Saat bel istirahat pertama berdering, Keira memisahkan diri dari Felly, Juna, dan Indra—Indra officially jadi bagian geng Keira—untuk ke toilet. Ketiga temannya segera ke kantin sebab sejak setengah jam sebelum bel, Felly mengeluh perutnya lapar.
Sepanjang koridor yang ia temui hanya wajah-wajah asing anak-anak kelas sepuluh. Pelajaran selanjutnya bahasa Indonesia, Keira segera melangkahkan kakinya menuju Ruang Bahasa Indonesia yang terletak di depan lapangan upacara. Cukup jauh dari Ruang Biologi. Langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Gilang. Cowok 12 IPA 2 yang paling dihindarinya baru keluar dari Ruang Bahasa Indonesia. Cowok itu menyebalkan—menurut Keira karena sering menggodanya—dan kehadirannya selalu membuat dirinya emosi.
“Sayang kita beda kelas, Kei. Padahal aku berharap kita bisa sekelas lagi,” ucapnya sambil tersenyum. Cowok itu menghalangi jalan Keira yang tinggal beberapa langkah lagi menuju Ruang Bahasa Indonesia.
“Kamu banyak nge-bully anak orang makanya harapanmu nggak dikabulin Tuhan,” sahut Keira sekenanya.
Gilang tergelak. Cowok itu rindu menggoda cewek di depannya ini. “Abisnya seru sih nge-bully anak orang. Apalagi kalo anaknya secara nggak langsung minta di-bully.”
Kedua manik cokelat tua Keira menatap Gilang sebal. Tapi yang ditatap malah tersenyum lembut hingga kedua matanya menyipit. Tercipta guratan-guratan samar di bawah kedua matanya. “Siapa juga yang minta di-bully secara nggak langsung.”
“Aku nggak bilang itu kamu lho, Kei. Tapi kalo kamu merasanya begitu, mulai sekarang aku bakalan lebih intensif lagi.”
Wajah Keira memanas. Siswa-siswa yang berlalu lalang di koridor sempat melirik dan mencuri dengar percakapan mereka. Mereka langsung kasak-kusuk dan mengeluarkan spekulasi masing-masing. Keira yang tak tahan segera memasuki Ruang Bahasa Indonesia dengan muka ditekuk. Dicarinya bangku kedua dari belakang lantas segera mendudukinya.
Gilang melongokkan kepalanya dari ambang pintu kemudian mencari cewek itu. Untungnya kelas masih cukup sepi sehingga tak butuh waktu lama untuk menemukannya. “Pulang bareng, ya!”
Setelah melemparkan senyuman, Gilang meninggalkan Ruang Bahasa Indonesia. Beberapa cowok bersiul nyaring dan celetukan “cieee” jelas terdengar di telinga Keira.
“Kamu udah jadian sama Gilang, Kei?” tanya Resna. Cewek yang dempulnya tebel banget kayak habis dibalut tepung khusus untuk menggoreng ayam. Felly memberi nickname pada Resna “si ragi” karena dempulnya tebel tapi nggak rata.
“Nggak, aku nggak jadian sama dia,” sahut Keira ketus. Resna segera menjauh takut kena omelan. Dia segera bergabung dengan teman sebangkunya Revita, yang Felly beri nickname “si rempong” karena sering sok sibuk nggak jelas.
Felly, Juna, dan Indra masuk ke kelas. Felly duduk di sebelah kiri Keira sembari mengunyah pastel sementara Juna dan Indra duduk di depannya. Ketiganya heran melihat wajah Keira yang kesal.
“Kenapa, lo?” tanya Felly penasaran. Disodorkannya sebotol air mineral pesanan Keira.
“Biasa lah,” Keira malas menceritakan detil kejadian barusan. Dia membuka botol tersebut lalu meneguknya.
“Cieee. Udah terima aja, sih. Lagian itu cowok pantang menyerah,” ucap Felly sambil menaikkan kedua alisnya. Dia sudah tahu sejak kelas sepuluh kalau Gilang naksir Keira. Tapi Felly nggak paham apa yang membuat Keira menolak cowok itu, padahal kalau Felly perhatikan sebenarnya Keira juga punya perasaan yang sama dengan Gilang.
Indra yang nggak ngerti apa yang sedang dibicarakan dua temannya langsung membuka suara. “Kalian lagi ngomongin apa, sih?”
