
Sumber gambar : pinterest
Kejadiannya begitu cepat, saat aku memandang tahu-tahu kepala Bu Alvi sudah bergerak cepat ke atas dan ke bawah. Ini membuat darahku seolah berdesir lebih cepat, kulitku jadi lebih senitif, apalagi ditambah dinginnya udara malam dan lantai ubin, aku semakin menggeliat.
"Mmhh ... mmff ... ssllrrrpp ... sllrrpp ...."
Bu Alvin terus mengulum kontolku tanpa ampun. Sesekali dia melirikku dan terkekeh nakal. Beberapa kali terdengar suara tegukan keras, entah dari ludahnya sendiri, atau dari cairan precum yang terus keluar dari kontolku tanpa bisa kutahan.
Seingatku, kocokan dengan mulut ini disebut sebagai blowjob. Harus kuakui, Bu Alvi benar-benar pandai melakukan blowjob. Dia memainkan kontolku seolah hal itu sudah jadi kebiasannya, seperti permen lolipop panjang, dia menyedot-nyedot, menyesap, sesekali menjilat dan kembali menelannya sampai ujung batang.
"Ahhh ... haahhh ... Bu ... Bu Alvi ...." Napasku tak beraturan. Aku merasakan kontolku mulai linu, aku hampir crot. "Saya mau ... ahh ... haaahhh ... saya ... aakhh!"
Seolah tahu, Bu Alvi justru mempercepat blowjobnya. Semakin lama, ludah Bu Alvi menetes makin banyak, membasahi kedua bola kontolku dan lantai di bawah.
Klok klok klok
Kemudian dia melepas kuluman.
"Mau ngecrot, hm?" Dia kini mengocok menggunakan tangannya. "Mau ngecrot? Iya, kan? Kamu mau ngecrot, Nolan?" Sambil terus mengocok, dia kini menghisap kedua bolaku. "Hmm ... mmhh ... aahh ... ayo crot, Nolan."
Tubuhku semakin menggeliat, kejang-kejang. Seluruh urat syarafku seakan kaku. Jari-jari kakiku terus bergerak dengan liar, merasakan kenikmatan dan rasa geli serangan Bu Alvi.
"Crot ...." Aku berbisik lirih.
"Apa?" Bu Alvi sepertinya pura-pura tak dengar, dia masih sibuk bermain dengan dua bolaku.
"Crot ... ahhh Bu, akkhh croott!"
Akhirnya sperma itu datang.
Bu Alvi buru-buru melahap kontolku sampai ujung. Ketika aku menembakkan sperma, aku merasa nyaman sekali dalam pelukan mulut Bu Alvi.
"Haahhh...."
"Mmmffff!!!" Bu Alvi memekik tertahan sambil membelalakkan mata.
Ada tujuh sampai sepuluh tembakan sperma yang kurasakan. Selama itu, Bu Alvi sama sekali tidak melepas kulumannya, hanya sedikit melonggar. Jika tadi mentok sampai pangkal, kini dia hanya mengulum bagian kepala sembari memejamkan mata.
Terdengar suara tegukan, Bu Alvi menelan semuanya!
"Eh, Bu?"
Wanita itu mengulum perlahan. Kontolku mengecil pelan-pelan, tapi masih dalam emutan panas Bu Alvi.
"Hahh ...." Ia melepas emutannya. "Banyak banget kamu keluarnya, hihi." Bu Alvi mengusap ujung bibir, ada sedikit spermaku yang keluar dari sana. "Lega, kan?"
Aku bingung harus menjawab apa, tapi tetap menganggukkan kepala samar sambil mengatur napasku.
"Hihi, kamu lucu banget, deh. Ternyata ini sisi lain Nolan, ya." Bu Alvi menutup mulutnya.
"Ibu sendiri yang memperkosaku!" gumamku dalam hati seraya meliriknya.
"Tapi!" Bu Alvi bertepuk tangan sekali. "Nolan, tadi itu cuma kamu yang keluar." Dia lalu memasang wajah cemberut, manis sekali. "Saya belum ...."
"Eh?" Kepalaku sedikit terangkat. "M-maksud Ibu?"
Kembali dia tersenyum. Tanpa menjawab, ia bangkit berdiri dan masuk kamarku. Tentu saja secara otomatis aku memakai kembali celanaku dan mengikutinya.
"Tutup pintunya," katanya setelah duduk di kasurku.
