
Tiba-tiba, dering ponsel Astrid memecah keheningan malam kami yang nyaman. Suara nada dering khusus—melodi dari soundtrack drama Korea favoritnya—mengalun nyaring, menandakan panggilan masuk yang sudah terlalu familiar. Astrid, yang tadinya asyik terhanyut dalam episode terbaru dramanya, langsung mengecilkan volume TV. Ekspresinya berubah sekilas, antara sedikit kesal karena momen klimaks harus terganggu dan rasa penasaran tentang apa yang akan disampaikan sang penelepon.
Dengan gerakan cepat yang sudah menjadi kebiasaan, dia meraih ponselnya dari nakas dan melirik nama yang muncul di layar. Bibirnya membentuk huruf "O" kecil—reaksi yang sudah kuduga.
"Dari Anisa," ujarnya singkat padaku sambil memutar bola matanya. Aku mengangguk paham. Ini bukan pertama kalinya Anisa menelepon di jam-jam seperti ini. Sebagai sahabat Astrid sejak bangku kuliah, Anisa memang terkenal dengan kebiasaannya mencurahkan isi hati pada waktu-waktu yang tidak terduga.
Karena masih ingin melanjutkan drakornya yang tertunda di episode paling krusial, Astrid mengaktifkan mode speaker dan meletakkan ponselnya di sampingnya. Sebuah isyarat halus bahwa panggilan ini mungkin akan menjadi obrolan panjang yang juga melibatkanku sebagai pendengar tidak resmi.
"Halo, Nis? Ada apa malam-malam?" tanya Astrid dengan nada yang sudah dipraktikkannya berkali-kali—campuran antara simpati dan sedikit kejengkelan.
Suara Anisa pun langsung terdengar jelas di ruangan kami, mengisi setiap sudut kamar dengan kehadirannya yang virtual namun terasa nyata. Suaranya yang biasanya penuh semangat kini terdengar lebih rendah, hampir berbisik.
"Astrid... maaf ganggu waktu santai kalian. Kalian lagi ngapain?" Anisa memulai dengan pertanyaan basa-basi yang sudah kami kenal sebagai pengantar untuk pembicaraan yang sesungguhnya.
"Biasa, Nis. Aku lagi nonton drakor dan Haris sibuk perang di sosmed." jawab Astrid santai sambil menatap layar kaca.
“Sorry ya kalau ganggu.”
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Astrid duduk lebih tegak, menatap ponselnya dengan kening berkerut. Kami berdua sudah terlalu hafal dengan pola ini. Anisa dan kebiasaannya curhat tentang rumah tangganya yang naik-turun seperti roller coaster. Dari awal pernikahannya dengan Dimas—pengusaha yang terlalu sibuk dengan bisnisnya—hingga kelahiran anak pertama mereka, Anisa selalu menjadikan Astrid sebagai tempat berkeluh kesah.
"Gapapa nis, gak ganggu kok." Sahut Astrid.
Sementara drama di TV yang masih berputar tanpa suara. Karakter utama pria sedang berlutut dengan sebuket mawar, tapi perhatian Astrid kini sepertinya mulai terbelah dengan drama kehidupan nyata sahabatnya.
Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon, diikuti dengan keheningan yang menyiratkan bahwa Anisa sedang menyusun kata-kata dalam kepalanya.
Anisa pun mulai bercerita. Suaranya pelan tapi jelas, menceritakan masalah yang lagi dihadapin sama suaminya.
"Aku mulai ngerasa suami aku udah nggak ada gairah lagi padaku," keluh Anisa dengan suara yang terdengar seperti campuran antara kesedihan dan frustasi. Ada sesuatu dalam nada bicaranya—seperti dinding pertahanan yang mulai retak setelah terlalu lama menahan beban.
"Kenapa emang, Nis?" tanya Astrid santai sambil matanya tetap tertuju pada adegan drakor di TV. Di layar, sang pemeran utama pria sedang menatap pemeran utama wanita dengan tatapan penuh kerinduan—ironi yang menggantung di udara kamar kami.
