“Keira?”
Keira menoleh. Seketika wajahnya memucat melihat seseorang yang datang mendekatinya. Seorang wanita berumur pertengahan empat puluhan tiba-tiba memeluknya sebelum Keira bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Bibirnya sempat membuka untuk mengatakan sesuatu, tapi dia urungkan. Keira mencoba untuk melepaskan pelukan itu tapi keterkejutan melumpuhkan kinerja otaknya.
“Apa kabar? Kamu kelihatan kurus sekarang.”
Setelah kembali sadar dari keterjutannya, Keira berbalik sambil mendorong troli belanjaannya. Dia sudah lupa apa yang belum dibelinya. Bibirnya kelu. Prioritas utamanya sekarang hanya pergi menjauh dari wanita tersebut.
“Kevin apa kabar, Kei?”
Wanita itu menjajari langkahnya dengan Keira. Tapi keira tetap membisu. Ribuan pertanyaan ingin ia utarakan pada wanita itu tapi otaknya menyuruhnya untuk tetap diam. Karena hatinya belum siap jika jawabannya tidak sesuai dengan apa yang dia percaya selama ini. Hatinya belum siap untuk mengingat sakit yang selalu membuatnya menangis dan terjaga setiap malam.
“Ibu tahu masih belum bisa memaafkan apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Tapi sekarang Ibu ingin kembali dekat dengan kamu.”
Keira menatap ibunya tajam. “Ibu ngomong aja sama yang lain. Aku udah nggak ingin ketemu Ibu lagi.”
Dia kembali mendorong trolinya sembari menahan gejolak emosi. Sekuat tenaga ditahannya selapis bening air yang sudah membendung di ujung mata. Aku kuat. Aku nggak boleh jatuh lagi gara-gara dia.
“Hei, Kei! Belanja bulanan?” Indra yang baru selesai belanja keheranan melihat wajah Keira yang mendung. Setelah membayar belanjaannya, cowok itu menjauhi kasir tapi pandangannya tak lepas dari Keira. Dia berdiri di belakang salah satu pilar menunggu Keira selesai.
Tak lama kemudian Keira selesai membayar belanjaannya. Dia berjalan dengan menunduk. Pertemuan tiba-tiba itu hampir menghancurkan benteng pertahanan yang dia bangun selama enam tahun.
Indra mendekati Keira lalu dengan perlahan dia bawa dua plastik besar belanjaan Keira. Cowok itu menuntunnya ke dessert corner yang berada di depan supermarket.
Keira duduk di bangku paling pojok agar orang-orang tak memperhatikan wajahnya yang sebentar lagi akan berubah mengenaskan. Dia segera menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Beberapa saat kemudian Indra datang dengan dua strawberry milkshake. Cowok itu memilih untuk duduk diam di depan Keira. Dia menunggu Keira sampai emosinya kembali stabil.
“Aku menyedihkan, ya, Ndra?” tanya Keira dengan suara bergetar. Indra menaikkan kedua alisnya dan tetap memilih untuk diam.
Dilepaskannya kedua tangan dari wajahnya. Indra tertegun. Keira menangis. Keira membuka salah satu risteling ranselnya lalu mengambil tisu.
“Benteng pertahananku yang kokoh hancur dalam lima menit, Ndra. Padahal aku udah bikin benteng itu selama enam tahun.”
Indra masih belum mengerti apa yang sedang Keira katakan. Dia tetap diam dan mendengarkan. Dia mengasumsikan kalau Keira baru saja bertemu dengan mantannya yang bertahun-tahun sulit ia lupakan.
“Kamu janji nggak bilang siapa-siapa, Ndra?” Indra bingung sesaat tapi kemudian dia mengangguk.
“Aku tahu kamu penasaran karena lihat keadaanku begini. Dan yang tahu hal ini cuma Felly dan Juna,” Keira menarik napas sebelum melanjutkan. “Orang tuaku bercerai waktu aku kelas tujuh gara-gara ibuku selingkuh dengan pacarnya semasa kuliah. Dan barusan aku ketemu dia.”
Indra melongo. Dia sama sekali nggak tahu apa-apa mengenai keluarga Keira. Indra selalu mengira keluarga Keira sama dengan keluarga-keluarga lain yang harmonis karena selama ini Keira nggak pernah menunjukkan kalau dia berasal dari keluarga yang nggak sempurna.