"Eh, t-tapi, bagaimana kalau suami Ibu pulang?"
Lagi-lagi dia terkekeh sambil menutup mulut. "Kalau memang begitu, saya pasti nggak berani ke sini, Nolan." Senyumnya mengandung sejuta arti. "Suami saya lagi ke luar kota sampai tiga hari ke depan."
Aku menutup pintu cepat-cepat.
Sesaat kemudian, aku merasa heran. Kenapa ada perasaan senang yang menerpaku? Apakah aku mulai jatuh dalam godaan Bu Alvi? Sejak kemarin kepalaku memang pemuh oleh bayangan Bu Alvi, kini dia ada di depan mata. Wajar, bukan?
Bu Alvi masih duduk dengan senyum seperti itu, aku belum berani bergerak.
Tubuhnya berbaring perlahan, masih dengan kaki tergantung. Lalu dalam gerakan yang menurutku seseksi adegan film dewasa, Bu Alvi membuka kaosnya pelan-pelan seolah membiarkanku meledak karena penasaran.
"Eits." Bu Alvi menghentikan gerakannya membuka kaos ketika sampai ulu hati.
Aku tak mampu melihat perutnya secara keseluruhan karena dia memakai rok panjang yang menutup sampai di atas pusar. Seksi memang, tapi tidak seseksi ketika di kamar malam itu.
Karena sudah crot pula, pemandangan kali ini tidak begitu membuatku terbakar. Ctapi harus kuakui, memang menggoda.
"Kamu penasaran, ya?" tanyanya setengah berbisik. "Jujur sama saya, kamu penasaran?"
"I-iya, Bu." Aku memberanikan diri untuk menjawab dengan perkataan, tidak hanya dengan isyarat kepala. "Malam itu ... Ibu masih pake bh."
"Huahahaha!" Bu Alvi tertawa keras tiba-tiba. "Ihh kamu lucu banget ... hahahaha!"
Aku hanya mampu tertunduk malu.
Tawa Bu Alvi berhenti kemudian, tapi masih menyisakan kekehan geli.
"Usaha sendiri dong."
"Eh?" Refleks, aku mengangkat muka.
"Usaha sendiri." Dia kembali menutupkan kaosnya. "Sini ... katanya penasaran." Tangan kanannya melambai, mengisyaratkanku untuk mendekat.
"J-jadi ... boleh, Bu?" Aku masih tak percaya ini.
Bu Alvi mengizinkanku menjamahnya!?
"Udah nggak usah mikirin itu. Kamu penasaran, nggak? Sini lihat. Keburu saya ngantuk, lho." Bu Alvi terus melambai. Sesekali ia busungkan dadanya.
Aku mendekati kasur perlahan-lahan, masih tidak percaya dengan semua ini. Layanan blowjob tadi saja sampai saat ini masih kukira hanya sebatas mimpi. Kini, dia mengizinkanku menggunakan dua tangan untuk membuka kaos itu!
Kalau ini mimpi, aku tak mau bangun!
Aku tiba di pinggir kasur, memandangi Bu Alvi yang berbaring di bawahku. Kami saling tatap selama beberapa saat. Mata Bu Alvi jarang berkedip, seolah meyakinkanku untuk melakukan saja tanpa berat hati.
"M-maaf, Bu."
Kugerakkan tanganku. Ketika menyentuh perutnya, dia sengaha mendesah lirih. Tangannya ia angkat, ditaruh di atas kepala, matanya terpejam dengan bibir melengkung membentuk senyum. Sikapnya benar-benar pasrah.
Aku mengangkat kaos Bu Alvi perlahan. Terlihat kulit perutnya yang putih bersih terawat. Yang lebih mengherankan, kulitnya benar-benar bersih, sama sekali tak ada gurat-guratan bekas perut gendut atau semacam itu. Benar-benar bersih seperti bintang porno jepang yang sering kulihat. Walau tentu kulitnya tak seputih mereka, tapi di mataku justru kulit khas indonesia ini menambah daya tarik alami dari Bu Alvi.
Aku terus mengangkat kaos itu ke atas. Makin dekat ulu dengan ulu hati. Kulihat Bu Alvi, masih memejamkan mata. Dadanya bergerak naik turun seiring napasnya yang teratur.
Aku membukatkan tekad, aku merasa yakin kali ini. Bu Alvi sudah memberiku izin, kenapa harus ragu?
