“Emang apaan sih?” Aku pura-pura tidak tahu.
“Biasa orbrolan ibu-ibu.”
Aku mengangguk, tapi di dalam hati, ada sesuatu yang terus menggelitik. Aku tahu ini salah, tapi bayangan tentang Anisa—tentang bagaimana seandainya aku bisa mendekati dia dan memberi dia kepuasan yang dirindukannya. Aku mencoba mengusirnya, tapi semakin kucoba, semakin kuat pula bayangan itu.
Setelah itu Astrid kembali mengghubungi Anisa dan mereka bercakap-cakap dengan mode telepon yang tentu aku tak lagi mendengar apa yang diceritakan Anisa.
Terlihat Astrid terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara yang lembut. "Aku ngerti, Nis. Tapi kamu harus hati-hati. Jangan sampai kamu ngambil keputusan yang bisa nyakitin kamu dan Dimas."
Aku sangat penasaran ingin mendengar kelanjutan curhatan Anisa, baru sekarang aku sadar suara Anisa begitu indah. Sayangnya sekarang Astrid mematikan speaker ponselnya. Tapi aku saat ini bahkan merasa memiliki peluang untuk mendekati wanita yang disia-siakan suaminya itu. Aku mulai memikirkan berbagai cara mendekati Anisa.
Malam itu, setelah percakapan serius antara Astrid dan Anisa usai, aku mulai memiliki hasrat kuat untuk merasakan bagaimana asiknya berselingkuh yang sebelumnya hanya muncul sekilas saja dan berhasil kutepis karena aku menciantai Astrid istiku.
Anisa, dengan segala keluhannya tentang hasrat birahinya yang tidak terpenuhi membuatku penasaran. Terbayang kecantikan Anisa dan tubuh indahnya. Ada keinginan kuat untuk bisa dekat dengan sahabat istriku yang cantik itu. Aku tahu ini salah, tapi rasa penasaran dan keinginan untuk "membantu" Anisa terus menggerogoti batas-batas logikaku. Aku tidak bisa mengusir bayangannya. Wajahnya yang anggun, senyumnya yang menawan, dan tubuhnya yang indah dengan bentuknya yang bahenol membuatku semakin tertarik.
Tapi ada satu masalah besar: aku tidak punya nomor ponsel Anisa. Aku dan Anisa tidak pernah benar-benar akrab, dan selama ini komunikasi kami hanya sebatas obrolan singkat saat bertemu beberapa kali secara kebetulan.
Aku mulai merencanakan cara untuk mendekati Anisa. Aku tahu Astrid pasti menyimpan nomor kontak Anisa di ponselnya. Tapi bagaimana cara mendapatkan nomor itu tanpa membuat Astrid curiga? Aku tidak bisa langsung meminta—itu akan terlihat sangat aneh dan mencurigakan.
Setelah berpikir panjang, aku berpura-pura kehabisan pulsa dan meminjam ponsel Astrid dengan alasan ingin menghubungi satpam kantor—mengklaim lupa mematikan AC di ruanganku. Strategi sederhana yang kupercaya tak akan memancing kecurigaan.
Dengan tergesa-gesa, kubuka kontak di ponsel Astrid. Detak jantungku berpacu, setiap detiknya terasa begitu berisiko. Akhirnya, kutemukan nomor Anisa. Dengan gerakan cepat, kubuka WhatsApp dan segera mengirimkan nomor tersebut ke ponselku sendiri. Sedetik kemudian, kuhapus jejak panggilanku.
Kemudian aku mengetik nomor pura-pura menelpon satpam, aku berusaha terlihat tenang. Namun, di balik hasratku itu muncul sebuah pertanyaan besar menggelayuti pikiranku: Sampai sejauh mana aku akan pergi mengejar godaan ini?
Perasaan lega mendapatkan nomor Anisa bercampur gelisah meremas hatiku. Aku tahu resiko yang kubawa—jika Astrid mengetahui ulahku, pernikahan kami bisa bermasalah besar. Tapi tantangan untuk mendekati Anisa, untuk merasakan sesuatu yang berbeda, begitu menggodaku.
Apakah aku akan menjadi pengkhianat atau sekadar pria lemah yang terjebak dalam fantasi singkat?
***
Siang hari saat di kantor aku memutuskan untuk menelpon Anisa. Aku merasa gugup, tapi juga bersemangat. Aku memutuskan untuk melakukan panggilan telepon. Aku perlu alasan yang masuk akal untuk menghubunginya, jadi aku memutar otak.
