Keira tinggal bersama ayahnya di salah satu kompleks perumahan biasa di Bandung. Ibunya berhubungan lagi dengan cinta lamanya yang belum selesai saat kuliah. Kemudian kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai saat dia duduk di kelas tujuh. Keira hancur saat itu. Seseorang yang hampir 13 tahun dikenalnya perlahan menjadi asing. Dadanya sakit dan tenggorokannya tercekik setiap kali ia mengingat musibah yang terjadi pada keluarganya. Tapi dia mencoba ikhlas. Walaupun perih seketika merayapi hatinya saat mendengar teman-temannya dengan semangat bercerita mengenai ibu mereka.
Keira mempunyai seorang kakak laki-laki yang lebih tua lima tahun darinya. Namanya Kevin. Kevin saat ini mahasiswa akhir yang sedang magang di salah satu hotel berbintang lima di Hokkaido, Jepang hingga tahun depan. Cowok itu lulus setelah dua kali wawancara dan akhirnya sekarang bisa menginjakkan kakinya di negara yang selama ini selalu diimpikannya. Tapi ternyata realita sangat kontras dengan impian-impiannya. Kevin sudah merasa betah tinggal di Jepang, tapi pandangan cowok itu berubah tentang negara matahari terbit tersebut. Sekarang dia menyebut Jepang sebagai “Negara yang Lebih Kejam daripada Ibu Tiri”.
Sore itu Keira sedang duduk di teras rumah setelah pulang sekolah. Setiap sore celotehan dan tawa anak-anak berumur empat dan lima tahun selalu terdengar di depan rumahnya. Kebanyakan dari mereka baru saja selesai mandi lalu disuapi oleh ibunya sambil bermain. Tak jarang juga tukang siomay, bakso, hingga cireng ikut meramaikan kegiatan sore anak-anak itu. Tapi sayangnya para pencari nafkah itu lebih sering dipelototi ibu-ibu karena anaknya malah minta jajan daripada disuapi.
Keira duduk di salah satu kursi yang terbuat dari rotan sambil menatap layar laptop. Konsentrasinya terfokus pada salah satu laman website Wikipedia yang akan ia cantumkan sebagai referensi tugas makalah sejarahnya. Tak lama ponsel yang berada di atas meja bergetar. Dia segera mengalihkan perhatiannya. Keningnya berkerut saat melihat siapa yang menelponnya.
“Halo? Ada apa, Ndra?” pandangannya kembali dia arahkan pada laptop.
“Serius amat. Coba lihat ke depan.”
Dia melongo setelah mengikuti instruksi Indra. Seorang cowok berdiri di depan gerbang rumahnya sambil memegang salah satu besi pada gerbang tersebut. Cowok itu memakai kemeja kotak-kotak biru dengan T-shirt putih sebagai dalamannya. Dan juga dengan tas selempang coklat tua yang talinya berada di bahu kirinya. Keira segera meletakkan laptopnya di atas meja lantas beranjak dari duduknya. Dia membuka gerbang lalu mempersilakan cowok itu untuk masuk.
“Kamu kok tahu rumahku?” tanya Keira masih dengan keterkejutannya.
Indra meletakkan tas selempangnya di atas meja lalu duduk di salah satu kursi rotan. “Kebetulan. Gue abis main dari rumah temen yang ternyata tetangga lo.”
“Oh, gitu. Mau minum apa?”
“Nggak usah repot-repot. Gue kesini bukan buat bertamu, cuma iseng aja gara-gara ngelihat lo serius banget sama laptop,” ucapnya sambil terkekeh. “Kok sepi?”
“Ayah belum pulang kerja.”
Keira cukup heran melihat Indra yang hanya menganggukan kepalanya. Beberapa orang akan penasaran dengan jawabannya—yang setengah-setengah—barusan dan otomatis langsung bertanya mengenai ibunya. Tapi cowok ini tidak. Diperhatikannya pekarangan rumah Keira dengan seksama. Keira yang baru kali ini berduaan dengan cowok di rumahnya—walaupun di teras—langsung panik dan deg-degan. Dia duduk sambil menunduk dan memegangi kedua tangannya yang mulai bergetar.
“Lo masih berhubungan sama temen-temen SMP?” Indra menyandarkan punggungnya di kursi. Pandangannya masih terfokus pada pekarangan Keira.
“Udah jarang. Paling masih suka say hi kalo ketemu Fikri. Dia anak 12 IPS 4 sekarang. Masih inget Fikri?”
Indra menggeleng. Hanya segelintir wajah yang masih dia ingat saat SMP sebelum pindah. Dia ingat Keira karena cewek itu dulu berbeda sekali dengan sekarang.
“Lo beda sekarang, Kei.”
Pipinya merona. Keira nggak menyangka Indra ternyata semasa SMP dulu memperhatikannya. “Beda dalam arti positif atau negatif?”
“Beda dalam arti positif. Dulu kita memang nggak akrab-akrab banget, tapi bukan berarti gue nggak memperhatikan teman-teman sekelas.” Indra kembali menegakkan punggungnya. Diliriknya Keira yang tampak menunggu lanjutan kalimatnya. “Lo dulu berteman dengan cowok-cowok nerd di sekolah. Lo susah didekati dan selalu menutup diri. Tapi untungnya walaupun lo akrab dengan cowok-cowok itu, lo nggak sampe ikutan jadi aneh.”
Keira tercengang. Sama sekali nggak menyangka masa lalunya akan diungkit sekarang. Tapi dirasakannya pula pipinya menghangat. Dulu, Keira akrab dengan cowok-cowok nerd di sekolah karena hanya dengan mereka dirinya merasa aman. Mereka lebih memilih untuk berkencan dengan Hukum Archimedes daripada mengorek informasi kelam teman-temannya. Keira bisa sejenak melarikan diri dari kenyataan yang selalu mencabik-cabik jiwanya jika berada bersama mereka.
“Lo masih kontak-kontakan dengan mereka?”
Keira menggeleng pelan. “Mereka semua masuk SMA yang jauh lebih elit dari Cemara. Tapi kita masih berteman. Mereka nggak seperti yang orang-orang lihat. Mereka sebenernya baik.”
“Iya, gue tahu mereka sebenernya baik.”
“Kamu kenapa tiba-tiba pindah, Ndra?” akhirnya pertanyaan yang bertahun-tahun selalu tanpa jawaban bisa diutarakannya.
Indra menatap Keira sekilas lalu tersenyum tipis. “Gue mau cerita, tapi belum waktunya. Gue balik dulu, Kei. Sampai besok di sekolah.”
Belum sempat Keira mengucapkan sesuatu, Indra meraih tas selempangnya lantas berjalan cepat-cepat meninggalkan rumahnya. Dia hanya bisa berdiri di depan gerbang melihat punggung cowok itu yang mulai menjauh.
ns 15.158.61.41da2