Dalam satu hentakan, kuangkat kaos it sampai sebatas leher. Kini terpampanglah buah dada yang sejak dua hari lalu selalu menghantuiku. Tadi ketika aku menarik dengan keras, kaos itu sedikit tersangkut di dua payudara besar ini. Akibatnya saat ini dua payudara Bu Alvi masih memantul-mantul manja.
Kali ini, tempo napas Bu Alvi berubah jadi agak cepat. Tapi dia masih tetap memejamkan mata dan tangan di atas. Senyum yang tadi lebar, perlahan memudar. Jika tadi yang tampak adalah wajah ramah keibuan, kini yang tampak adalah wajah wanita cabul dengan bibir bawah digigit.
Bu Alvi sekarang mengenakan bh warna cream dengan ukuran cup entah apa, yang jelas besar. Tali bh di kedua mangkuknya menggantung di leher. Namun, antara mangkuk kanan dan kiri terpisah, masing-masing memeluk payudara besar Bu Alvi.
(Aku bingung jelasin bentuk bhnya kayak gimana? Yang pasti, bentuknya sama kayak yg digambar😁)
Sampai lama aku hanya melihat sepasang payudara besar itu. Aku tak melakukan apa pun, hanya melihat dengan gugup dan jantung berdebar.
"Kenapa?" Bu Alvi sudah membuka mata. Napasnya agak cepat. "Cuma diliatin?"
"Eh ... anu ...."
"Kamu pernah nonton film porno?"
Aku tentu saja pernah dan sebagai jawaban aku mengangguk.
"Kalau dalam keadaan kayak gini, biasanya si laki ngapain?"
"Eh .... itu ...." Aku sudah tahu jawabannya, tapi ragu untuk mengatakannya.
"Ngomong aja ...." Bu Alvi agak bergerak tapi dua payudara itu memantul dengan mudah.
"Yang lakinya ... nenen ...."
"Yaudah ...." Bu Alvi agak mendesah sekarang tapi tetap mencoba teraenyum. "Ayo nenen, apa kamu perlu minta izin lagi? Saya izinin."
"Eh?"
"Ayo!" ucapan Bu Alvi agak keras. Sepertinya dia mulai gemas. "Nenen ke Ibu, Nolan."
Aku meneguk ludah.
Kubuka dua mangkuk besar itu dan aku melihat keindahan. Puting kecoklatan yang mengacung tegak dengan berani dan angkuh. Saat dengan canggung kusentuh, puting itu keras. Aku pernah dengar kalau puting wanita mengeras itu artinya dia sedang terangsang.
"Mmh ...." Bu Alvi menggigit bibir bawah.
Baiklah, sudah mendapat izin. Aku segera membungkuk dan mernekam. Kubuka mulutku, kukeluarkan lidahku, kujilat-jilat secara memutar, atas dan bawah. Kulakukan semirip mungkin dengan adegan film porno Jepang.
"Aaahhh ... mmm ...."
Mendengar desahan Bu Alvi, tadi yang nafsuku sudah mereda kini perlahan datang lagi. Aku mulai menikmati. Sambil memejamkan mata kuemut puting kanan Bu Alvi.
"Remas yang satunya ...." Bu Alvi bergumam sambil menggerakkan tangan kiriku ke payudara sebelah kiri.
Tubuhnya menggeliat lembut, suaranya makin keras dan seksi. Aku menikmati permainan ini, aku menyukainya, aku menyukai godaan Bu Alvi, aku menyukai Bu Alvi.
Kulumanku ke puting makin liar. Kini aku bahkan lebih berani dengan mencoba menggigitnya. Tubuh Bu Alvi tersentak, dadanya sedikit membusung ke atas, hal itu justru membuat payudara empuknya menekan mukaku, membuatku makin ketagihan.
"Bu Alvi ...." Di tengah gairah panas yang kembali datang, aku menikmati hidangan sepasang payudara Bu Alvi.
Aku menikmati permainan itu sampai kontolku kembali ngaceng. Tiba-tiba, Bu Alvi mendudukkan diri, memaksa kesenanganku berhenti.
Sebelum aku bertanya, dia lebih dulu mendahului. "Kamu asik banget nenennya."
"Kan Ibu yang nyuruh ...." Aku menatap sepasang dada yang bergelantung tanpa pelindung itu. "Bu, saya pengen—"
"Jilatin memek saya."
"Apa?"
