Sabtu pagi Ayah sudah sibuk mondar-mandir ruang tamu hingga dapur. Keira yang biasanya bangun pukul 11.00 saat akhir pekan mau tak mau terbangun pukul 08.30. Dia mengerang saat mendengar suara gaduh di luar kamarnya.
Gara-gara penasaran dengan ending salah satu drama seri Netflix, dia baru tidur pukul tiga subuh. Tapi pengorbanannya untuk tetap terjaga tidak sia-sia. Dia puas ending drama seri tersebut sesuai dengan harapannya.
Dengan mata masih setengah menutup dan rambut seperti singa masai, dia menghampiri Ayah yang sedang mengepel ruang tengah. Karpet, sofa, tv, rak-rak buku dan meja menghilang. Ruang tengah terlihat lengang.
“Ayah ngapain, sih? Barang-barang kemana?” tanya Keira dengan suara serak. Ditempatkan tubuhnya di depan pintu kamar. Dia mengacak-acak rambutnya hingga semakin tak beraturan.
“Sofa dan karpet Ayah jemur di luar. Mumpung hari ini cuaca lagi cerah,” jawab Ayah santai. “Cuci muka dulu gih. Bantuin Ayah mendekorasi rumah kalau lantainya udah kering.”
“Bukannya Ayah ada reuni SMA?” kening Keira berkerut.
“Iya, tapi nanti sore. Lagian udah lama Ayah nggak beres-beres rumah. Punya anak gadis tapi kerjaannya di depan laptop terus tiap hari. Nggak bisa diharapkan bantuin orang tua beres-beres rumah.”
“Aku, kan, belajar di depan laptop tiap hari,” Keira mengelak.
“Ngeles aja kamu.” Ayah mengacak-acak rambut Keira.
“Oh iya, Yah. Nanti sore aku mau nonton bareng temen-temen. Mungkin pulangnya di atas jam sepuluh.”
“Mau dijemput, nggak?”
“Kalo di atas jam sepuluh aku minta dijemput, tapi kalo sebelum jam sembilan udah beres aku pulang sendiri aja naik ojeg online.”
“Jangan deh, Ayah khawatir kalau malam-malam naik ojeg online. Nanti telpon Ayah, ya!”
Keira hanya mengangguk. Dia kembali masuk ke kamar untuk tidur. Matahari sudah bersinar tapi menurutnya setengah sembilan saat weekend itu bisa dikategorikan masih subuh. Kembali dia hempaskan tubuhnya di tempat tidur. Masih ada beberapa jam lagi untuk terbang ke dunia fantasinya. Ayah hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan anak gadisnya yang tahun depan masuk kuliah.
Jam lima kurang sedikit sebuah motor hitam berhenti di depan gerbang rumahnya saat Keira tengah mengunci pintu. Keira melirik ke arah motor tersebut. Dia penasaran siapa pemilinya sampai si pengendara membuka helm full-face-nya. Keira terkejut melihat si pengendara tersenyum padanya. Indra.
“Lo mau bengong di situ sampe ganti kalender atau naik ke motor?” tanyanya sambil tersenyum.
Keira yang seketika menjadi gugup segera membuka gerbang dan tak lupa menguncinya. “Bukannya berangkat masing-masing?”
“Itu sih yang lain. Gue maunya berangkat dan pulang bareng lo. Yuk berangkat,” Indra mengangsurkan helm cadangan pada Keira. Untung saja saat itu Keira belum memesan ojeg online. Dengan tangan gemetar dia mengambilnya lalu mengenakannya. Setelah merasa Keira duduk dengan nyaman di belakangnya, Indra meluncur meninggalkan kompleks perumahan tersebut.
Setengah jam kemudian mereka sampai di Cihampelas Walk atau yang lebih terkenal dengan singkatan Ciwalk. Ciwalk selalu dipadati anak-anak muda Bandung maupun Jakarta yang menghabiskan akhir pekannya. Orang tua muda beserta anak-anak mereka yang masih balita pun marak terlihat.
Keira dan yang lainnya janjian di depan Starbucks. Setelah memarkir motornya di basement, Keira dan Indra bergegas menuju ke sana. Di taman depan Starbucks terpasang tenda berwarna ungu. Bazar makanan sedang di adakan di bawah tenda tersebut. Sebuah lagu yang akhir-akhir ini sering didengarnya di tv mau tak mau membuatnya bersenandung pelan. Selain itu aroma makanan yang menggelitik saliva mereka langsung tercium saat berjalan menyebrangi taman tersebut.
