Hari Senin saat Keira kembali ke sekolah, dia melihat Indra sudah duduk di salah satu kursi terbelakang di ruang Biologi. Kursi yang pertama kali cowok itu duduki. Cowok itu mendengarkan lagu menggunakan earphone sambil melipat kedua tangan di dada dan memejamkan mata. Keira berniat untuk menanyakan apa yang terjadi saat mereka nonton Sabtu lalu, tapi dia mengurungkan niatnya saat merasakan aura yang terpancar dari cowok itu tidak bersahabat. Seolah ada aura hitam menyelimuti sekeliling cowok itu agar orang-orang tidak berani untuk mendekat.
Setelah mengambil topi untuk upacara, Keira lantas menyimpan tasnya di salah satu meja kedua dari barisan depan. Dia melirik ke arah cowok itu tapi sepertinya Indra belum sadar Keira sudah ada di kelas. Keira menghela napas lalu meninggalkan kelas.
Keira duduk di bawah pohon rindang di tepi lapangan upacara. Tampak kelas 12 IPA 2 yang minggu ini kebagian menjadi petugas upacara sedang berlatih mengibarkan bendera. Sayup-sayup terdengar siswa-siswa 12 IPA 2 sedang berlatih menyanyikan lagu Indonesia Raya di atas panggung. Keira melihat Gilang tengah berbicara serius dengan salah satu cewek 12 IPA 2 yang kebagian menjadi pembaca UUD 1945.
Dodi—salah satu teman Gilang yang hobi bikin ingar-bingar di 12 IPA 2—menyenggol cowok itu lalu menginstruksikannya agar melihat ke arah pohon rindang. Gilang langsung sumringah dan tanpa sadar melambaikan tangan pada Keira sambil tersenyum. Keira menoleh ke kiri dan kanan tapi tak ada siapa-siapa di dekatnya. Tanpa komando, para cowok 12 IPA 2 berkoor “CIEEE” dengan lantang disertai siulan nyaring hingga siswa-siswa lain berhamburan dari kelas dengan muka penasaran.
Wajah Keira merah padam. Dia segera bangkit lalu pergi dengan langkah cepat. Tapi celetukan-celetukan norak yang semakin membuat wajahnya memanas masih bisa didengarnya.
“Sweet banget ngawasin si aa latihan jadi petugas upacara.”
“Pheromone si Gilang dahsyat banget sampe bikin Keira langsung kabur gitu.”
“Baru dilambain tangan aja mukanya udah merah. Pantes selama ini dia selalu kabur kalo dideketin Gilang, takut meleleh kali, ya.”
“Ini sih fix kalo Keira juga suka sama Gilang.”
Komentar-komentar asal dari teman-teman Gilang sudah tak bisa didengarnya saat ia berbelok ke toilet perempuan di dekat lapangan basket. Keira duduk di salah satu bilik toilet sembari menutup wajah dengan kedua tangannya. Dia masih merasakan hangat pada wajahnya. Godaan barusan bisa dikatakan wajar-wajar saja jika dibandingkan saat kelas sepuluh dulu, tapi tetap saja Keira tidak bisa bersikap biasa saja. Dia tidak terbiasa menjadi pusat perhatian.
Setelah merasa tenang, Keira keluar dari bilik toilet. Dia berpapasan dengan Indra yang terkejut melihatnya. Keira bisa melihat cowok itu membeku. Tapi tak lama kemudian ekspresinya berubah. Cowok itu berusaha untuk tersenyum.
“Gue lihat tas lo di kelas. Tapi gue nggak tahu kalo lo udah dateng,” ucapnya sambil mencoba tersenyum.
“Oh, itu… tadinya aku mau nyapa tapi kamu serius banget dengerin musik,” jelas Keira.
Indra hanya mengangguk. “Felly sama Juna udah ke lapangan upacara duluan. Mau bareng?”
Keira mengangguk lantas keduanya berjalan bersisian menuju lapangan upacara. Beberapa siswa tampak berjalan lebih cepat dari mereka menuju lapangan upacara. Keira sudah menabung mental di toilet kalau-kalau kejadian beberapa menit lalu akan terulang lagi.
“Pasti mau tanya kenapa gue tiba-tiba pergi pas nonton Sabtu lalu, ya?” tebak Indra.