“Dengan tanpa dosanya dia tiba-tiba meluk aku dan tanya gimana kabarku,” Keira menggeleng lemah. “Aku marah, Ndra.”
Indra memegang tangan kanan Keira seolah memberi kekuatan. Wajah Keira masih sendu, tapi air mata sudah tak terlihat di kedua pelupuk matanya.
“Janji ya Ndra, jangan bocor kemana-mana,” pinta Keira.
Indra mengangguk. “Iya tenang aja, Kei. Ini rahasia keluarga lo dan gue nggak berhak bocor kemana-mana.”
Keira tersenyum. “Makasih ya, Ndra.”
Indra balas tersenyum sambil mengangguk. “Sorry ya Kei, gue nggak bisa lama-lama. Diminum milkshake-nya biar perasaan lo lebih baik. Gue duluan ya!”
“Sekali lagi makasih ya, Ndra. Hati-hati!”
Indra menepuk pelan bahu kanan Keira sebentar. Keira masih duduk di tempatnya sembari memperhatikan titik-titik air dari luar gelas milkshake yang mulai membasahi meja. Diraihnya salah satu gelas milkshake lalu meminumnya.
Keira mengambil ponsel di ranselnya lalu menghubungi Ayah.
“Udah beres belanjanya, Kei? Ayah lagi beli pizza, nih.”
“Udah, Yah. Ayah cepet kesini, ya. Aku lagi di dessert corner depan supermarket.”
Mendengar suara Keira berubah serak, Ayah langsung panik. “Kei, kamu nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, Yah. Nggak usah cepet-cepet juga nggak apa-apa, Yah. Yang penting pizza-nya tanpa paprika, ya!”
“Hah? Maksudnya, Kei?”
Keira langsung mematikan sambungan telponnya. Kembali diperhatikannya gelas milkshake yang belum sempat Indra minum. Tanpa sadar dia tersenyum. Kalau tidak ada Indra tadi, mungkin tangisnya akan berhenti sampai Ayah muncul.
***
Sejak kejadian itu, Keira dan Indra semakin dekat. Keakraban mereka membuat bingung siswa-siswa SMA Cemara yang menyangka Gilang dan Keira sudah berpacaran. Tetapi, ketika para pendukung Gilang menanyai hal tersebut pada yang bersangkutan, Gilang hanya mengedikkan bahu dengan lemas. Dia sendiri nihil informasi apa yang terjadi sehingga keduanya tiba-tiba menjadi dekat.
“Keira bukannya udah pacaran sama maneh1, Lang?” tanya Dodi saat dirinya berpapasan dengan Gilang di kantin. (1 kamu)
Gilang menggeleng lemah. Terlihat jelas cowok itu gusar. “Urang ge teu ngarti naha ujug-ujug jadi kieu2.” (2aku juga nggak ngerti kenapa tiba-tiba jadi gini)
Felly dan Juna berusaha untuk menanyakan apa yang terjadi pada Keira, tapi Indra selalu berada di samping cewek itu. Usaha mereka selalu digagalkannya. Di sisi lain, Keira merasa masa SMA-nya mulai berwarna sejak Indra berada di dekatnya, tapi kedua sohibnya nggak melihat hal tersebut pada Indra. Indra seperti merasa puas Keira kini sudah berada dalam jangkauannya, tapi hal itu justru tak membuatnya tersenyum.
Saat para cowok berbondong-bondong menuju toilet untuk mengganti seragam olahraga mereka menjadi putih abu, Juna menunggu Indra di depan kelas. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Eh, Jun. Belum ganti seragam?” tanya Indra basa-basi. Cowok itu sudah siap menutup pintu kelas lalu bergegas menuju toilet. Tapi Juna dengan langkah cepat menghadangnya.
“Ada yang mau gue omongin,” kata Juna datar.
“Ya udah ngomong aja. Lo nggak niat nembak gue, kan?” tanya Indra bercanda.
Juna yang sama sekali lagi nggak mood untuk bercanda, mengabaikan pertanyaan konyol cowok itu. “Lo sama Keira ada apaan nih? Kok tiba-tiba jadi deket?”