Juna, Ayudia, dan Gilang sudah sampai. Mereka mengobrol dengan seru sambil berdiri. Ketiganya terdiam saat melihat Keira datang bersama Indra. Gilang bahkan tak bisa menyembunyikan raut herannya. Kedua alisnya terangkat dan pupil matanya membesar.
“Wow. Ada apa, nih? Kok bisa barengan?” tanya Juna mewakili Gilang.
“Gue kebetulan ketemu Keira di depan terus kita jalan bareng kesini,” dusta Indra. Keira menatap cowok itu bingung, tapi kemudian dia mengangguk. Diikutinya permainan cowok itu.
Terlihat raut lega dari wajah Gilang. Dia bahkan dengan terang-terangan menghembuskan napasnya kuat-kuat seakan sesuatu yang mengganjal paru-parunya bisa melesak keluar.
“Felly sama Taufik belum dateng?” tanya Keira.
Juna menggeleng. “Waktu gue udah sampe sini sama Ayu, dia bilang baru otw dari rumah bareng Taufik. Lo tahu sendiri Felly anaknya gimana.”
Keira hanya tersenyum mengiyakan. “Mau nunggu Felly dan Taufik di sini? Atau gimana?”
Mereka saling pandang, namun Gilang bersuara duluan. “Ke Yogya Xpress, yuk! Aku laper dan kita bisa cemal-cemil dulu di sana. Ntar tinggal kasih tahu mereka.”
Keempatnya mengangguk setuju. Mereka lantas bergegas menuju Yogya Xpress yang berada di lantai dua. Sayangnya, Yogya Xpress agak ramai oleh pengunjung sehingga mereka kesulitan untuk mendapat tempat duduk. Tapi tak lama kemudian gerombolan cewek-cewek SMP yang sepertinya sudah kenyang meninggalkan meja. Mereka—terutama Gilang yang sudah membeli makanan seolah akan berperang—bisa duduk dengan tenang.
“Kalian nggak makan?” tanya Gilang. Selain dirinya, hanya Juna yang juga membeli makanan dan sebotol air mineral.
“Lihat kamu makan aja aku jadi kenyang,” celetuk Ayudia. Gilang tergelak di tengah kegiatan mengunyahnya.
“Felly udah di depan. Dia lagi jalan sama Taufik ke sini katanya,” seru Juna. Dia letakkan kembali ponselnya di atas meja setelah membaca pesan dari Felly.
Tak lama kemudian Felly datang bersama Taufik. Taufik cengar-cengir saat melihat semuanya sudah datang. Dia sadar diri datang terlambat.
“Macet banget. Susah belok dari Rumah Sakit Advent pula,” seru Felly. Dia langsung mengambil kursi kosong lalu duduk di sebelah Keira.
“Namanya Bandung pasti macet kalo weekend apalagi jam-jam kayak sekarang,” celetuk Indra dengan nada sinis. Felly sontak memicingkan mata pada Indra. Baru kali ini Indra berkata sinis padanya.
“Santai aja, kali. Gue cuma telat sepuluh menit doang,” Felly balas tersenyum sinis. “Filmnya juga belum mulai, kan?”
“Namanya telat tetep aja telat, walaupun cuma sepuluh menit,” ditekankannya kata ‘sepuluh menit’ dengan jelas. “Orang yang suka telat itu nggak bisa menghargai orang lain apalagi menghargai dirinya sendiri.”
Felly langsung berdiri. Tak terima dikatakan nggak bisa menghargai orang lain oleh cowok yang belum sebulan dikenalnya. “Sorry kalo gitu. Gue emang nggak bisa menghargai orang kayak lo.”
Juna sontak ikut berdiri, dia mencoba menengahi perdebatan yang akan mulai memanas. “Lho kok malah jadi pada berantem gini? Udah dong. Kita kan mau pada nonton. Ntar kalian nggak bisa menikmati filmnya. Sayang keluar uang banyak.”
Indra melunak. Diulurkannya tangan kanannya pada Felly. “Sorry Fell, gue paling nggak suka sama orang yang telat kalo janjian.”
Felly menyambut uluran tangan Indra namun tak berkata apa-apa. Dia memutar kedua matanya kemudian kembali duduk di kursinya. Kedua tangannya dia lipat di depan dada sembari melihat ke arah lain. Sepertinya dia masih dongkol karena baru sampai sudah kena omelan cowok itu.