Keira terkejut. Dia malah sama sekali lupa tentang hal itu gara-gara kelakuan teman-teman Gilang. “Hah? Oh… tadinya mau nanya tapi nggak jadi. Jawaban kamu pasti ‘gue mau cerita, Kei. Tapi belum saatnya’. Iya, kan?”
Indra tertawa. Tapi kali ini tawa yang bisa Keira dengar terdengar dipaksakan. Seolah Keira baru saja melemparkan joke super garing dan cowok itu mencoba tertawa agar Keira tidak sakit hati. “Sok tahu. Siapa bilang gue nggak mau cerita sekarang?”
Kedua mata Keira membesar, tak percaya. “Jadi kamu mau cerita?”
Indra mengangguk mantap. “Sabtu kemaren gue dapet LINE dari temen. Dia lagi main ke Bandung dan lihat gue di Ciwalk. Ternyata dia juga lagi di sana, jadi gue nemenin dia. Sori kalo nggak bilang-bilang. Gue nggak enak sama yang lain.”
“Oh gitu,” Keira manggut-manggut.
“Filmya seru?”
“Seru sih, tapi kayaknya aku harus nonton lagi nanti. Aku nggak konsentrasi nonton setelah lihat kamu keluar bioskop,” Keira langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan. Dia mengumpat dalam hati kenapa bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Perkataannya barusan jelas menunjukkan kalau cewek itu khawatir.
Dia melirik ke arah Indra lewat ekor mata, tapi sepertinya cowok itu tenang-tenang saja. Sepertinya cowok itu malah nggak mendengarkan apa yang baru diucapkannya.
“Bye, Kei,” Indra meninggalkannya saat tiba di tepi lapangan upacara. Cowok itu memang jarang bahkan hampir nggak pernah baris bersama cowok-cowok 12 IPA 3. Dia selalu menyusup di barisan kelas sebelas IPA. Untungnya guru-guru lebih sering menyatroni sebelas IPS yang sering membuat keributan.
Keira menempatkan diri di barisan dua dari depan karena badannya memang mungil. Lebih kecil daripada cewek-cewek di kelas. 12 IPA 1 dan 12 IPA 4 pun sudah mulai membuat barisan di sebelah kanan dan kirinya.
“Gue udah denger soal yang tadi pagi. Kenapa kabur sih, Kei? Gilang kan cuma melambaikan tangan doang!” Felly tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya dan seperti biasa mulai mencecarnya.
“Temen-temennya yang bikin aku males jadi aku kabur. Malu tahu nggak disorakin ‘cieee’ dari tengah lapangan. Mana orang-orang yang ada di kelas langsung keluar gara-gara penasaran,” Keira merasa pipinya kembali menghangat gara-gara mengingat kejadian tadi.
“Lo kayak baru sekali dua kali digituin sama mereka, Kei. Santai aja kenapa,” ucap Felly sembari menepuk punggungnya.
Keira menggeleng lemah. Felly sama sekali nggak mengerti perasaannya karena dia nggak berada di posisinya saat ini. Apapun yang akan Keira katakan sekarang sepertinya akan sia-sia karena sohib-sohibnya selalu mendukung Gilang.
“Oh iya, lo pulangnya dianterin Gilang, kan? Kok gue belum denger ceritanya nih,” lanjut Felly.
“Iya dianterin sampe rumah. Terus dia pamit pulang.”
“Nggak ngobrol-ngobrol dulu?”
Keira menggeleng. “Nggak, dia langsung pamit karena lihat rumahku kosong.”
“Tuh, Kei. Gilang anaknya baik. Dia nggak macem-macem tahu rumah lo kosong.”
Keira enggan berkomentar lagi. Untungnya upacara akan segera dimulai. Dia mengenakan topi yang sedari tadi hanya dipegangi saja. Kemudian dia segera meluruskan bahunya dengan teman-teman yang berada di kiri dan kanan.
Selama pelajaran Biologi berlangsung, Juna duduk sendiri di depan Felly dan Keira. Entah apa yang terjadi dengan Indra, cowok itu memilih untuk duduk di belakang Resna dan Revita. Kedua cewek itu sumringah banget karena selama ini hanya bisa memandang Indra. Aura Felly yang galak pada mereka selalu membuat keduanya tak berani mendekati apalagi mengajak bicara.
