
Jam baru menunjukkan pukul 9 malam, dan tubuhku sudah terbenam nyaman di atas kasur empuk. Lampu kamar yang temaram menciptakan atmosfer yang seharusnya mengundang kantuk, namun mataku masih terpaku pada layar ponsel yang berpendar terang. Jemariku terus menggeser layar, menyusuri linimasa Twitter yang tak ada habisnya.
Malam ini, jagat media sosial sedang bergejolak. Perdebatan politik memanas bagaikan api yang menjilat-jilat, menarik perhatian siapapun yang lewat. Berbagai pendapat, analisis, hingga teori konspirasi bertebaran bagai konfeti di perayaan tahun baru. Opini-opini tajam saling beradu, hashtag-hashtag mulai trending, dan komentar-komentar pedas bermunculan seperti jamur di musim hujan.
Awalnya, aku hanya berniat menjadi penonton, menyaksikan pertarungan kata dari kejauhan. Namun perlahan, sesuatu dalam diriku mulai bergejolak. Darahku terasa mendidih ketika membaca argumen-argumen yang menurutku keliru, fakta-fakta yang diputarbalikkan, dan logika yang dipaksakan. Tanpa sadar, ibu jariku mulai mengetik balasan.
"Maaf, tapi data yang Anda gunakan sudah ketinggalan zaman. Coba cek sumber resmi terbaru."
Satu balasan terkirim, dan seolah membuka pintu gerbang yang tak bisa ditutup kembali. Notifikasi mulai berdenting, balasan bermunculan, dan aku semakin terhanyut dalam pusaran perdebatan virtual. Aku mendebat orang-orang yang bahkan tak pernah kutemui, nama-nama asing dengan foto profil yang tidak jelas, akun-akun dengan pengikut ribuan hingga yang hanya puluhan.
"Anda jelas tidak memahami konteksnya. Ini bukan soal kebijakan A atau B, tapi implementasinya di lapangan yang bermasalah!"
Jantungku berdegup kencang setiap kali mengirim balasan, adrenalin mengalir deras, seolah aku berada di podium debat nasional, bukan sekedar berbaring di kamar dengan piyama kusut. Aku lupa waktu, lupa tempat, bahkan lupa tujuan awalku membuka media sosial.
Anehnya, ada kepuasan tersendiri dalam pertempuran kata-kata ini. Setiap balasan yang kukirim, setiap argumen yang kubangun, memberikan sensasi kemenangan kecil yang membuatku ketagihan. Para psikolog mungkin menyebutnya sebagai "dopamine hit", semacam hadiah kimia yang diberikan otak ketika kita merasa telah melakukan sesuatu yang berarti—meski hanya dalam bentuk komentar pedas di dunia maya.
Namun di sela-sela jeda menunggu balasan, sedikit kesadaran menyusup. Apakah perdebatan ini benar-benar berarti? Akankah ada pikiran yang berubah? Atau ini hanya pertempuran sia-sia yang menghabiskan energi mental, waktu, dan kedamaian malamku?
Tapi ya sudahlah, namanya juga online war, seru-seruan saja, kan? Setidaknya itu yang kucoba yakinkan pada diriku sendiri, sambil terus mengetik balasan demi balasan, hingga larut malam menjelang.
Di sebelahku, Astrid, istriku, tengah hanyut dalam dunianya sendiri. Matanya tak lepas dari layar TV kamar yang menampilkan drama Korea favoritnya—tentu bukan dari siaran TV konvensional, melainkan dari aplikasi streaming berbayar yang selalu diperpanjang langganannya tepat waktu, tidak seperti tagihan listrik yang kadang kami lupakan.
Dialog-dialog bahasa Korea yang bagiku terdengar seperti mantra asing menjadi latar belakang sempurna bagi pertempuran di dunia maya yang sedang kujalani. Suara-suara itu bercampur dengan dentingan notifikasi ponselku, menciptakan simfoni aneh yang entah bagaimana terasa harmonis di kamar kami yang hangat.
"Aaaaaa! Kenapa dia bisa segitu bodohnya sih?!" Astrid tiba-tiba berseru, tangannya mengepal gemas ke arah bantal.
Aku menoleh sejenak, melihatnya begitu ekspresif menanggapi adegan yang bahkan tak bisa aku pahami konteksnya. Di layar, seorang pria dengan rambut tertata sempurna tampak sedang menatap seorang wanita dengan pandangan yang—menurut standar drakor—pasti sangat romantis dan penuh makna.