Keira dan yang lainnya cuma bisa melongo melihat kejadian tersebut. Untungnya perdebatan mereka nggak sampai membuat pengunjung yang berlalu lalang tertarik dan menonton. Pengunjung lain yang berada di dekat meja mereka hanya melirik sebentar lalu kembali melanjutkan aktivitas mengunyah atau mengobrol. Keira menatap wallpaper dan aplikasi-aplikasi di ponselnya dalam diam. Tak ada yang bersuara dan keadaan berubah canggung.
“Udah Maghrib. Sholat dulu yuk sebelum nonton,” ajak Ayudia. Mereka serempak mengangguk lantas meninggalkan tempat tersebut.
Setelah melaksanakan sholat Maghrib, mereka bergegas menuju lantai teratas Ciwalk. Film yang akan mereka tonton akan mulai dalam lima belas menit lagi. Juna, Felly, dan Ayu berinisiatif mengantre dan membeli tiket. Keira dan yang lainnya duduk di sofa bulat cokelat sembari melihat-lihat film apa yang akan segera tayang minggu depan.
“Lain kali kita nonton lagi yuk, Kei. Tapi berdua aja,” ucap Gilang. Taufik yang mendengarnya tanpa dikendalikan oleh otak langsung berseru “cieee” diikuti siulan.
Keira menghela napas. Dia memang harus banyak-banyak bersabar kalau berada di antara Gilang dan Taufik. Dia sudah kenyang menerima godaan kedua cowok itu semasa kelas sepuluh dulu. Untungnya mereka beda kelas sekarang. Setidaknya tenggorokan Keira nggak kering kerontang lagi setiap hari gara-gara mereka berdua.
“Rame-rame lebih seru daripada berdua,” balas Keira. Kembali dipusatkan perhatiannya pada sebuah poster film ber-genre action-comedy.
“Nonton berdua lebih romantis, Kei,” Taufik ikut nimbrung.
“Mending nonton sendiri kalo gitu,” balas Keira.
“Kayak jomblo hopeless yang udah kadaluarsa dan tinggal nunggu dipanggil Yang Maha Kuasa aja,” Keira langsung mendorong Taufik dengan bahu kanannya. Tapi cowok itu cuma cengar-cengir lalu ikut memperhatikan poster yang sedang Keira lihat.
“Ini tiketnya, guys,” seru Juna sambil membagikan tiket pada ketiga temannya yang lain.
“Wah H-8, sebelahan sama aku dong, Kei. Aku H-9,” Gilang melirik tiket Keira kontan bersorak girang.
Keira sontak menatap Juna dan Felly bergantian. “Pasti ada konspirasi, ini.”
Juna dan Felly cuma bersiul-siul sambil memandang ke arah lain. Persis adegan dimana seorang pencuri baru saja ketahuan dan berpura-pura dirinya tidak terlibat. Indra yang sedari tadi cuma diam dan memperhatikan yang lain bangkit berdiri.
“Lo boleh tukeran sama gue kalo mau, Kei. Gue H-7,” katanya.
“Udah biarin aja, Ndra. Siapa tahu mereka bakalan ada kemajuan.” Kemudian Juna mengajak teman-temannya yang lain untuk mendekat ke pintu theater yang sebentar lagi akan terbuka.
“Maaf ya kalo nanti tanganmu agak kepegang-pegang dikit,” bisik Gilang saat mereka memasuki theater.
“Nggak usah macem-macem, deh!” bisik Keira tajam.
Gilang terkekeh. Hari ini akan menjadi salah satu hari terbaiknya semasa SMA.
Di tengah konsentrasinya menonton, dari ekor matanya Keira dapat melihat Indra memucat setelah membaca sesuatu di ponselnya. Cowok itu segera mengambil ranselnya lalu berlalu tanpa mengucapkan apapun. Keira dan yang lainnya terperangah. Namun mereka sama sekali nggak berniat untuk bertanya apalagi mengejar.
Keira kembali memusatkan perhatiannya pada layar di hadapannya, tapi layar itu sudah tak menarik perhatiannya lagi. Dia mendesah pelan. Dia ingin tahu apa yang terjadi pada Indra. Tapi sebelum tubuhnya beranjak dari kursi, Gilang yang sedari tadi memperhatikannya dalam diam menarik pergelangan kirinya. Cowok itu menatap Keira tajam seolah menyuruhnya untuk tetap duduk dan menonton. Keira bimbang. Tapi pada akhirnya dia pasrah dan kembali menonton.