Beberapa cewek heran dan mengasumsikan kalau ada masalah diantara mereka. Mereka dekat sejak hari pertama sekolah tapi tiba-tiba saling mendiamkan diri. Juna cuek-cuek saja. Dia merasa nggak punya masalah dengan cowok itu. Untungnya Yudi—sialnya datang terlambat hari ini—yang selalu mengincar kursi di barisan paling belakang, dengan suka rela akan menjadi teman semeja Juna pada pelajaran selanjutnya.
Keira jadi heran dengan kelakuan Indra. Cowok itu selalu baik padanya tapi ada sesuatu yang tidak tulus di sana. Dia bisa dengan mudah dekat dengan orang lain tapi juga selalu menjaga jarak agar privasinya selalu tertutup rapat. Dia bisa tiba-tiba kembali mengajak ngobrol Felly atau Juna seperti kawan lama, tapi hari berikutnya dia memilih untuk menjauhi keduanya.
Setelah kejadian saat nonton waktu itu, Felly malah langsung nggak peduli kalau ada makhluk yang bernama Indra di kelas. Dia merasa cowok itu punya masalah psikologi karena emosinya selalu berubah dengan cepat. Lalu, gara-gara punya pengalaman berpacaran dengan cowok semodel Ferdi—walaupun cuma sekali—membuat alam bawah sadar Felly tahu bagaimana cowok baik dan brengsek.
Langkah Keira terhenti sebelum mencapai koridor depan Ruang Bahasa Jerman. Bel istirahat sudah berdering sepuluh menit yang lalu tapi Gilang dan teman-teman cowoknya masih berada di depan kelas. Mereka duduk di melingkar di lantai sembari bermain gitar dan bernyanyi. Posisi mereka saat ini sangat dekat untuk menerima omelan dan ceramah super panjang dari guru-guru di Ruang Kesiswaan, tapi mereka tak mengacuhkannya.
Ruang Bahasa Jerman tepat berada di dekat tiga koridor yang saling berhubungan satu sama lain. Siswa-siswa yang akan melewati koridor menuju deretan ruang bahasa pun, dengan terpaksa harus berjalan di tepi lapangan upacara yang dipenuhi pot-pot besar. Sebagian besar malah memilih berjalan memutar menuju ke belakang panggung, lalu menyebrangi lapangan upacara saat matahari sedang terik-teriknya seperti saat ini.
“Terang saja… aku menantinya
Terang saja… aku mendambanya
Terang saja… aku merindunya
Karena dia… karena dia
Begitu indah”
Padi – Begitu Indah
Refrain lagu Begitu Indah dengan lantang mereka nyanyikan. Siswa-siswa yang berlalu lalang pun penasaran lantas dengan sengaja berhenti untuk menonton.
Keira berusaha untuk mengacuhkan kekonyolan Gilang dan teman-temannya. Dia berjalan menuju pintu tapi belum sempat tangannya menyentuh hendel, Dodi dan Fauzan segera berdiri lalu menggeser tubuh mereka hingga menutupi pintu. Keira jadi kesal. Apalagi tanpa sadar teman-teman Gilang menggeser tubuh mereka hingga Keira berada di tengah lingkaran.
Keira yang bingung hanya bisa menoleh ke kiri dan kanan mencari Juna atau Felly. Tapi yang dicarinya entah berada di mana. Wajah-wajah penasaran semakin banyak terlihat. Bahkan mereka tanpa ragu-ragu mendekat untuk menonton dengan jelas.
Gilang bangkit bersama gitar di tangannya. Keira tertegun mendengar sebait lagu dari Padi yang berjudul Menanti Sebuah Jawaban terdengar merdu keluar dari bibir cowok itu.
“Sepenuhnya aku… ingin memelukmu
Mendekap penuh harapan… tuk mencintaimu
Setulusnya aku… akan terus menunggu
Menanti sebuah jawaban tuk memilikimu”
Rona merah langsung menghiasi kedua pipi Keira. Ini pertama kalinya seseorang bernyanyi untuknya. Dan ditonton puluhan pasang mata. Dia sama sekali nggak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Dia hanya memandang cowok di depannya yang masih menyanyikan lagu Menanti Sebuah Jawaban hingga akhir.
Sebuah perasaan hangat tiba-tiba datang menyelimuti hatinya. Tanpa sadar Keira tersenyum. Dia teringat adegan Patrick menyanyikan lagu Can’t Take My Eyes Off Of You di tengah lapangan untuk meminta maaf pada Kat di film 10 Things I Hate About You. Itu adalah adegan favoritnya hingga saat ini.