Indra bersandar pada pintu kelas dengan kedua tangan terlipat di dada. “Yah… seperti yang lo lihat.”
“Lo serius sama dia? Soalnya kalo lo cuma main-main, bukan cuma gue yang bakal turun tangan.”
Indra tersenyum tipis. “Gue serius.”
“Gue pegang omongan lo. Awas aja kalo gue denger lo nyakitin dia,” ancam Juna.
“Kalo yang itu gue nggak janji,” Indra menepuk bahu Juna pelan lalu meninggalkannya dalam ketersimaan. Juna sudah bersiap untuk menanyakan maksud dari ucapan Indra, tapi cowok itu sudah menghilang dari pandangannya.
Akhir-akhir ini Felly dengan terpaksa harus bergabung dengan teman-temannya di kelas lain saat istirahat. Felly memang nggak terlalu akrab dengan para cewek 12 IPA 3. Dia merasa nggak cocok dengan mereka, beda bahan obrolan. Awalnya dia masih santai-santai aja nongkrong di 12 IPA 2. Kemampuan mengarangnya pun berkembang pesat saat ada yang bertanya kenapa akhir-akhir ini dia terpisah dari Keira. Tapi ketika dia mengasingkan diri di 12 IPA 4, dia mulai sadar dia kesepian. Jadi, saat bel istirahat pertama berdering, Felly langsung menarik Keira keluar kelas sebelum Indra mendahuluinya.
Keira yang nggak sempat merapikan buku-bukunya, dengan tergesa memasukkannya dalam ransel. Dia bahkan merasakan posisi tempat minumnya berubah horizontal dan mengganjal di punggungnya.
“Bentar, Fell. Tempat minumku jatuh, nih. Takut tasku banjir,” Keira melepaskan lengannya dari tarikan Felly kemudian mengecek ranselnya. “Buru-buru amat sih, Fell. Kelaparan, ya?”
Felly nggak menjawab. Dia kembali menarik Keira. Tapi ternyata bukan kantin yang Felly tuju, Keira terbengong-bengong saat mereka sampai di koridor depan perpustakaan lantai dua. Perpustakaan lantai dua berada di gedung yang bertuliskan angka dan biasanya terkunci. Buku-buku yang berada di sana pun cuma kumpulan ensiklopedia atau buku-buku langka yang hanya boleh dibaca di tempat. Rumor-rumor dengan bumbu misteri pun menjadi alasan banyak siswa yang malas berada di koridor ini.
“Kamu nggak ke kantin, Fell?” tanya Keira lalu duduk di lantai mengikuti Felly.
Felly membuka risleting ranselnya lalu mengeluarkan kotak makan berwarna oranye. “Gue mulai bawa bekal lagi.”
Keira hanya manggut-manggut kemudian ikut membuka risleting ranselnya dan mengeluarkan kotak makannya sendiri. Tadi pagi ayahnya membuatkan nasi goreng untuk bekal makan siang. Sebelum mulai mengunyah, Felly mengeluarkan ponsel dari saku roknya. Dia segera menghubungi Juna dan memberi tahu lokasi mereka saat ini.
Tak lama kemudian Juna datang dengan setengah berlari. Dia melirik ke kiri dan kanan takut orang yang mereka hindari tiba-tiba datang.
“Lo udah kayak seleb aja sekarang, Kei. Susah banget buat dideketin,” Juna ikut duduk bersama mereka kemudian ikut membuka kotak makanannya.
“Kamu bawa bekal, lagi? Terakhir kali aku lihat kamu bawa bekal pas kelas sebelas,” ujar Keira sembari mengintip apa bekal yang Juna bawa hari ini. Nasi goreng omelet.
“Jadi gimana ceritanya lo bisa tiba-tiba deket sama Indra?” Felly langsung menanyakan pertanyaan yang akhir-akhir ini berada di kepala semua orang.
Keira meneguk air minumnya sebelum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Kemarin lusa aku ketemu Ibu di supermarket.”
Kedua sohibnya terkejut. Juna berhenti mengunyah sementar Felly menjatuhkan sendoknya. “Setelah aku ketemu Ibu, aku ketemu Indra yang juga lagi ada di sana. Aku ceritain apa yang terjadi, termasuk soal yang sensitif itu. Terus kemarin dia jemput aku di rumah buat berangkat ke sekolah bareng. Mungkin dia merasa simpati pas tahu keadaan keluargaku.”
