Minggu sore Juna dan Felly sudah anteng duduk di ruang tengah menonton drama Korea. Seharusnya saat ini mereka mengerjakan tugas kelompok bahasa Inggris yang dikumpulkan hari Selasa, tapi episode terakhir drama tersebut nggak bisa menunggu.
Keira nggak begitu suka nonton drama Korea, jadi dia memilih untuk membaca dan menerjemahkan tugas analytical exposition text mereka yang panjang hingga berlembar-lembar. Tapi untungnya temanya lumayan dekat dengannya saat ini, yaitu mengenai pengaruh sosial media terhadap kehidupan remaja.
“Kei, nggak nonton? Episode terakhir ini,” seru Juna. Pandangannya nggak lepas dari layar led berukuran 40 ̎. Mulutnya pun tak henti-hentinya mengunyah sejak empat puluh menit yang lalu.
“Nggak, ah. Paling happy ending. Klise,” sahut Keira sama sekali nggak berminat.
“Bokap lo kemana, Kei? Kayaknya dari tadi belum pulang-pulang,” Felly mengambil setoples keripik kentang dari atas meja. Dia menggeser tubuhnya agar lebih dekat pada Keira.
“Nggak tahu. Tadi bilangnya mau ketemu sama temen lama,” balas Keira sembari mengetik sesuatu di ponselnya untuk mencari arti kata dari teks tersebut. “Self-esteem bahasa Indonesianya apaan, sih?”
“Self-esteem?” Felly meraih ponselnya lantas menyentuh aplikasi Google. “Self-esteem adalah penghargaan seseorang terhadap dirinya sendiri karena apa yang ada pada diri seseorang itu kekuatan yang mesti dihargai dan dikembangkan. Intinya harga diri kali, ya.”
Keira manggut-manggut lalu kembali menerjemahkan tugas mereka.
“Fell, Jun, udah aku terjemahin nih lembar pertama. Kalian terjemahin lembar selanjutnya, ya!” seru Keira lalu merebahkan tubuhnya di sofa panjang.
“Indra nggak diajakin gabung bikin kelompok sama kita nggak apa-apa?” tanya Juna. Cowok itu ikut rebahan di karpet sembari mencari acara tv yang seru karena drama Korea-nya sudah tamat.
“Udah nggak usah mikirin dia. Dia juga kayaknya nggak peduli sama kita,” sahut Felly. Dia mengambil kotak kacamata dari ranselnya kemudian mulai berkonsentrasi menerjemahkan lembar selanjutnya. Felly jago bahasa Inggris, dia menerjemahkan teks tersebut lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan Keira barusan.
“Tapi gue heran lho kenapa dia malah milih duduk di belakang si ragi dan si rempong. Mungkin selama ini memang dia lebih cocok bergaul sama anak-anak yang begitu,” komentar Juna.
“Bisa jadi,” Felly manggut-manggut menyetujuinya. “Dia juga nggak mencoba untuk akrab sama anak-anak cowok di kelas.”
“Oh iya hari Senin sebelum upacara aku papasan sama dia. Dia minta maaf karena tiba-tiba pergi. Katanya dia dapet pesan dari temennya yang kebetulan lagi ada di Ciwalk. Jadi, dia mau nggak mau harus nemenin temennya itu. Dia ngerasa nggak enak sama kalian,” Keira menimpali.
“Kok nggak minta maaf langsung sama kita?” kedua alis Felly berkerut. “Harusnya kalo dia emang ngerasa nggak enak, dia minta maafnya nggak cuma ke elo doang, dong.”
Keira mengedikan bahu. Dia sendiri sama sekali nggak tahu kenapa Indra seperti itu. “Mungkin dia punya alasan tertentu makanya berperilaku kayak gitu.”
Felly menghentikan aktivitas menerjemahkannya. Dia melepaskan kacamatanya lantas menatap Keira tepat pada kedua manik cokelat cewek itu. “Lo suka sama Indra, ya?”
Keira terlonjak. Sama sekali nggak menyangka Felly akan bertanya blak-blakan seperti itu. “Ha-hah? Nggak kok…”
Felly menegakkan punggungnya. Juna yang sedari tadi memperhatikan keduanya ikut duduk tegak dan sedikit memajukan tubuhnya.
“Kei, selama ini gue kelihatan seperti mendukung Gilang pedekate sama lo. Tapi sebenernya gue selalu mendukung kalo lo ternyata sukanya sama cowok lain. Dalam kasus ini, Indra nggak termasuk. Gue akan melawan habis-habisan kalo lo jadian sama dia. He’s jerk and you deserve better.”
Keira balas menatap Felly. Dua tahun Keira kenal dengan sohibnya itu, dia nggak pernah mengatakan hal yang manis-manis tentang apa yang dilihat dengan kedua matanya jika fakta mengatakan sebaliknya. Beberapa orang nggak suka dengan sikap Felly tersebut, tapi dia sama sekali nggak ambil pusing. Hidupnya bukan untuk membuat orang lain senang.