"Kenapa lagi?" tanyaku setengah tertarik, jari masih siap di atas keyboard virtual untuk mengirim balasan pedas ke akun @PolitikJago2025 yang baru saja menantangku dengan data yang jelas sekali dimanipulasi.
"Si Junghwan ini!" Astrid menunjuk layar dengan berapi-api, "Udah jelas-jelas Miyeon suka sama dia, tapi dia malah ngejar-ngejar sepupunya yang udah punya tunangan! Dasar cowok nggak peka!"
Aku mengangguk pura-pura paham, padahal dalam hati membatin: Minggu lalu bukannya dia baper sama karakter yang namanya Dong-wook? Atau itu serial yang berbeda?
Sementara aku masih mencoba menghubungkan benang merah dari cerita drakor yang hanya kudengar sepotong-sepotong, ponselku bergetar lagi. Ah, rupanya perdebatan soal kukukaka—akun medsos yang diduga milik seporang pejabat—kembali memanas. Seseorang dengan username @Bijaksana_Politik baru saja memposting thread panjang yang menurut pendapatku sangat tidak bijaksana.
"Lihat deh, yang," Astrid mencolek bahuku, menarikku dari lamunan digital. Dia menunjuk ke arah TV di mana sekarang tampak adegan hujan-hujanan yang tentu saja menjadi standar wajib setiap drama Korea. "Coba kamu romantis kayak gitu. Kapan terakhir kali kita hujan-hujanan bareng?"
"Terakhir kali kita hujan-hujanan, kamu flu selama seminggu dan aku harus bolak-balik ke apotek," jawabku sambil tetap mengetik balasan untuk thread yang membuatku gemas.
Astrid memutar bola matanya, kemudian kembali fokus ke layar TV. "Kamu sih sibuk sama politik terus. Emangnya debat di Twitter bisa bikin perubahan?"
Pertanyaan yang menohok, tapi aku pura-pura tidak mendengar. Tanganku malah semakin cepat mengetik, seolah kecepatan bisa mengalahkan kebenaran argumentasi lawan.
"Papah mending nonton bareng drakor daripada sakit kepala dan emosi naik gara-gara debat gak jelas di twitter kayak gitu," Ucap Astrid ketika melihat aku seperti emosi mengetik jawaban.
Aku tersenyum, melingkarkan tanganku di bahunya dan mencium keningnya lembut. Aku kebetulan lagi terpojok dalam perdebatan politik di Twitter. Notifikasi masih berdering, lawan-lawan debatku tentu sedang asik membully aku yang keteran kalah debat. Mending aku coba-coba nemeni Astrid istriku nonton drama korea.
"Jadi, mau nonton bareng drakor?" tanya Astrid saat melihat aku meletakan ponselku di meja dekat ranjang.
"Yah, asal kamu jelasin ya, ini siapa, itu siapa. Aku nggak ngerti sama sekali kenapa si Junghwan ini sepertinya pantas mendapat penghargaan sebagai pria paling tidak peka seantero Korea Selatan."
Tawa Astrid meledak, memenuhi kamar dengan kehangatan yang tak bisa kudapatkan dari kemenangan dalam debat online manapun. Malam itu, di bawah selimut hangat, dengan kepala Astrid bersandar di bahuku, kami memasuki dunia yang sama—dunia di mana CEO tampan bertemu dengan gadis biasa dan entah bagaimana jatuh cinta di tengah konflik perusahaan. Dunia yang mungkin terlalu sempurna untuk menjadi nyata, tapi memberikan kebahagiaan sederhana yang justru sangat nyata.
Kadang, mungkin, aku harus rehat sejenak dari perdebatan politik dan menikmati momen sederhana berbagi tawa dan kehangatan dengan orang yang kita cintai. Bahkan jika itu berarti harus memahami plot drakor yang terlalu rumit dan dialog bahasa asing yang tidak kita mengerti. Malas rasanya nonton sambil baca teks terjemahan yang kadang belum sempat terbaca sudah lenyap diganti teks baru.
Karena pada akhirnya, dari sekian banyak perdebatan yang pernah kuikuti di media sosial, tidak ada yang memberikan kebahagiaan sesederhana dan senyata saat melihat Astrid tersenyum di sampingku.
ns 15.158.61.40da2