“Lo nggak merasa gegabah udah nyeritain tentang keluarga lo ke dia?” Felly menutup bekalnya yang belum habis. Perutnya mendadak kenyang.
Keira menggeleng lemah. “Dia lihat aku nangis. Jadi sebelum dia maksa-maksa aku buat cerita, aku ceritain aja apa yang terjadi.”
“Lo polos atau bego sih, Kei?” Juna menggelengkan kepalanya sembari mengunyah. “Ada saatnya lo cerita tentang apa yang terjadi dan ada saatnya lo diam.”
“Lho? Emang kenapa, sih? Aku udah bilang ke dia supaya nggak ember kemana-mana, kok.”
“Tapi tetep aja lo ceroboh banget. Dia aja nggak ngasih tahu pindahan dari mana, ini elo malah ngasih tahu dia sesuatu yang sensitif banget buat keluarga lo,” Felly ikut menimpali.
“Ya, gimana dong… kan udah terjadi,” Keira mendadak nggak ingin mengunyah lagi. Dia juga menutup kotak bekalnya yang isinya tinggal setengah. Keira merasa ponsel yang berada di saku roknya bergetar. Dia terlonjak saat tahu Indra menelepon. “Dari Indra.”
“Jangan dijawab!” seru Juna dan Felly bersamaan. Keira segera meletakkan ponselnya di lantai dan menunggu hingga getarannya berhenti.
“Gue punya firasat nggak enak tentang tu cowok,” Juna teringat kembali percakapannya dengan Indra beberapa jam yang lalu. “Gue tarik lagi omongan gue soal mendukung lo. Gue ikut aliansi Felly. Kita berdua akan melawan mati-matian kalo lo sampe jadian sama dia.”
“Kalian ini kenapa, sih? Kayaknya punya dendam pribadi sama Indra,” kening Keira berkerut. Sepertinya cuma dia sendiri yang nggak tahu apa-apa mengenai cowok itu.
“Gue belum tahu motif dia apa, tapi kayaknya sesuatu yang buruk, Kei. Lo jangan deket-deket lagi sama dia deh,” Felly membuka tempat minumnya lalu meneguk isinya yang masih penuh.
“Guys, yang diomongin lagi jalan ke arah lapangan basket,” bisik Juna. Cowok itu sudah berdiri sambil memicingkan mata. Diperhatikannya dengan seksama apa yang sedang Indra lakukan. Keira dan Felly masih duduk di lantai sambil menunggu. Keduanya memilih untuk tetap pada posisi masing-masing agar tidak ketahuan.
Dari tempat Juna berdiri saat ini, dia bisa melihat lapangan basket dan sekitarnya dengan jelas. Tapi tidak bagi Indra. Butuh kekuatan bak superhero untuk melihat benda yang berada di balik dinding untuk mengetahui keberadaan mereka sekarang. Walaupun di arahkan pandangannya dengan seksama ke arah lantai dua dan tiga di dua gedung sekaligus, kecil kemungkinannya dia mengenali wajah Juna. Dia juga sepertinya sama sekali tidak berpikir ketiganya bersembunyi di tempat sepi yang sama sekali tak ada kehidupan.
Setelah Indra berbelok menuju lapangan upacara, Juna kembali duduk. Cowok itu kembali mengunyah isi bekalnya.
“Dia udah pergi dari lapangan basket,” Juna bisa melihat wajah-jawah lega kedua sohibnya. “Kita ke Lab. Bahasa Inggrisnya mepet bel masuk aja, ya. Telat sedikit juga nggak apa-apa kayaknya, Bu Ima kan baik.”
“Tapi apa nggak akan curiga kalau telatnya bertiga?” Keira yang terkenal nggak pernah telat masuk kelas terdengar khawatir.
“Bu Ima ngajar kita dari kelas sepuluh. Gue yakin dia udah kenal sama kita. Santai aja, Kei,” Felly menepuk bahu Keira pelan.
“Si Gilang galau berat, tuh. Dia jadi penyendiri akhir-akhir ini,” ujar Juna. Cowok itu meminta air minum pada Felly lalu meneguknya.
