“Malam minggu ini Ayah ada reuni SMA, Kei. Kalo kamu nggak ada acara, ikut yuk! Lumayan kan makan-makan di sana. Daripada bengong sendirian di rumah,” ucap Ayah sambil menyetir. Pagi ini Keira malas berdesak-desakan di angkot, jadi dia memilih untuk diantar Ayah.
“Emang sejak kapan aku punya acara malam minggu? Males, ah. Acara bapak-bapak. Mau pergi bareng Ayah atau diem di rumah, aku bakalan bengong.”
Ayah hanya tersenyum geli sambil menggeleng pelan. “Acaranya sampe malem, Kei. Ayah nggak mau kamu begadang sampe malem nungguin Ayah pulang.”
“Ayah kan selalu bawa kunci. Biarkan aku berbengong-bengong ria di rumah, Yah. Lagian aku nggak yakin bakal ketemu anak SMA seumurku di sana.”
“Ya udah, terserah kamu aja.”
Keira mencium tangan ayahnya lalu segera turun dari mobil. Dia berniat untuk mengambil earphone yang berada di saku roknya, tapi gerakannya terhenti seketika. Tepat saat Keira berjalan menyebrangi parkiran, dia melihat Gilang juga baru sampai. Pandangan mereka beradu untuk sekian detik. Cowok itu segera menaruh helmnya dan bergegas mengejar Keira.
Gilang menjajari langkahnya dengan Keira. Cewek itu meruntuki nasibnya yang belum apa-apa tapi sudah sial pagi ini. Di antara ratusan murid yang bersekolah disini, kenapa dia harus berjalan beriringan dengan cowok menyebalkan ini. Keira mengumpat pelan. Sebaliknya, Gilang malah merasa belum apa-apa tapi dia sudah mendapat keberuntungan pagi ini. Otot-otot di wajahnya sama sekali tidak bisa diajak kompromi untuk tidak membentuk senyuman.
“Selamat pagi, Keira Anindita Widjaya,” ucap Gilang semanis mungkin.
“Pagi,” sahut Keira secuek mungkin. Persis seorang atasan yang baru saja disapa bawahan yang keberadaannya tidak mempengaruhi IHSG.
Seolah sama sekali tidak terganggu dengan sikap cuek cewek itu, Gilang tetap mengajaknya bicara.
“Pelajaran pertama, apa?”
“Nggak tahu, lupa.”
Gilang mengeluarkan ponselnya lalu mencari sesuatu. Senyumnya merekah saat melihat foto jadwal kelas dua belas. “12 IPA 3 pelajaran pertama fisika. Wah kelasku pelajaran pertama kimia. Berhubung laboratoriumnya sebelahan, kita bisa ke kelas bareng, dong.”
“Nggak ada ‘kita’,” Keira sewot.
Gilang cuma senyum-senyum melihat wajah cemberut cewek itu. “Semangat amat pagi ini, Kei. Deg-degan gara-gara bisa jalan bareng ke kelas, ya?”
Keira melotot lalu mendengus kesal. Pede banget ini cowok. Dilangkahkan kakinya lebih cepat agar bisa terlepas dari cowok menyebalkan di sampingnya ini. Tapi harapannya pupus saat mendengar seruan seseorang yang dikenalnya.
“Ciee jalan bareng berdua ke kelas nih. Sweet banget,” celetuk Juna sambil berdeham. Cowok itu lantas menyusup di antara keduanya, lalu ketiganya berjalan beriringan bersama. “Pada pacaran aja kenapa, sih? Greget tahu nggak lihat kalian berdua.”
“Iya bener, Jun. Kan kemaren aku bilang dicoba aja dulu, Kei,” Gilang tersenyum seraya menaik-turunkan kedua alisnya.
“Dih, nggak ada coba-coba.” Keira ingin sekali mengambil pot tanaman terdekat lalu menyambit kepala cowok ini. Tapi sayangnya di antara pot-pot tanaman yang mereka lewati saat ini, tak ada satu pun yang ukurannya bisa diangkat dengan satu tangan.
“Eh, mau pada nonton Spiderman Homecoming nggak Sabtu ini? Gue, Ayu, Taufik, sama Felly sih udah fix,” Juna melirik keduanya.