"Udah beberapa kali aku ngajak dia, selalu alasannya capek," jawab Anisa, suaranya makin pelan seolah malu dengan pengakuannya sendiri. Ada jeda sebentar, hanya terdengar hembusan napas berat dari seberang telepon. "Capek terus. Selalu capek."
"Mungkin emang beneran capek dianya, Nisa," sahut Astrid diplomatis, tangannya memainkan ujung selimut. Tapi ada sesuatu dalam cara Astrid melirikku sekilas yang menunjukkan bahwa dia juga mulai merasakan ada yang tidak beres dengan pernikahan sahabatnya.
Hening sejenak sebelum Anisa melanjutkan dengan suara yang kini terdengar seperti bisikan konfesi. "Akhir-akhir ini, kami berhubungan intim cuma seminggu sekali, kadang bahkan dua minggu sekali. Itu pun kalau aku yang inisiatif ngajak dia karena aku lagi pengen. Kalau nggak, bisa-bisa sebulan lebih kami nggak melakukannya."
Aku yang kembali membuka ponselku dan sibuk mengetik balasan di Twitter tiba-tiba terdiam, jariku berhenti di atas layar. Obrolan mereka diam-diam menarik perhatianku.
"Dia udah nggak pernah ngajak lagi," lanjut Anisa, kini suaranya bergetar sedikit. "Aku curiga dia punya simpanan. Karena sekarang udah mau sebulan kami gak gituan. Dan aku sudah inisiatif ngajak dia tapi itu tadi, alasannya capek."
Astrid menekan tombol jeda pada remote TV, membuat kamar kami seketika sunyi. Hanya suara pendingin ruangan dan sesekali denting notifikasi ponselku yang masih berbunyi, mengabaikan drama kehidupan nyata yang sedang terungkap.
"Jangan mikir negatif kayak gitu, Nis!" kata Astrid, berusaha menenangkan, meskipun dari raut wajahnya aku bisa melihat kekhawatiran yang sama. "Mungkin pekerjaan dia bikin dia kecapean!"
Aku bisa membayangkan Anisa di seberang sana, mungkin terbaring di kasur seperti kami, dengan mata menatap langit-langit kamar, merenung tentang apa yang salah dengan pernikahannya. Dugaanku terbukti dari suaranya yang masih terdengar berat dengan emosi.
"Iya sih, tapi bukannya berhubungan dengan istri justru bikin rasa capek itu hilang?" balasnya dengan logika yang sulit dibantah. Ada keheningan sejenak sebelum dia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "Dulu nggak gini. Dulu dia yang selalu minta."
"Btw, usia suami kamu berapa sih saat ini?" tanya Astrid, mungkin baru menyadari bahwa dia tak pernah tahu pasti usia Dimas.
"Usianya udah kepala lima, 52 tepatnya. Menurut kamu itu udah tua ya?" Sahut Anisa sambil bertanya balik.
“Tergantung sih. Menurut aku belum terlalu tua dibanding Ahmad Albar heheheheheh!” Jawab Astrid mencoba bercanda.
“Ih kamu. Orang lagi serius.”
“Iya tapi Ahmad Albar meski sudah kepala tujuh umurnya tapi lihat dia mesra banget dengan istrinya yang bedanya sekitar 37 tahun kalau gak salah.”
Aku yang awalnya cuma nyimak sambil lalu, kini benar-benar menaruh ponselku di meja. Angka 52 itu menarik perhatianku. Jika Anisa seumuran dengan Astrid yang 34 tahun, berarti ada selisih sekitar 18 tahun antara dia dan suaminya.
"Kamu udah pernah ngajak dia periksa ke dokter? Kali aja dia ada masalah kesehatan yang bikin dia kurang bergairah," saran Astrid, mencoba memberikan solusi praktis.
ns 15.158.61.19da2