aku mengetik balasan itu, hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Jujur, aku sendiri tidak yakin mengapa aku memilih untuk membalas pesannya. Tapi kata-katanya tidak terasa mengancam, tidak seperti waktu pertama kali kejadian itu terjadi. Entah kenapa, sekarang ada sesuatu yang lain di antara kami. Sesuatu yang tak terucapkan tapi kurasakan jelas.
Tak butuh waktu lama setelah kukirim balasan, pesan dari Hendy muncul dengan cepat, seolah dia sudah menunggu.
"Beneran, Hanum? Aku seneng banget denger kamu nggak marah lagi. Soalnya, sejak itu aku terus kepikiran kamu. Kamu tahu, Hanum, kamu itu cantik banget, nggak heran aku nggak bisa nahan diri waktu itu. Maaf ya kalau ini terlalu jujur."
Aku membaca pesan itu dengan mata terbelalak. Jantungku berdetak lebih kencang. Biasanya, aku akan merasa risih—bahkan mungkin marah—jika ada pria yang berkata seperti itu padaku. Apalagi kini dilakukan oleh lelaki yang pernah mengintip tubuhku. Tubuh yang senatiasa kutupi dengan rapat dan hanya bisa dilihat oleh suamiku. Tapi kata-kata Hendy kali ini terasa lain. Ada ketulusan yang aneh di balik pujian itu, sesuatu yang membuatku merasakan getaran halus di dadaku. Dan alih-alih marah, aku malah merasa... tersanjung.
Tanganku seolah bergerak sendiri, mengetik balasan tanpa banyak berpikir.
"Makasih, Ko Hendy. Aku udah maafin kamu kok. Gak usah terlalu dipikirin ya."
Aku tahu, mungkin balasanku terlalu lembut, terlalu memaafkan. Tapi entah kenapa, aku tak mampu marah. Mungkin aku mulai merasa lebih tenang, atau mungkin aku merasa ada sisi lain dari Hendy yang selama ini tak kutahu.
Pesannya datang lagi, cepat, penuh gairah yang tersembunyi di balik kata-kata yang lebih berani.
"Iya, Hanum. Tapi, jujur aja, aku pengen setelah ini kita bisa lebih dekat. Aku suka sama kamu, Hanum. Kamu beda dari yang lain, dan aku nggak bisa berhenti mikirin kamu."
Kalimat itu membuat mataku melebar. Hatiku seketika dipenuhi oleh rasa campur aduk. Aku tahu ini salah—aku tahu ini seharusnya tidak terjadi. Aku sudah bersuami, dan perasaan ini seharusnya tidak pernah muncul. Tapi anehnya, aku tidak merasa terganggu. Kata-katanya yang semakin jujur membuatku merasa hangat, meski aku tahu itu salah. Alih-alih tersinggung, ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatiku. Perasaan yang sulit kujabarkan.
Aku menatap layar ponselku sejenak, mencoba meresapi perasaan ini. Ada rasa bersalah, tetapi di saat yang sama, ada perasaan yang selama ini mungkin tersembunyi di dalam diriku, sesuatu yang membuatku ingin tetap terhubung dengan Hendy.
Aku pun mengetik balasan, kali ini lebih hati-hati, meski di dalam diriku ada kekuatan lain yang berbisik untuk tidak berhenti.
"Ko Hendy, aku nggak pernah mikir soal itu sebelumnya. Tapi aku hargain perasaan kamu. Mungkin kita bisa jadi teman."
Tanganku sedikit gemetar saat mengirim pesan itu. Ada sesuatu di dalam diriku yang masih berperang—antara kewajiban sebagai seorang istri dan perasaan baru yang muncul tanpa aku sadari. Hendy membuatku merasa dihargai dengan cara yang berbeda, sesuatu yang mungkin selama ini tidak kurasakan dalam rumah tanggaku. Entah bagaimana semuanya akan berakhir, tapi satu hal yang kutahu: pesan-pesan ini telah membuka pintu baru yang tak pernah kubayangkan akan kubuka.
Bersambung
ns 15.158.61.11da2