“Suaraku bagus nggak, Kei?” tanya Gilang saat selesai menyanyikan lagu tersebut. Terdengar riuh tepuk tangan siswa-siswa yang menonton.
“Suaramu lumayan tapi gitarnya fals,” jawab Keira sambil tersenyum geli.
“Gitarnya nggak fals, Kei. Akunya aja yang belum bisa main gitar. Baru seminggu belajar nih,” ucap cowok itu sembari mengembalikan gitar tersebut pada Fauzan. “Maaf ya tadi temen-temenku nyorakin kamu.”
“Iya, Kei. Maafin kita ya!” seru teman-teman Gilang sambil senyum-senyum. Sama sekali nggak terlihat penyesalan dari wajah mereka.
Keira hanya mengangguk pelan. “Kalian minggir, dong. Kasian temen-temenku nggak bisa masuk ke kelas. Yang mau lewat juga jadi harus muter.”
Teman-teman Gilang langsung bangkit dan bergegas meninggalkan koridor depan Ruang Bahasa Jerman. Para penonton dadakan pun membubarkan diri. Cewek-cewek yang menonton berapi-api mengomentari aksi Gilang barusan. Menurut mereka Gilang sweet banget. Mereka juga ingin punya cowok kayak Gilang yang rela bernyanyi di koridor hanya untuk meminta maaf.
“Kamu habis nonton 10 Things I Hate About You, ya?” tebak Keira.
Gilang hanya ber-‘ehehehe’ ria menjawab tebakan Keira. “Kata Juna kamu suka banget film itu.”
“Tapi kenapa lagunya Padi? Kok bukan Can’t Take My Eyes Off Of You?”
“Kita nggak boleh melupakan kearifan lokal, Kei.”
“Dih apaan sih. Nggak jelas banget,” Keira tergelak. Baru kali ini dia merasa nyaman ngobrol dengan Gilang. Kalau Gilang dan teman-temannya normal, mungkin sudah dari dulu mereka berteman dekat.
“Sekarang aku nggak akan maksa-maksa kamu untuk jadi pacarku. Kita mulai jadi temen dulu, ya. Jadi aku harap kamu nggak akan kabur kalo aku melambaikan tangan. Jujur aku shock banget waktu kamu kabur tadi.”
“Bukannya selama ini kita emang berteman, ya?” Keira terkekeh. “Itu gara-gara temen-temenmu yang gila dan norak. Malu tahu disorakin dari tengah lapangan,” keluh Keira.
“Maaf, ya. Aku udah bilangin mereka supaya nggak kayak gitu lagi, kok.”
“Bagus deh.”
“Oh iya!” Gilang membuka salah satu risleting tasnya lalu menyerahkan sebuah plastik putih pada Keira. “Sebentar lagi bel bunyi dan aku yakin kamu nggak bisa ke kantin sekarang. Jadi tadi aku beliin kamu roti dan air mineral. Makan, ya, jangan sampe nggak!”
Gilang segera berjalan meninggalkan Keira. Sosoknya menghilang saat berbelok di koridor menuju tangga ke lantai dua, lantai khusus ruangan dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Keira hanya bisa menggeleng pelan. Bingung harus bereaksi bagaimana.
“Dasar aneh,” gumam Keira. Dia berbalik lantas masuk ke kelas. Tanpa sadar sebuah senyum tercipta di wajahnya.
***
Bel pulang sudah berdering sejam yang lalu. Lingkungan sekolah sudah sepi, hanya terdengar langkah-langkah serempak khas anggota paskibra yang sedang berlatih dari lapangan basket. Keira keluar dari Ruang 2 beserta sepuluh siswa lain dari berbagai kelas dua belas IPA. Bukan sekali atau dua kali dia harus ikut ulangan perbaikan matematika. Entah sejak kapan matematika menjadi musuh tak kasat mata yang selalu menghantui masa SMA-nya.
Keira berjalan dengan gontai. Setiap hasil ulangan dibagikan, nilainya selalu jauh dari batas minimal. Ulangan minggu lalu dia mendapat 50, dan tadi siang mendapat 53. Keira sempat tertawa miris melihat kemajuan yang ‘cukup signifikan’ pada nilainya. Dia jadi semakin nggak yakin nilai ulangan perbaikan tadi akan membuat nilai matematikanya membaik.