“Ada cowok yang ngejar-ngejar Keira dari kelas sepuluh. Cinta mati kayaknya. Tapi ini anak malah menghindar terus. Padahal naik kastanya kalo jadian sama itu cowok,” Juna ikut bersuara. Juna belum pernah sekelas dengan Gilang tapi mereka sering ketemu karena anggota OSIS. Dan sepengelihatan Juna, Gilang itu banyak banget fans-nya apalagi pas MOS beberapa hari yang lalu. Beberapa junior cewek bahkan terang-terangan ‘nembak’ dia, tapi cowok itu menolak dengan halus. Alasannya karena ada cewek yang dia suka.
“Kata gue juga mending terima aja si Gilang. Ntar dia udah nggak ngejar-ngejar, lo malah nyesel lagi,” Felly mengambil tisu dari ranselnya kemudian mengelap tangannya yang berminyak.
Wajah Keira semakin ditekuk. Dia kesal teman-temannya malah mendukung dirinya untuk jadian dengan Gilang. Keira jelas nggak mau. Sebenarnya nggak ada alasan khusus Keira nggak suka Gilang. Dia cuma nggak suka digoda cowok itu. Sudah nggak terhitung berapa kali dirinya dibuat malu gara-gara omongan nggak disaring Gilang selama kelas sepuluh. Masih mending kalau Gilang menggodanya di depan teman-teman sekelasnya, cowok itu bahkan sering mencari perhatiannya di depan para guru. Mau nggak mau setiap hari Keira harus mengelus dada dan sabar-sabarin diri sendiri sampai kelulusan.
“Mungkin Keira suka sama cowok lain makanya dia nggak mau jadian sama Gilang,” ucap Indra dengan tatapan lurus pada Keira. Keira tersenyum tipis. Dirinya lega setidaknya Indra nggak ikut-ikutan menyuruhnya untuk jadian dengan Gilang.
“Gue belum pernah denger Keira cerita suka sama cowok. Gue malah sering denger dia cinta mati sama abang Seiya. Sampe bosen gue dengernya,” Juna meminta tisu pada Felly lalu mengelap tangan dan bibirnya.
“Abang siapa?” Indra roaming lagi dengan topik pembicaraan mereka.
“Abang Seiya. Vokalisnya band apa itu gue lupa. Band Jepang yang logonya tikus,” sahut Felly.
“Kyuso Nekokami. Aku emang cinta mati sama abang,” seru Keira bangga. Felly dan Juna cuma bisa menggelengkan kepala mereka. Heran dengan pikiran Keira yang lebih memilih naksir cowok yang jelas-jelas nggak kenal dengannya daripada naksir cowok yang mengejarnya mati-matian.
Felly tersenyum geli membaca sesuatu di ponselnya. Dia segera menyerahkan ponselnya pada ketiganya. Keira sontak menganga membaca status Gilang di Facebook.
Gilang Fadillah wrote a status: Glad to see her again. I’ll definitely make you mine before graduation.
“CIEEEEE!” Felly dan Juna kompak berkoor bersama. Beberapa anak 12 IPA 3 yang berada di ruangan terkejut dengan seruan tiba-tiba keduanya. Mereka penasaran dan segera mengecek semua sosial media untuk mencari tahu apa yang terjadi. Setelah melihat status Gilang di facebook, mereka langsung kasak-kusuk terutama para cewek.
“Gila itu orang!” Keira menunduk dan menutup muka dengan kedua tangannya. Wajahnya pasti sudah merah padam sekarang.
“Wah kayaknya makin seru nih. Nggak sabar buat nunggu kelanjutan ceritanya. Eh eh ada anak kelas sepuluh yang komen nih. ‘I’m officially broken-hearted, Kak’ dengan emoticon sedih,” seru Juna bersemangat.
“Ada anak IPA 2 yang komen juga. ‘Semangat, Lang! Anak IPA 3 kan? Hehehe’ katanya,” Felly ikut-ikutan membacakan komentar-komentar yang ada di status Gilang tersebut. “Lo nggak ikutan komen, Kei? Biar rame notifikasi si Gilang.”
“Dih buat apa. Aku nge-block semua akun dia,” ketiganya menatap Keira tak percaya. Sebegitu bencinya kah dengan Gilang sampai-sampai dia block akun sosial media cowok itu.
