Kami berpisah di depan kafe dengan angan besar dibenak aku untuk bertemu lagi dengan Anisa dalam suasana yang lebih asik. Dalam perjalanan pulang, mobil yang kukendarai terasa seperti wadah pengakuan dosa. Bayangan wajah Astrid muncul. Istriku itu percaya bahwa aku sedang lembur di kantor, Astrid yang tak pernah meragukan kesetiaanku selama tujuh tahun pernikahan kami. Aku merasa seperti pengkhianat, tapi di saat yang sama, ada gejolak gairah yang tak bisa kusangkal—perasaan hidup kembali yang sudah lama tidak kurasakan.
Seperti remaja yang baru menemukan cinta pertama, hatiku dipenuhi bayangan Anisa dan harapan akan ada pertemuan-pertemuan berikutnya. Aku tahu ini salah, tapi rasanya sulit untuk berhenti. Anisa seperti magnet yang menarikku ke dalam dunianya, dan aku tidak punya kekuatan untuk melawan. Tapi aku tak tahu apa Anisa memiliki rasa yang sama seperti aku.
Inilah awal dari jalan berbahaya yang kupilih—jalan yang mungkin akan menghancurkan segalanya, atau mungkin... memberiku kesempatan kedua untuk merasakan getaran cinta yang lain. Tapi apakah aku siap menghadapi konsekuensinya? Ataukah ini hanya ilusi sementara yang akan berakhir dengan kehancuran?
378Please respect copyright.PENANAs2Ha6JrcME
Aku sudah memiliki dua orang anak: Anindya, si sulung yang berusia 12 tahun, dan Haikal, si bungsu yang baru menginjak 9 tahun. Mereka adalah cahaya dalam hidupku, dua alasan utama mengapa aku bangun setiap pagi dan berusaha menjadi lebih baik. Anindya, dengan kecerdasan dan rasa ingin tahunya yang tinggi, sering membuatku terkejut dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang dilontarkannya tentang dunia. Sementara Haikal, dengan sifatnya yang ceria dan penuh energi, selalu berhasil membuat rumah terasa hidup dengan tawa dan celotehannya. Mereka adalah bagian terbesar dari diriku, dan selama ini, aku selalu berusaha menjadi ayah yang bisa mereka banggakan.
Tapi malam ini, saat aku melangkah masuk ke rumah, rasa bersalah yang begitu besar menyergapku. Astrid sedang duduk di sofa, seperti biasa menonton drakor favoritnya sambil memegang secangkir teh hangat. Dia tersenyum saat melihatku masuk, dan aku berusaha membalas senyumannya, meski hatiku terasa berat.
“Assalamualaikum…!” Sapaku.
"Waalaikumsalam. Gimana lemburnya pah?" Sahutnya dengan nada lembut, tanpa sedikit pun kecurigaan.
Aku mengangguk, mencoba untuk tidak terlalu banyak berbicara. "Masih harus lanjut berapa hari lagi. Lumayan sibuk," jawabku, suaraku terdengar datar, bahkan bagi diriku sendiri.
Astrid mengangguk, lalu kembali fokus pada acara televisi. Aku bergegas ke kamar mandi, mencoba membersihkan diri dari segala beban yang kurasakan. Air yang mengalir di wajahku seolah tidak cukup untuk menghapus rasa bersalah yang menggerogoti hatiku. Aku memikirkan Anindya dan Haikal, dua malaikat kecil yang tidak tahu apa-apa tentang pergolakan dalam diri ayah mereka. Bagaimana jika suatu hari nanti mereka tahu? Bagaimana jika mereka melihat ayah mereka sebagai seseorang yang tidak layak dihormati?
Setelah mandi, aku menengok kamar anak-anak. Mereka berdua sudah tidur. Aku tersenyum melihat mereka, tapi senyum itu terasa pahit. Aku merasa seperti penipu, seorang ayah yang tidak layak mendapatkan kepercayaan mereka. Aku meninggalkan kamar mereka dengan langkah berat, kembali ke ruang tamu di mana Astrid masih duduk dengan tenang.
"Kamu keliatan capek," ucap Astrid, matanya penuh perhatian. "Istirahatlah, besok kan masih hari kerja."
Aku mengangguk, tapi pikiran ku melayang ke Anisa. Pertemuan kami tadi malam, percakapan kami yang begitu akrab dan harapan sepihak dariku untuk bertemu lagi. Malam ini aku tidak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi oleh bayangan Anisa dan rasa bersalah yang semakin menguat. Aku memikirkan Astrid, yang selalu setia dan percaya padaku. Aku memikirkan Anindya dan Haikal, yang tidak tahu apa-apa tentang pertarungan batin yang sedang ayah mereka alami. Aku merasa seperti sedang berdiri di persimpangan jalan, dan setiap pilihan yang kuambil akan membawa konsekuensi yang besar.
Di satu sisi, ada kehidupan yang sudah kubangun selama ini—sebuah keluarga yang penuh cinta dan kehangatan. Di sisi lain, ada perasaan baru yang muncul, perasaan yang membuatku merasa hidup kembali, tapi juga mengancam untuk menghancurkan segalanya.
Aku tahu, jalan yang kupilih ini berbahaya. Tapi entah mengapa, aku tidak bisa menghentikan diri sendiri. Mungkin ini adalah ujian terbesar dalam hidupku: memilih antara apa yang benar dan apa yang kuinginkan. Dan malam ini, aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu adalah aku mulai tergoda untuk mendua.
***
Saat pagi tiba, sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar membangunkan aku dari tidur yang gelisah. Astrid sudah bangun lebih awal, seperti biasa, dan suara riuh rendah anak-anak yang sedang bersiap-siap ke sekolah terdengar dari ruang makan. Aku berbaring sejenak, mencoba mengumpulkan pikiran yang masih berantakan. Perlahan, kesadaran mulai merayap masuk, dan dengan itu, sebuah realitas pahit mulai terungkap.
Aku mulai menyadari bahwa mungkin selama ini aku hanya bertepuk sebelah tangan. Anisa, sejauh ini, hanya bersikap normal padaku. Tidak lebih, tidak kurang. Dia adalah sahabat dekat Astrid, dan sikapnya padaku tidak pernah melampaui batas pertemanan biasa. Dia ramah, hangat, dan mudah diajak bicara, tapi itu semua tidak lebih dari sekadar sikapnya sebagai seorang sahabat. Tidak ada sinyal khusus, tidak ada pandangan yang terlalu lama, tidak ada sentuhan yang bermakna—tidak ada tanda-tanda bahwa dia memiliki ketertarikan padaku sama sekali.
Pikiran ini membuatku merasa seperti terjatuh dari awan. Semalam, aku begitu yakin bahwa ada sesuatu yang istimewa antara kami, bahwa percakapan kami yang dalam dan intim adalah tanda bahwa dia juga merasakan hal yang sama. Tapi sekarang, di bawah terangnya pagi, aku mulai mempertanyakan segalanya. Apakah aku hanya membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada? Apakah semua ini hanya ada dalam imajinasiku?
Aku bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi, mencoba menyegarkan diri. Air dingin yang mengalir di wajahku seolah membantuku melihat segala sesuatu dengan lebih jernih. Aku ingat bagaimana Anisa selalu bersikap ramah dan bersahabat, tidak hanya padaku, tapi pada semua orang di sekitarnya. Dia memang memiliki karisma yang alami, dan mungkin itu yang membuatku salah paham. Dia adalah tipe orang yang bisa membuat siapa pun merasa istimewa, tanpa bermaksud apa-apa.
ns 15.158.61.48da2