“Aku ikut, Jun,” Keira mengangkat tangan kanannya dengan cepat. Keira pecinta film dan Spiderman Homecoming sudah dinantinya sejak setahun lalu.
“Kalo Keira ikut aku juga ikut,” Gilang mengangkat kedua jempolnya.
“Kalo Gilang ikut aku nggak jadi ikut,” kedua bahu Keira merosot. Dia nggak bisa membayangkan dirinya habis digoda Taufik atau Felly kalau Gilang juga ada di antara mereka. “Lagian aku udah diajak Ayah ke acara reuni SMA-nya.”
Juna mendengus geli. “Apa serunya acara reuni SMA bapak-bapak? Yakin nggak mau ikut nonton? Film yang lo tunggu lho ini.”
“Ikut aja deh, Kei. Nanti aku jemput di rumahmu. Sekalian kenalan sama calon ayah mertua.”
Keira melotot. Cowok ini memang nggak pernah setengah-setengah menggodanya. “Ya deh aku ikut. Tapi nggak ada jemput di rumah. Berangkat masing-masing.”
“Berarti tinggal ngajak Indra.”
“Indra siapa?” tanya Gilang bingung.
“Anak baru di IPA 3. Kemaren lo ketemu dia di kantin. Cowok setinggi Iqbal yang bareng gue beli batagor,” Juna mencoba menjelaskan.
Gilang tampak mengingat-ngingat. Telunjuknya kanannya mengetuk-ngetuk dagunya pelan. “Oh, itu anak baru yang namanya Indra. Di kelasku cewek-ceweknya ribut ngomongin dia melulu akhir-akhir ini. Dia mau diajak juga?”
Juna mengangguk mantap. “Dia teman sebangku gue sekarang. Nggak enak kalo dia nggak diajak.”
“Itu Indra udah dateng,” tunjuk Keira pada cowok yang sedang berdiri memunggungi dinding pembatas koridor di depan laboratorium fisika. Beberapa siswa-siswi 12 IPA 2 dan 12 IPA 3 tampak duduk-duduk dan berdiri sambil mengobrol. Laboratorium-laboratorium itu masih terkunci dan akan dibuka saat guru yang mengajar datang.
Juna menghampiri Indra yang sedang mendengarkan musik lewat earphone dan masih memakai hoodie berwarna abu-abu. Ditepuknya bahu Indra pelan. “Sabtu ini anak-anak mau pada nonton. Lo mau ikut nggak, Ndra?”
“Siapa aja yang ikut?” Indra melepas earphone dari telinganya.
“Gue, Felly, Keira, Ayu, Taufik, sama Gilang.”
“Gue ikut kalo gitu,” sahut Indra. Diliriknya Keira lewat sudut mata sebentar.
“Sip deh kalo gitu.” Juna mengacungkan jempolnya. Kemudian cowok itu bergabung dengan cowok-cowok 12 IPA 2 yang tengah membicarakan sesuatu yang pastinya akan membuat Keira jijik. Boys’ stuff.
“Kalo dilihat-lihat mukanya Indra kok nggak asing, ya?” Keira terlonjak saat menyadari Gilang masih berdiri di sampingnya. Dia kelewat serius memperhatikan percakapan Indra dan Juna.
“Kok kamu masih disini? Tuh temen-temen kamu di sana,” tunjuk Keira pada gerombolan cowok yang sedang duduk-duduk sambil tertawa.
“Duh kesannya temen-temenku bukan temen-temen kamu juga, ya, Kei? Padahal aku selalu menganggap temen-temenmu juga temen-temenku, lho. Jadi sedih dengernya.”
“Nggak usah lebay, deh.”
Gilang terkekeh. Jarang-jarang dia bisa mengobrol selama itu dengan Keira. Biasanya baru dua atau tiga kalimat Keira langsung pergi meninggalkannya. “Ya udah kalo gitu aku ke tempat temen-temenku dulu, ya. Jangan kangen.”
“Nggak akan! Mimpi aja sana!” sahut Keira. Dia menundukkan kepala sambil istigfar sebanyak-banyaknya. Untung Tuhan masih memberinya kesabaran untuk tidak mengeluarkan emosi berlebih pagi ini.