“Sebenernya aku belum yakin aku suka sama dia atau nggak. Dulu waktu kelas tujuh sih sedikit naksir sama dia,” ada keraguan dalam nada bicara Keira. Keira merasa ketidaksukaan Felly pada Indra sama sekali nggak beralasan. Dia merasa Felly cuma memperbesar masalahnya pasca nonton bareng Sabtu lalu.
"Kamu nggak ikut-ikutan ngelarang aku buat suka sama Indra, Jun?" Keira melirik Juna yang sedari tadi hanya mendengarkan percakapan dua sohibnya.
Juna mengedikan bahu kemudian kembali merebahkan tubuhnya di karpet. “Gue sih terserah lo, Kei. Kalo ternyata lo emang suka sama Indra, gue dukung-dukung aja. Tapi gue lebih mendukung lo sama Gilang.”
Felly tersenyum jumawa. Walaupun Juna ada di pihak netral, cowok itu tetap lebih suka Keira memilih Gilang daripada Indra.
Keira kembali mencermati teks yang sedang mereka terjemahkan. "Balik menerjemahkan teks ini, yuk! Sampe ntar subuh juga nggak bakalan beres ngebahas dua orang itu."
Felly dan Juna mengangguk setuju. Juna sera mematikan tv lalu mencari lagu-lagu ber-genre electronic dance music di laptopnya untuk meramaikan suasana.
***
Cewek-cewek 12 IPA 3 tiba-tiba menjerit tertahan saat melihat Gilang menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Para cewek angkatan Keira menganggap Gilang salah satu cowok yang nggak boleh dilepas begitu saja sejak kelas sepuluh. Walaupun tidak semenjulang Iqbal, Gilang bertubuh tinggi dan wajahnya khas cowok Sunda. Tapi akhir-akhir ini kadar cakepnya meningkat signifikan, apalagi setelah caranya meminta maaf pada Keira terkesan romantis banget menyebar ke seluruh angkatan. Keira tersenyum mengejek setiap kali dia mendengar para cewek itu histeris membahas kembali kejadian tersebut. Gilang cuma meniru adegan film. Patrick jauh lebih keren menyanyikan Can't Take My Eyes Off Of You.
Suara-suara yang cukup menganggu akhirnya menghentikan aktivitas Keira merangkum materi fisika. Dia mendapati Gilang sudah duduk santai di atas mejanya.
“Rajin banget, Kei," sapa cowok itu sembari memperhatikan catatan fisika Keira.
Keira segera menutup catatan dan merapikan alat tulisnya. “Kamu mau ngapain kesini?"
Bukannya menjawab pertanyaan Keira, Gilang malah melirik ke kiri dan kanan seolah mencari seseorang. “Agung nggak masuk, ya?"
Keira menggeleng. "Agung sakit tifus dari kemaren."
Gilang terkejut. Sama sekali nggak menyangka ketua kelas 12 IPA 3 yang perawakannya tinggi besar seperti beruang di animasi Marsha and the Bear bisa terkena tifus juga. "Aku disuruh Pak Agus manggil ketua kelas 12 IPA 3, Kei. Baru tahu kalo Agung sakit. Terus, Juna mana?"
Juna yang kebetulan menjabat sebagai wakil ketua kelas pasti harus menggantikan Agung. Tapi Keira menggeleng, dia belum bertemu Juna lagi setelah bel istirahat. “Dia belum kesini. Mungkin di IPA 4."
Gilang mengangguk pelan. Dia kembali mengarahkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas.
"Cari Felly? Bukannya Felly lagi di kelasmu?" tanya Keira.
“Bukan, tadi sebelum ke sini udah ketemu Felly. Aku nyari si anak baru. Dia masuk, kan?"
“Kok tumben nyariin Indra?" kedua alis Keira terangkat ke atas.
Gilang mengangkat bahu. “Aku udah denger dari Felly kalo kamu kayaknya naksir dia. Cuma mau lihat aja perkembangan kalian kayak gimana."
Keira nyaris mengumpat saat mengetahui Felly membocorkan percakapan mereka tempo hari. Entah kenapa terasa menyesakkan mendengar pernyataan Gilang. Nada sedih yang tersurat terdengar dari bibir cowok itu.
“Kok tega-teganya Felly ember kemana-mana," kedua tangan Keira mengepal. Dia kesal dan tak percaya sohibnya sebegitu membencinya dia naksir Indra.
"Felly kan pendukungku nomor satu, Kei," Gilang tersenyum tipis. "Jadi gimana perkembangan kalian? Aku harus mastiin dia nggak melampaui skorku."
"Berisik deh," sentak Keira. "Bukannya kamu ke sini buat nyari Juna? IPA 4 ada di Ruang Seni."
Gilang menghela napas melihat Keira kembali ketus padanya. Mungkin caranya untuk berterus terang menanyakan perkembangan mereka salah. Tapi sejujurnya cowok itu gelisah. Setelah mendengar cerita Felly tadi, Gilang takut usahanya selama dua tahun ini menjadi sia-sia. Apalagi sepertinya Keira pun mempunyai perasaan yang sama dengan rivalnya itu.