Langkahnya terhenti saat berpapasan dengan Taufik yang baru keluar dari ruang guru. Cowok itu tersenyum lalu mendekati Keira yang lunglai.
“Tumben belum pulang? Remedial matematika, ya?” tebak cowok berkacamata itu dengan cengiran khasnya.
Keira hanya mengangguk lemah. Dibalik kelakuan absurdnya, Taufik jago banget matematika. Berbeda dengan Keira, cowok itu belum pernah ikut ulangan perbaikan matematika sejak kelas sepuluh. Nilai matematikanya pun nggak pernah turun dari 90.
“Nggak bosen langganan remedial melulu?” Keira ingin sekali menyambit cowok itu dengan ranting pohon yang terjatuh di sebelah sepatunya.
“Nggak, sama sekali nggak bosen. Pekerjaan Pak Herry berkurang kalo aku berhenti langganan ikut remedial,” sahut Keira ketus.
“No life banget kamu, Kei,” Taufik terkikik geli.
“Kamu sendiri kok belum pulang?”
Taufik mengacungkan kertas-kertas yang sedang dipegangnya. “Ada perlu sama Pak Agus soal pemilihan ketua OSIS dan MPK yang baru. Bentar lagi aku lengser.”
“Oh gitu,” Keira mengangguk pelan. Taufik mengajak Keira berjalan bersama hingga gerbang sekolah. Siswa-siswa kelas sepuluh yang masih betah memakai wi-fi sekolah memperhatikan mereka berdua sekilas.
“Aku udah denger lho kejadian pas istirahat pertama. Kereeen!” seru Taufik sembari mengacungkan ibu jari kirinya.
Wajah Keira kembali memanas. Kejadian itu tidak mungkin dilewatkan begitu saja oleh para siswa, terutama kelas dua belas yang sudah tahu cerita awal hingga berita terbarunya.
“Udah jangan dibahas, dong. Malu tahu!” gerutu Keira.
“Hot news, Kei. Nggak mungkin nggak dibahas. Gara-gara hal itu, tadi pas bel pulang ada anak kelas sepuluh yang nembak Gilang, lho.”
Kedua mata Keira terbelalak. “Oh, ya?”
“Iya. Katanya sih supaya ditolak dan bisa move on. Kamu beruntung ada cowok yang nggak pantang menyerah begitu. Dua tahun berusaha dan belum membuahkan hasil itu bikin depresi lho, Kei.”
Keira meringis. Dalam hatinya membenarkan perkataan Taufik. “Iya, sih.”
“Nah itu, tahu! Langsung terima aja si Gilang, dong.”
Wajah Keira kembali ditekuk. Malas mendengar pengulangan yang sama dari orang-orang yang itu-itu juga setiap hari. “Berhubungan serius dengan orang lain itu nggak cuma butuh restu dari teman-teman aja, tahu. Banyak hal yang harus dipertimbangkan juga.”
Taufik menatap Keira sembari menggelengkan kepala. “Kebanyakan pertimbangan bikin hubungan nggak maju-maju. Aku tahu berhubungan dengan orang itu nggak cukup modal hati, logika juga harus tetep dipake. Tapi porsi logikanya jangan lebih dominan daripada hati.”
Keira tertegun. Cowok semodel Taufik menceramahinya soal berhubungan dengan orang lain. Kalau besok dia menceritakan pada Juna atau Felly apa yang cowok itu katakan, Keira yakin seratus persen mereka sama sekali nggak akan percaya.
“Kayaknya aku berhalusinasi deh. Kamu ngasih nasihat, Fik? Serius?”
Taufik kontan terkikik geli saat melihat raut wajah Keira. Seolah cowok itu baru saja mengatakan kalau teori gravitasi hanya khayalan belaka dan selama ini umat manusia dibohongi oleh Issac Newton.
“Duluan ya, Kei. Ada bimbel nih supaya bisa nongkrong di ITB,” Taufik melambaikan tangan pada Keira lalu menyebrangi parkiran untuk mencari motornya.
Keira mendengus geli. Taufik tetaplah Taufik. Motivasi cowok itu belajar ekstra keras hanya supaya bisa nongkrong di universitas bergengsi di Indonesia.
ns 15.158.61.13da2