“134 likes dan 43 komentar, dong. Kebanyakan nanya siapa yang dimaksud. Gue ikutan komen aja kali ya. Gue kasih tahu siapa yang dimaksud,” Keira sontak memelototi Juna dan berusaha untuk merebut ponsel cowok itu. Tapi Juna langsung menjauhkan ponselnya hingga Keira tak bisa merebutnya.
“Ih udah jangan bikin drama deh!” sentak Keira. Tapi bukannya takut kena omelan seperti Resna, Felly dan Juna cuma senyum-senyum. Indra sendiri memilih untuk diam sejak tadi. Dia minim informasi apa yang terjadi sebelum kedatangannya ke sekolah ini dan sama sekali belum melihat langsung seperti apa rupa Gilang.
“Iya iya gue nggak akan ikut komen deh,” Juna melunak. Bel masuk berdering. Dia masukkan ponselnya ke saku celana abu-abunya. Siswa-siswa yang sedari tadi nongkrong di luar segera berhamburan masuk ke dalam kelas.
Wajah Keira masih ditekuk. Tapi setidaknya selama pelajaran bahasa Indonesia nanti dirinya akan disibukkan dengan pelajaran. Felly dan Juna juga nggak akan parah-parah amat menggodanya seperti tadi.
***
Keira berpapasan dengan Ayudia, salah satu cewek berhijab 12 IPA 4 yang juga pacar Juna. Keira ingat bagaimana gigihnya Juna merebut hati Ayudia hingga membuat heboh seluruh kelas sebelas beberapa bulan yang lalu.
Saat istirahat pertama Keira nggak sempat makan apa-apa gara-gara ketemu Gilang dan status gilanya di facebook. Mereka berdua berjalan beriringan menuju kantin. Untungnya Ayudia sama sekali nggak menyinggung soal status tersebut. Mungkin dia belum mengecek akunnya, atau mungkin juga dia merasa akan menganggu privasi Keira jika bertanya.
“Habis ini kamu pelajaran apa, Kei?” tanya Ayudia setelah membayar sebotol air mineral.
“Sejarah. Duh hari Senin pelajaran terakhir kenapa dikasih sejarah, sih? Makanya aku mau beli permen atau cemilan supaya nggak ngantuk,” sahut Keira. Dia memilih-milih permen dan cemilan yang bisa membuatnya terjaga sampai bel pulang berdering nanti. “Kelas kamu?”
“Biologi. 12 IPA 3 gurunya Pak Wahyu, bukan? Tadi ngebahas apa aja?”
“Iya, Pak Wahyu. Belum masuk materi, sih. Tadi cuma ngasih tahu poin-poin materi selama semester satu. Oh iya, tiap minggu bakal ada tes kecil sebelum masuk ke materi baru.”
“Wah bakalan ada tes kecil setiap pertemuan? Harus baca-baca materi lama sebelum masuk ke kelas Biologi, dong.”
“Iya. Ternyata kelas dua belas sama sekali nggak bisa santai-santai, ya.”
Mereka berdua menghela napas pelan. Kemudian keduanya berjalan bersama karena Ruang Biologi dan Sejarah bersebelahan. Keira melihat Juna sedang mengobrol dengan anak-anak cewek kelas sepuluh di tepi lapangan basket. Dia melirik ke arah Ayudia sekilas, Ayudia tampak tenang-tenang saja. Cewek itu sama sekali nggak pernah cemburu kalau Juna dikelilingi cewek-cewek kelas sebelas maupun kelas sepuluh. Juna termasuk salah satu cowok cakep di angkatannya. Banyak junior cewek yang patah hati saat mengetahui Juna sudah punya pacar. Tapi para junior itu nggak patah semangat. Masih banyak kakak-kakak kelas cowok semodel Gilang, Taufik, atau Yogi yang masih available.
“KEIRA!” teriak seorang cowok di dekat ring basket. Keira langsung berjalan cepat karena setiap pasang mata seketika memandang cowok itu dan dirinya. Cowok itu melambaikan tangannya tapi melihat langkah-langkah cepat Keira, dia segera meninggalkan lapangan basket dan mendekati Keira.
Langkah Keira terhenti saat sosok tinggi menjulang yang mati-matian dia hindari berdiri menghadangnya.
“Apa, sih?” tanya Keira sewot.
“Ya kamu, aku panggil-panggil malah kabur,” sahutnya sambil tersenyum.
Ayudia yang langsung merasa awkward segera berpamitan pada keduanya lalu pergi menuju kelasnya.