***
“Lihat tuh, Kei. Anak-anak kelas sepuluh ngedeketin Indra.”
Keira mengarahkan pandangannya sesuai dengan instruksi Felly. Indra duduk di tepi lapangan upacara sendirian. Tiga cewek kelas sepuluh berjalan mendekati cowok itu. Awalnya Indra heran dengan kedatangan ketiganya, tapi lama kelamaan dia bisa mengobrol dengan santai. Bahkan beberapa kali Keira melihatnya tertawa.
Keira dan Felly duduk di bawah pohon rindang di tepi lapangan upacara. Dari tempat mereka duduk sekarang, mereka bisa melihat dengan jelas apa yang sedang ketiga cewek dan Indra lakukan. Sebuah panggung yang tepat berhadapan dengan keduanya mulai dipadati anggota ekskul angklung. Mereka terlihat sibuk kesana-kemari membawa dua set angklung beserta gamelan untuk latihan bersama para junior baru.
Tak lama kemudian ketiga cewek tersebut meninggalkannya. Terlihat jelas mereka sangat senang bisa mengajak bicara senior cowok yang ganteng dan ramah. Keira yang kelewat serius memperhatikan sempat beradu pandang dengan Indra. Tapi buru-buru dialihkannya ke arah lain. Indra sendiri cuek saja lalu seperti biasa mendengarkan musik menggunakan earphone.
“Gue nggak ngerti sama dia. Walaupun dia udah jadi temen kita, dia masih suka menyendiri gitu. Dia bahkan belum cerita pindahan dari mana,” keluh Felly. Tatapannya masih mengarah pada Indra yang sedang memperhatikan anggota ekskul angklung.
“Aku belum cerita sama kamu, Fell. Sebenernya dia temen sekelasku waktu kelas tujuh dulu. Tapi dia tiba-tiba pindah waktu kenaikan kelas delapan. Dan satu sekolah nggak ada yang tahu dia pindah kemana.”
“Masa satu sekolah nggak ada yang tahu? Guru-guru pasti tahu, kan? Tu anak sok misterius banget. Dia kayak gimana emangnya waktu SMP?”
“Aku nggak akrab-akrab banget sih. Dia dulu temennya banyak mulai dari cowok sampe cewek. Banyak yang naksir dia juga.”
“Nggak heran. Tampangnya sih nunjukin kalo ‘gue salah satu hot dude lho!’ tapi gue rasa dia itu tipe orang yang kenalannya banyak. Bukan temennya yang banyak,” Felly melirik jam tangan hitam yang melingkar di pergelangan kirinya. Sudah setengah jam sejak bel pulang berdering, tapi masih banyak siswa-siswi yang betah di lingkungan sekolah.
“Besok jadinya mau pada nonton di Ciwalk, Kei. Gue pergi sama pulangnya bareng Taufik soalnya satu kompleks. Lo gimana?”
“Naik ojeg online atau minta jemput Ayah.”
“Bokap lo bukannya ada reuni SMA? Minta anter-jemput si Gilang aja, Kei.”
“Idih, ogah.” Keira menolak mentah-mentah.
“Kok nggak mau, sih? Lumayan ngirit ongkos naik ojeg.”
“Nanti dia ngerasa kalo aku ngasih lampu hijau, dong. Godaan dia sekarang semakin bikin aku sakit kepala.”
“Ah, lebay lo, Kei. Padahal lo seneng kan diceng-cengin sama dia?”
“Seneng dari mana? Kesel sih iya.”
“Lagi ngomongin apa kalian?” Juna tiba-tiba muncul dari belakang. Cowok itu segera bergabung dengan keduanya.
“Ngomongin si Indra sama acara nonton kita besok. Gue nyuruh Keira minta antar-jemput Gilang aja daripada naik ojeg online,” seru Felly.
“Iya mending minta antar-jemput Gilang aja, Kei. Win-win solution, tuh.”
“Ah, kalian emang nggak pernah berpihak ke aku kalo masalah Gilang,” Keira mendesah pelan.