***
“Si anak baru pulang duluan?” tanya Taufik. Keira dan yang lainnya hanya mengangkat bahu. Mereka berjalan keluar bioskop dalam diam. Padahal biasanya mereka akan heboh membahas film yang baru saja mereka tonton. Apalagi Keira yang paling hobi mengkritisi film kalau film tersebut berbeda dengan ekspektasinya.
“Kalian mau pada jalan-jalan dulu atau langsung pulang?” tanya Felly sembari melihat arlojinya. Pukul sembilan kurang.
“Gue sama Ayu mau ke tempat lain sekarang,” sahut Juna. “Duluan, ya!”
Kedua sejoli itu melambaikan tangan pada keempat temannya yang lain lalu berlalu dari pandangan. Keira, Felly, Taufik, dan Gilang saling pandang. Mereka bingung akan jalan-jalan dulu atau langsung pulang ke rumah masing-masing. Ciwalk sendiri masih ramai oleh pengunjung yang sedang nongkrong atau sekedar window shopping.
“Gue sama Taufik kayaknya mau makan dulu sebelum pulang. Kalian gimana?” Felly menatap Keira dan Gilang bergantian.
“Aku mau nelpon Ayah minta jemput,” sahut Keira.
“Masih jam segini, Kei. Bokap lo pasti masih di acara reuni SMA. Lang, tolong anterin Keira pulang, ya!” Felly menepuk lengan atas Gilang sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Gilang hanya mengangguk dan mengulum senyum.
“Nggak, nggak usah. Aku mending minta jemput aja,” Keira mengambil ponsel dari tas tangannya. Tapi belum sempat dia melakukan apa-apa, ponselnya direbut Taufik.
“Sekali-sekali dianterin Gilang nggak apa-apa, Kei. Dia nggak bakal macem-macem, kok,” ucap Taufik sambil senyum-senyum.
“Ya aku tahu dia nggak bakalan macem-macem, tapi—”
Belum sempat Keira menyelesaikan kalimatnya, Gilang segera memotong. “Wah aku terharu lho kamu percaya aku nggak bakalan macem-macem sama kamu.”
Keira memutar kedua bola matanya sebal. “Ya, ya udah deh. Kembaliin hp-ku, Fik.”
Taufik langsung sumringah. Dia segera mengembalikan ponsel tersebut kepada pemiliknya. “Hati-hati di jalan, ya! Yuk Fell, aku udah laper.”
Felly dan Taufik berjalan meninggalkan mereka sambil siul-siul. Keira segera mengirim pesan pada ayahnya kalau dia akan pulang diantar teman.
“Kamu nggak makan dulu, Kei? Ini udah lewat waktu makan malem,” seru Gilang yang tengah menatap jam digital di ponselnya.
“Nggak, aku masih kenyang.”
Kedua alis Gilang terangkat ke atas. Cowok itu tak percaya. “Masa? Terakhir makan jam berapa? Tadi di Yogya Xpress juga kamu cuma beli air mineral. Kamu itu kurus, Kei. Jangan diet, deh!”
Keira melongo. Tapi tak lama kemudian dia mendengus. Dia geli mendengar perkataan Gilang barusan. “Ngaco! Siapa juga yang diet. Aku makan dulu sebelum berangkat kesini. Kebetulan emang belum laper sekarang. Nanti sampe rumah mungkin aku makan lagi.”
“Kenapa nggak makan sekarang aja?”
Keira menghela napas pelan. “Belum laper, Gilang.”
Sebelum cowok itu memaksanya untuk makan lagi, Keira segera berjalan duluan menuju basement. Gilang langsung menjajari langkahnya agar tak tertinggal.
“Kamu sama Indra ada hubungan apa, Kei?” tanya Gilang tiba-tiba. Gerakan Keira berhenti. Helm yang diangsur cowok itu padanya pun tak jadi diambilnya.
“Nggak ada hubungan apa-apa. Kita cuma temen sekelas waktu kelas tujuh dulu,” Keira mengambil helm tersebut lalu memakainya.
“Tapi aku lihatnya nggak gitu, lho. Kayaknya dia suka sama kamu.”
Kedua pupil Keira membesar. Dia sama sekali nggak percaya apa yang baru saja didengarnya. Tapi dia bersorak dalam hati jika hal itu benar. “Wah, masa?”