“Kok kesannya aku yang salah?” Keira menatap kedua sohibnya dengan cemberut. “Dia kan bukan siapa-siapaku.”
Juna dan Felly memutar bola mata mereka sebal. Menurut mereka, Keira sama sekali nggak bisa melihat mana cowok yang tulus dan mana cowok yang mendekatinya dengan motif tertentu. Keira yang kelihatan jelas naksir Indra dan dibutakan oleh kelakuan cowok itu yang terkadang nggak stabil. Walaupun tak terucap, keduanya berniat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan oleh Indra. Cowok itu mungkin bisa saja terlihat cool seperti tak ada yang disembunyikannya, tapi alam bawah sadar Juna dan Felly mengatakan bahaya mengancam Keira.
***
Jumat sore hujan deras mengguyur Bandung saat Keira berniat untuk meninggalkan lingkungan sekolah. Dulu Keira suka hujan dan bulan November selalu dinantinya. Tapi semenjak pengelihatannya mulai memburuk, dia benci hujan. Mendung pasca hujan selalu membuat pandangannya mengabur. Dia juga benci memakai kacamata walaupun mau tidak mau tetap harus memakainya saat belajar.
Keira menghela napas panjang sembari duduk di depan Ruang 2. Dia sedikit menyesali keputusannya untuk menolak ajakan pulang Felly dan Indra tadi siang. Dia memilih untuk pulang terlambat hari ini karena bosan tak ada siapa-siapa di rumah. Ayahnya baru akan pulang sehabis Maghrib nanti. Keira memandang lapangan upacara hampa. Seharusnya latihan ekskul perkusi yang biasanya diadakan di lapangan upacara sudah dimulai, tapi hanya terlihat lapangan yang basah dengan genangan air.
Sialnya hari ini dia lupa membawa payung dan jaket. Mau tak mau dia harus menunggu hingga hujan reda untuk pulang.
Seseorang berjalan mendekat dan menjatuhkan kain berukuran besar di atas kepalanya. Keira sudah siap untuk mengomeli manusia usil tersebut, tapi tak jadi setelah melihat siapa pelakunya. Orang itu mengambil kain yang ternyata jaket berwarna hitam lalu memakaikannya pada Keira. Setelah selesai, dia duduk di sebelah kirinya sembari menatap genangan air yang semakin membasahi lapangan. Keira tertegun.
Orang itu Gilang. Dia hanya menatap Keira sambil tersenyum. Senyum yang menyimpan berjuta rasa sakit yang ia coba bunuh di depan gadis yang ia suka. Biasanya Gilang akan melemparkan godaan yang selalu membuat wajah Keira memanas. Tapi kali ini cowok itu hanya duduk diam di sampingnya. Rasa sakit akan menghunus hatinya jika ia menanyakan pertanyaan yang hampir seminggu ini selalu membuatnya insomnia.
“Tumben masih di sekolah, Lang?”
Harusnya pertanyaan itu dilontarkan Gilang pada Keira. Sejak kelas sepuluh cowok itu sering pulang sore karena sibuk dengan keanggotaannya di OSIS. Tapi gara-gara canggung, Keira berinisiatif untuk mencairkan suasana. Dan ini pertama kalinya Keira mengajak Gilang berbicara duluan.
Gilang menyandarkan kepalanya pada pilar penyangga di sebelah kirinya. “Baru beres seleksi calon ketua OSIS dan MPK yang baru.”
“Oh gitu.” Hening kembali menyeruak di antara mereka. Belasan siswa yang sepertinya anak kelas sebelas keluar dari Ruang Bahasa Jepang yang berhadapan langsung dengan Ruang 2. Mereka mengeluh panjang saat melihat hujan belum juga reda.
“Ada yang mau aku tanyain, Kei.” Gilang membuka suara. Keira melirik ke kiri sembari merapatkan jaket hitam milik Gilang. “Kamu udah jadian sama Indra?”
Keira menggeleng. Kedua pupil mata Gilang melebar. Gilang sontak duduk tegak. “Kita cuma deket aja akhir-akhir ini gara-gara sesuatu. Felly dan Juna ngelarang aku deket lagi sama dia.”