Aku menekan tombol panggilan dan menunggu. Beberapa detik berlalu, dan akhirnya Anisa mengangkat telepon.366Please respect copyright.PENANAQseZ6kynDZ
"Halo?" suaranya terdengar lembut tapi penuh kehati-hatian.
"Hai, Nisa. Ini aku Haris," kataku, mencoba terdengar santai. "Maaf ganggu. Aku cuma mau nanya, kamu lagi sama Astrid nggak? Aku coba hubungi dia tapi HP-nya nggak aktif-aktif."
Ada jeda sejenak sebelum Anisa menjawab, "Oh, nggak. Aku lagi di rumah sendirian. Kenapa? Ada apa?"
Aku merasa ini adalah kesempatan untuk membuka percakapan lebih dalam. "Ah, nggak apa-apa. Cuma tadi Astrid bilang mau ketemu kamu, jadi aku coba hubungi. Tapi kayaknya dia lagi nggak bisa dihubungi."
"Oh, gitu," jawab Anisa, masih terdengar waspada. "Mungkin lagi nggak ada sinyal atau baterainya habis."
Aku mengangguk meskipun dia tidak bisa melihatku. "Iya, mungkin. Eh tapi jangan bilang aku nanya soal dia ke kamu ya!"
“Emang kenapa mas Haris?”
“Gapapa sih cuma biar dia gak mikir aneh-aneh aja!”
“Oke deh.”
Aku menutup ponsel aku. Ini baru langkah awal sebelum menuju ke tujuan utama. Harus sabar tidak boleh terburu-buru. Ini benar-benar gila, setelah aku punya hasrat pada Anisa mendengar suara dia tadi lewat ponsel aku sudah ngaceng saja. Baru kali ini aku sadar suaranya saja sangat membuat aku bergairah.
Setelah menelpon Anisa, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Suaranya yang lembut terus terngiang di kepalaku. Aku harus menemukan cara untuk bisa lebih dekat dengannya.
Seminggu berlalu, dan aku mulai mengembangkan strategi untuk bisa bertemu Anisa tanpa membuat Astrid curiga. Aku memutuskan untuk menciptakan alasan "lembur" di kantor yang akan memberiku waktu luang untuk mendekati Anisa.
"Sayang, sepertinya minggu-minggu ini aku bakal sering pulang malam," kataku pada Astrid saat sarapan.
Astrid mengerutkan kening. "Kenapa? Ada proyek baru?"
"Iya," jawabku sambil menyeruput kopi. "Bos minta tim kami menyelesaikan proyek sebelum akhir bulan. Mau tidak mau harus lembur."
Astrid mengangguk paham. "Ya sudah, jangan lupa jaga kesehatan. Jangan terlalu capek."
Aku merasa sedikit bersalah melihat perhatian tulus Astrid, tapi bayangan Anisa terus menggodaku.
Keesokan harinya, aku sengaja pulang kantor tepat waktu, namun aku mengarahkan laju mobilku bukan menuju rumah. Ada hasrat yang menuntunku ke tempat lain—sebuah kafe kecil yang bersembunyi di antara gedung-gedung, tak jauh dari kompleks perumahan Anisa. Tempat ini sempurna untukku; tidak terlalu dekat sehingga menimbulkan kecurigaan, namun cukup strategis untuk mengamati gerak-geriknya.
Dengan jemari yang sedikit gemetar, aku mengirim pesan pada Astrid, istriku yang setia: "Masih di kantor, sayang. Lembur lagi hari ini. Jangan tunggu aku untuk makan malam." Kebohongan yang terselip di antara kata-kata kasih—beginilah rencanaku dimulai.
Saat duduk dengan secangkir kopi yang perlahan mendingin, aku teringat percakapan Astrid dengan Anisa beberapa minggu lalu yang tak sengaja kudengar. "Kalau Dimas pergi bisnis, aku sering menghabiskan waktu di Kafe Langit dekat rumah. Lebih baik daripada sendirian di rumah," kata Anisa saat itu. Dan benar saja, informasi ini menjadi sangat berharga bagiku. Dimas, suami Anisa, sedang dalam perjalanan bisnis ke Surabaya selama tiga hari—fakta yang kudapat dari obrolan santai dengan Astrid semalam.
ns 15.158.61.19da2