Gilang mengangkat bahu. “Kalo dari gerak-geriknya selama ini kayaknya dia suka sama kamu. Tapi tenang, Kei. Aku nggak akan menyerah begitu saja.”
Keira tergelak. Sepertinya Gilang merasa kalau dia berada di pihaknya. “Menyerah aja kenapa, sih?”
“Oh nggak bisa. Aku nggak bisa menyianyiakan restu yang udah dikasih temen-temen,” ucap Gilang dengan mimik lucu. “Aku juga percaya kalo happy ending itu nyata, Kei.”
Keira cuma bisa geleng-geleng kepala. Dia segera naik ke atas motor Gilang kemudian menepuk bahu cowok itu. Gilang segera men-starter motornya lantas meninggalkan basement Ciwalk.
Di bawah langit Bandung yang sedikit berawan dan udara yang semakin mendingin, Keira teringat pertama kali berbicara dengan Gilang.
Gilang duduk di sebelah kanan barisannya. Cowok itu malah sibuk bermain game di ponselnya. Bunyi yang dihasilkan game tersebut pelan, tapi dari jaraknya yang hanya selang dua lantai dengan cowok itu, cukup membuat konsentrasinya teralihkan. Keira yang tengah memperhatikan penjelasan guru matematika di depan kelas langsung terusik. Bu Fitria terkenal galak dan senang mempermalukan siapapun yang berani mengganggu jadwal mengajarnya.
Keira tidak pintar matematika, tapi dia berusaha untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa merusak citra diri. Apalagi dirinya belum sebulan menjadi siswa kelas sepuluh. Setidaknya, walaupun sejujurnya dirinya belum terlalu paham apa yang sedang diterangkan guru, dia ingin konsentrasinya tidak terganggu.
“Psst,” Keira berbisik pelan. Dilemparkannya sebuah gulungan kertas kecil yang mengenai pelipis kiri cowok itu.
Seketika Gilang berhenti memainkan game-nya dan menatap Keira dengan tatapan kesal. Baru kali ini ada yang berani mengganggunya, cewek pula. Taufik yang sering mengalihkan konsentrasinya menuju hal-hal yang negatif pun tidak berani mengganggunya saat bermain game.
“Apa?” bisik Gilang tajam. “Perhatiin pelajaran, jangan ganggu orang.”
Keira sedikit tercengang. Dia malah dimarahi orang yang seharusnya dia marahi. “Harusnya itu juga berlaku buat kamu. Perhatiin pelajaran, jangan ganggu orang. Bunyi game kamu ganggu, tahu!”
Gilang menyeringai. Cewek ini nyalinya oke juga berani menegurnya saat pelajaran Bu Fitria.
“Itu yang di belakang kenapa bisik-bisik? Ada yang tidak dimengerti?” Bu Fitria ternyata mendengar bisikan-bisikan mereka. Padahal keduanya sudah mengecilkan suara selirih mungkin.
Keira kontan menundukkan kepala. Felly yang duduk di sebelah kirinya hanya tersenyum geli, kemudian melanjutkan mencatat rumus yang baru saja Bu Fitria tulis di whiteboard.
“Ibu mengerti saat ini status jomblo menjadi hinaan buat kalian, tapi simpan itu sampai istirahat nanti. Pedekatenya ditunda dulu. Sekarang fokuskan konsentrasi kalian pada materi,” ucap Bu Fitria dengan wajah datar. Seluruh penghuni X-1 kecuali Keira dan Gilang menahan tawa mereka agar tidak keluar.
Keira semakin menundukkan kepalanya hingga dia hanya bisa melihat poninya sendiri.
Terkadang mereka bingung dengan Bu Fitria, guru matematika berumur awal tiga puluh tahunan itu galaknya akut seperti akan melahap orang. Tapi ketika mempermalukkan siswa yang mengganggu pelajarannya, wajahnya datar banget kayak Tol Cipali. Kontrasnya ekspresi wajah Bu Fitria itu nggak jarang dijadikan meme yang sering disalahgunakan para senior mereka kala itu.
Sejak saat itu Keira memutuskan untuk menjauhi Gilang karena menurutnya cowok itu membawa sial. Niat baiknya malah membuatnya dipermalukan di depan kelas. Kebalikan dari Keira, Gilang malah justru semakin ingin dekat dengannya. Perkataan Bu Fitria tentang pedekate itu menarik dan entah kenapa terngiang-ngiang di kepalanya. Dia ingin lebih dekat dengan Keira karena menurutnya Keira berbeda.
ns 15.158.61.13da2