Wajah cowok itu yang sedari tadi menegang kini tampak kembali seperti semula. Tanpa sadar cowok itu tersenyum mengingat kebodohan dan keresahan dirinya mengasumsikan keduanya sudah berpacaran.
“Kamu udah menentukan mau lanjut kuliah dimana?” Gilang mencoba mencari bahan pembicaraan lain karena beban pikirannyanya sudah hilang.
Keira kembali menggeleng. Di saat seperti ini seharusnya dia sudah menentukan masa depan apa yang akan dia capai, tapi dirinya masih bingung apa yang ingin dia lakukan. “Aku belum tahu mau kuliah di mana dan jurusan apa. Kamu gimana?”
“Aku ingin kuliah Manajemen Bisnis di UNPAD.”
Keira tersenyum tipis mendengarnya. “Aku yakin kamu bisa kuliah di UNPAD. Nilai-nilaimu kan jauh lebih bagus dari aku.”
“Makasih. Aku doain semoga kamu sejahtera, sehat sentosa, dan cepet menentukan tempat kuliah yang sesuai dengan keinginanmu.”
Keira tergelak. Dia merasa seolah baru saja menerima doa untuk ulang tahun berikutnya.
“Kei, ada sesuatu yang ingin aku pinta. Tapi jangan marah ya,” ucap Gilang sembari menatap Keira lurus.
Keira balas menatap cowok itu. Dia sudah memikirkan beberapa kalimat penolakan kalau lagi-lagi Gilang dengan enteng memintanya untuk menjadi pacarnya. Pandangannya tentang cowok itu sudah mulai berubah, tapi hatinya belum siap untuk memiliki hubungan yang khusus dengan seorang cowok.
“Apaan, Lang?” Keira merasa tiba-tiba tenggorokannya kering. Dia segera menelan ludah.
“Tolong unblock semua media sosialku, dong. Kita kan udah gencatan senjata.”
Keira mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia sama sekali nggak menyangka cowok itu mengatakan sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Dia merasa bodoh oleh rasa percaya diri yang entah dari mana datangnya tadi. Harapannya meleset.
“Iya, nanti aku unblock semua medsosmu.”
Gilang tersenyum lebar. “Makasih, Kei.”
“Sama-sama.”
“Kei, inget nggak waktu pelajaran seni kelas sepuluh kamu pernah nggak sengaja numpahin cat warna biru ke tasku?”
Kening Keira berkerut mencoba mengingat kejadian itu. Tak lama kemudian Keira tersenyum malu.
“Masih inget kok, Lang. Kenapa? Kamu masih dendam? Tapi aku lega lho. Harusnya sih kemeja putihmu aja yang kena cat.”
Gilang terkekeh. Mana mungkin cowok itu bisa menyimpan dendam padanya. “Nggak dendam, kok. Aku malah seneng.”
Cewek itu mendengus geli. Baru kali ini dia tahu ada orang yang senang terkena tumpahan cat di tasnya.
“Aneh. Kok seneng?”
Gilang melepaskan tasnya dari bahu, lalu menunjukkan bercak biru yang lebih dominan daripada warna abu-abu di bagian strap kirinya.
“Aku seneng karena aku inget kamu setiap kali lihat bercak biru ini. Aku tahu warna favoritmu biru. Aku nggak akan pernah ngilangin warna biru ini.”
Wajah Keira sontak merona. Dia segera mengalihkan pandangannya ke sebelah kanan. “Barusan flirting, Lang? Harus lebih banyak latihan tuh. Masih kurang dikit lagi.”
Cowok itu tersenyum geli. “Hujannya udah mulai reda, tuh. Belum pesan ojek online, kan? Aku anterin pulang, ya?”
Keira tersenyum mengejek sembari mengembalikan jaket hitam tersebut. “Kalo aku nolak kayaknya bakalan makin lama sampai di rumah. Yuk ke parkiran!”
Senyum cowok itu semakin merekah hingga deretan gigi teratasnya terlihat dan kedua matanya menyipit. Bahkan garis-garis halus di bawah matanya semakin terlihat jelas. Baru kali ini Keira melihat Gilang tersenyum seperti itu. Gilang terlihat sangat bahagia.
Ternyata hujan tidaklah seburuk itu.
ns 15.158.61.54da2