“Kita selalu ingin lo ngerasain punya pacar pas SMA, Kei. Kita pake seragam putih abu nggak sampe setahun lagi, lho.” Juna mengeluarkan laptop dari tasnya lalu menghubungkan wi-fi pada laptopnya.
“Udah, udah. Aku males dengerin topik ini. SMA itu nggak melulu harus mikirin soal punya pacar. Terus, soal besok ya gimana besok aja.” Keira mengambil tempat minum dari tasnya lantas meneguk isinya yang tinggal setengah. Dia arahkan pandangannya pada Indra yang masih duduk di tempatnya. Beberapa junior ekskul angklung terutama para cewek sampai tidak konsentrasi gara-gara diperhatikan oleh senior ganteng.
“Kakak lo apa kabar, Kei?” Felly mencoba mengganti topik pembicaraan.
“Baik, udah mulai kerasan di sana. Dia lagi pedekate sama cewek Jepang katanya,” ujar Keira.
“Wah asyik tuh, pasti cewek Jepang kawaii-kawaii deh. Kei, bawa harddisk eksternal, nggak?” tanya Juna.
“Bawa,” Keira membuka salah satu risteling tasnya lalu menyerahkan harddisk eksternal berwarna hitam pada Juna.
Cowok itu menyambungkan kabel usb lalu sibuk memilih-milih folder apa saja yang akan dia copy ke laptopnya.
“Fell, ada Ferdi tuh. Arah jam satu,” seru Keira. Felly yang sedang memperhatikan layar laptop Juna sontak mengalihkan pandangannya. Kedua matanya memicing memperhatikan seorang cowok dengan gaya layaknya pemain basket sekolah. Cowok itu sedang berbicara dengan cewek yang nggak dikenalnya. Tapi dari caranya membawa dua angklung berukuran kecil di tangan kiri, Felly rasa cewek itu anggota ekskul angklung kelas sebelas atau sepuluh.
Felly memutar kedua bola matanya. Dari sekian banyak cowok di sekolah ini, dia menyesal pernah dekat dengan Ferdi. “Elo pake pengumuman segala ada orangnya di situ. Gue pengen cepet-cepet lulus. Gue muak lihat muka tu cowok.”
“Masih belum maafin? Udah hampir setahun lo putus sama dia. Masih menyimpan dendam aja, Fell,” sahut Juna. Dikembalikannya harddisk tersebut pada Keira setelah selesai.
“Udah jangan bahas dia. Gue bakalan dapet mimpi buruk ntar malem kalo kita masih bahas dia,” keluh Felly. Keira dan Juna hanya bisa menggelengkan kepala.
Kalau Keira stres gara-gara dikejar-kejar dan digodain Gilang, Felly stres karena masih harus melihat muka mantannya sampai tahun depan. Felly kira Ferdi berbeda dengan cowok-cowok populer lainnya, tapi ternyata dia salah. Felly menutup mata pada semua hal buruk yang sering terdengar mengenai cowok itu. Kesalahan terbesar selama hampir 17 tahun hidup di dunia ini. Dan ternyata Ferdi sama seperti apa yang dikatakan banyak orang. Cowok itu mendekati cewek yang menurutnya menarik lalu memutuskannya setelah dia bosan.
“Kalian mau pulang jam berapa?” Keira membereskan buku-buku dan tempat minumnya ke dalam tas.
“Gue ada rapat OSIS-MPK setengah jam lagi,” sahut Juna.
“Gue balik sekarang, deh. Yuk Kei!” keduanya melambaikan tangan pada Juna.
Keira kembali mengalihkan pandangannya mencari Indra. Cowok itu masih berada di tempatnya semula. Dari jaraknya dan Felly saat ini, dia bisa melihat pandangan cowok itu kosong. Dia menatap intens ke arah panggung tapi jiwanya tidak berada di sana. Segala keinginan untuk berteriak dan melambaikan tangan pada cowok itu segera Keira enyahkan.
Dia kembalikan pandangannya lurus ke depan. Felly masih berjalan di sebelah kanannya. Keira bisa mendengar sohibnya itu bersenandung kecil menyanyikan lagu A Whole New World hingga mereka berbelok menuju gerbang sekolah.
ns 15.158.61.17da2