“Ada apa?” tanya Keira malas. Teman-teman Gilang yang tadinya asyik bermain basket langsung berhenti. Mereka berdiri di dekat pembatas lapangan yang atasnya terbuat dari kawat. Senyum-senyum ingin tahu tampak terlihat jelas dari wajah mereka.
“Cuma manggil kamu aja.”
Keira menaikkan kedua alisnya heran. Bukan sekali dua kali cowok ini selalu memanggilnya tanpa alasan yang jelas. Apalagi saat kelas sepuluh dulu, cowok ini bisa memanggilnya lebih dari 50 kali dalam sehari tanpa ada maksud yang jelas. Gilang cuma senyum-senyum memandangi wajah heran Keira. Cewek ini apapun reaksinya selalu membuat dadanya berdebar.
“Dasar nggak ada kerjaan,” Keira menggeleng pelan. Keira berniat untuk meninggalkan cowok ini, tapi langkahnya kembali terhenti saat mendengar celetukan-celetukan menyebalkan teman-teman Gilang.
“Kei, udah terima aja si Gilang. Liburan kemaren dia hampir bunuh diri gara-gara kangen sama kamu,” celetuk Taufik. Anak 12 IPA 1 yang menjabat sebagai ketua OSIS. Tapi kelakuannya sama sekali nggak mencerminkan ketua OSIS yang patut diteladani teman-teman maupun para juniornya.
Keira yang pernah sekelas dengan Taufik waktu kelas sepuluh dulu, selalu geleng-geleng kepala lihat kelakuan absurd cowok itu. Taufik pernah dengan rajinnya memindahkan pot tanaman yang ada di kelas untuk disiram dan dijemur supaya kena cahaya matahari. Tapi beberapa jam setelah cowok itu masukkan kembali pot tanaman ke dalam kelas, dia baru sadar kalau tanaman itu bukan tanaman asli. Setiap pasang mata yang melihat kejadian itu langsung tertawa terbahak-bahak. Sama sekali nggak percaya Taufik nggak bisa membedakan tanaman asli dan tiruannya.
Bersama dengan Gilang, keduanya adalah kombinasi yang sering membuat ingar-bingar saat kelas sepuluh dulu. Keira merasa dikutuk saat kedua cowok itu selalu memilih untuk duduk di belakangnya dan Felly saat pelajaran berlangsung. Tidak sekali atau dua kali dua cowok itu mengusilinya dengan menarik rambut, melempar gulungan kertas, atau menendang-nendang kursinya.
“Bener Kei, terima aja. Adukan pada layanan customer service kami kalau pelayanan Gilang kurang memuaskan,” kembali terdengar celetukan gila dari Iqbal. Cowok berbadan tinggi besar yang kerjaannya melempar-lempar cowok yang badannya kecil hingga hampir menyentuh langit-langit kelas. Keira pernah melihat Juna—badannya bisa dikatakan lebih kurus daripada cowok-cowok kebanyakan—dilempar-lempar oleh Iqbal dan teman-temannya hingga wajahnya pucat. Tapi bukannya menolong Keira malah tertawa ngakak hingga tersedak.
Wajah Keira kembali merona. Dia bisa merasakan seluruh mata memandangnya sambil senyum-senyum. Juna yang masih berdiri di tepi lapangan basket pun sama sekali nggak berniat menolong. Dia malah bersandar dengan santai di dinding pembatas lapangan basket yang berada cukup jauh dari Keira, tapi bisa melihat dan mendengar percakapan menggelikan yang terjadi. Kali ini dia ada di pihak Gilang dan teman-temannya. Dia udah lama gemas melihat pendekatan Gilang yang nggak maju-maju. Malah semakin jauh jarak antara cowok itu dan Keira. Juna ingin Keira segera punya pengalaman pacaran seperti anak-anak SMA lainnya.
“Gimana kalo kita coba aja, Kei? Udah banyak restu dari temen-temen aku nih,” ucap Gilang. Cowok itu merasa di atas angin sekarang.
“Coba apa? Nggak ada coba-coba,” tandas Keira. Kembali dia melangkahkan kakinya meninggalkan Gilang dan teman-temannya yang urat malunya sudah dijual ke tukang bakso. Celetukan-celetukan yang membuat pipinya merona masih bisa dia dengar. Tapi dia mencoba untuk tidak peduli.
***
ns 15.158.61.41da2