Sebelum aku mengerti maksud ucapannya, Bu Alvi melepas roknya sambil duduk. Saat aku melihat perutnya terbuka penuh, aku kembali meneguk ludah. Mataku hampir tak berkedip. Memang seleraku, melihat perut wanita dari pusar ke bawah, itu benar-benar seksi menggoda.
Bu Alvi memakai celana dalam dengan warna senada, cream. Ia menggeser tubuh ke kepala kasut, bersandar di sana dengan kaki terpentang lebar.
"Jilatin memek saya." Dia tak lagi tersenyum, tapi mulutnya tak pernah menutup sempurna. Napasnya makin memburu. "Ayo cepetan."
Aku menurut saja, toh Bu Alvi sudah menyuruh.
Bu Alvi menggeser celana dalamnya ke samping, tampaklah kelamin wanita yang selama ini hanya kulihat dalam video atau gambar. Vagina yang bentuknya mirip jurang itu, punya Bu Alvi sudah tampak terbuka seperti milik para bintang porno. Namun yang menarik perhatianku adalah, vagina itu sudah basah sekali.
"Bu ... Ibu ... Ibu terangsang?" tanyaku hati-hati.
"Ayo jilat, Nolan." Bu Alvi membuka kakinya makin lebar. "Kamu juga penasaran gimana rasanya, kan?"
Aku mengangguk cepat, tentu saja penasaran.
Mungkin karena perlakuan Bu Alvi, rasa canggungku jadi sedikit berkurang. Aku lekas naik ke kasur, mendekatkan wajahku ke vaginanya dan kuhirup baunya.
"Wangi ...," gumamku.
"Jilat ...," gumam Bu Alvi.
Aku menjukurkan lidah, menjilatnya perlahan.
"Aaaahhhh ...."
Lalu kujilat lagi dari bawah ke atas.
"Mmmhhhh ...."
Sekali lagi.
"Ooohhhhh ...."
Desahan Bu Alvi memang mengagumkan, lebih merdu dari artis-artis Jepang yang kutahu sedikit banyak adalah settingan. Mereka melakukan sex karena pekerjaan, tapi kini Bu Alvi mengeluarkan desahan yang kuyakin memang timbul dari kenikmatan dan gairah murni.
"Terus Nolan ...."
Aku menjilat makin cepat. Sesekali mengecupnya, bahkan mengisap bagian atas vagina yang bentuknya seperti benjolan kecil sebesar kacang. Aku tahu itu namanya klitoris dan itu adalah titik lemah wanita.
"Aaahhh ... ahhh ... ahhhh, Nolan!"
Bu Alvi menggeliat tak karuan. Kulihat tangannya juga memainkan peran. Dia meremas-remas payudaranya sendiri. Sesekali, dia meludahi tangan sebelum mengoleskan air liur itu membasahi payudara atau puting.
Permainan kami semakin panas. Seolah suhu udara meningkat, aku dan Bu Alvi sama-sama berkeringat.
Vagina Bu Alvi yang kurasakan asin, tapi tidak seperti asin garam, susah menjelaskannya yang jelas ini membuatku ketagihan. Apalagi bau wangi mesum yang semakin kuat seiring bertambahnya peluh Bu Alvi.
"Aaahhh Nolan! Aaahh ... aaahhh ... sebentar lagi!"
Bu Alvi melilitkan kakinya ke kepalaku, op memerangkapku di selangkangannya. Aku tak ada pilihan selain terus menjilat dan menjilat.
Tubuh Bu Alvi tiba-tiba mengejang, perutnya bergerak naik. Kakinya lalu mengempit kepalaku lebih keras, dan kulihat vaginanya seperti tersedot ke dalam.
"Eeerrggghh .... No ... lan ...."
"Ssllrrpp ... sllrppp ... sllrrppp ...." Aku menjilat dan menghisap makin ganas.
Tak lama setelah itu, perut Bu Alvi terangkat tinggi, bersamaan saat kurasakan urat-urat di kakinya menegang. Kulihat Bu Alvi mendongak. Tangannya mencengkeram kepala kasur, tangan satunya masih menarik putingnya dengan keras.
"Croottt!!" teriaknya.
Aku masih posisi menjilat saat itu ketika tahu-tahu vaginanya membuka dan terciprat cairan bening kental ke wajahku.
Aku kembali ereksi.
Aku ingin lebih.
Aku ingin seperti di film porno jepang.
Aku ingin ngentot dengan Bu Alvi!
ns 15.158.61.16da2