“Bukannya kita udah kembali ke awal lagi, ya?" Gilang bangkit dari meja Keira yang sedari tadi didudukinya. "Ya udah kalo gitu aku cari Juna dulu."
Gilang meninggalkan Ruang 5 yang setelah istirahat kedua berakhir akan dipakai 12 IPA 3 untuk belajar fisika.
Sesaat setelah Pak Junaedi guru fisika kelas dua belas meninggalkan Ruang 5, Juna berdiri di depan kelas menyuruh teman-temannya untuk jangan dulu meninggalkan kelas.
"Jangan pulang dulu. Ini ada surat dari kesiswaan. Kamis depan bakalan ada rapat orang tua tentang ujian nasional dan SNMPTN," seru Juna sembari membagikan surat pada siswa-siswa yang sudah siap di depan pintu. Setelah mendapat surat, mereka diperbolehkan untuk meninggalkan kelas.
Keira dan Felly masih duduk di bangku mereka sembari membaca surat tersebut. Setelah selesai, Felly kembali melipat dan memasukkannya ke dalam ransel.
Keira termenung. Dia ragu ayahnya mendapat izin dari bosnya untuk menghadiri rapat tersebut.
"Nggak pulang lo?" tanya Felly di depan pintu. Keira nggak berniat untuk menjawab. Dia masik agak dongkol pada sohibnya itu. Bahkan selama pelajaran fisika berlangsung, dia mendiamkan Felly. Padahal biasanya mereka saling berbagi permen atau cemilan secara sembunyi-sembunyi.
"Hoi, Kei! Pulang, nggak?" tanyanya lagi. Keira meraih ranselnya lantas meninggalkan kelas.
"Lo kenapa? Bingung bokap lo bisa ke sekolah atau nggak minggu depan? Kalo nggak bisa, nyokap gue bisa ngasih tau detilnya ke bokap lo ntar," ucap Felly.
"Makasih, Fell. Tapi bukan itu yang lagi aku pikirin..." Keira sengaja menggantung kalimatnya agar Felly menebak.
"Terus kenapa?"
Keira menghentikkan langkahnya di depan Ruang 1. "Kok bisa-bisanya kamu ngebocorin percakapan kita waktu ngerjain tugas bahasa Inggris ke Gilang?"
"Oh itu. Gue ngerasa Gilang juga harus tau kalo lo naksir Indra," Felly mengatakan hal itu seperti bukan masalah, tapi Keira sebaliknya. Itu masalah baginya. Dia mulai kesal.
“Kamu sebenernya temenku atau temennya Gilang, sih?" nada bicara Keira naik satu oktaf. Staf administrasi yang baru keluar dari toilet di sebelah Ruang 1 pun seketika menoleh pada mereka.
"Ya temen lo sama Gilang, lah...”
"Tapi aku ngelihatnya kamu lebih mendukung Gilang," gerutu Keira.
Felly menaikkan alis kirinya lalu ketawa. “Ya jelas gue dukung Gilang, dong. Ini kan demi lo juga. Ketika saatnya lo tahu kalo apa yang gue lakuin ini bener, lo bakal berterima kasih ke gue, Kei.”
Keira menatap sohibnya seperti orang bodoh. Sama sekali nggak mengerti apa yang baru dikatakan Felly.
"Hai Kei, Fell," sapa Indra menghampiri keduanya. Wajah Felly berubah masam. Dia nggak suka cowok itu sok inosen mendekatinya dan Keira lagi.
"Hai, Ndra," Keira membalas sapaan cowok itu dengan senyuman. Felly sontak memutar kedua bola matanya. "Aku nggak lihat kamu pas pelajaran fisika."
Indra hanya tersenyum tipis tanpa berniat untuk memberitahu. "Udah mau pulang, ya? Gue kebetulan mau ke rumah temen yang tinggal sekompleks sama lo. Lo mau nggak pulang bareng sama gue?"
“Keira pulang sama gue," sebelum Keira membuka mulut, Felly langsung menyela. Dia nggak rela sohibnya pulang bareng serigala berbulu biri-biri di depannya ini. Pasti ada maksud terselubung dibalik ajakan pulang bersamanya.
"Oh, gitu?" terdengar nada kecewa dari bibir Indra. "Ya udah deh kalo gitu. Hati-hati ya pulangnya kalian berdua."
Indra berjalan meninggalkan keduanya. Kalau nggak ingat mereka sobatan dari kelas sepuluh, mungkin Keira sudah mencakar sohibnya itu sekarang.
"Kok kamu tolak sih, Fell? Jarang-jarang lho Indra ngajak aku pulang," keluh Keira.
“Ada udang dibalik bakwan dia ngajak lo pulang," sahut Felly sekenanya.
"Sok tau. Emang dasarnya kamu nggak suka aku deket sama dia."
"Nah itu tahu. Yuk balik! Tapi mampir dulu ke kantin gue haus,” Felly berjalan dengan cepat menuju kantin. Giliran Keira yang memutar kedua bola matanya. Walaupun masih dongkol dengan tingkah sohibnya itu, Keira tetap patuh mengikuti Felly dari belakang.
ns 15.158.61.54da2