“Anda sudah bekerja 3 bulan tapi target selalu kurang seperempatnya!? Urgghh…! padahal saya sudah memberi anda pelatihan yang terbaik!” ungkapan kecewa meskipun nadanya rendah dan terkesan dingin.
“Uh… saya mohon maaf,”
Ia mengibaskan ringan kertas laporan sales yang kuberikan padanya sebelum menggebrak meja dengan cukup keras. Ia menambahkan bahwa dirinya memarahiku agar aku bekerja lebih kompeten.
“Tch! Pokoknya, anda harus lebih baik dari ini di bulan keempat! Saya nggak mau tahu!” Kemudian tangan kirinya digerakkan menggusah, mengusirku agar enyah dari pandangannya.
“Ka-kalau begitu… sa-saya permisi dulu, Kashiwagi-san,”
Itulah ingatan terburuk yang selalu dilontarkan manajerku setiap bulannya. Kata – kata itu selalu membayangi pikiranku bahkan saat sedang menikmati bento yang kubuat enak sekali pagi ini demi melupakan masalah itu. Kata – kata itu seolah ancaman yang beratnya sama dengan tanggung jawabku.
Mitsue Kashiwagi, adalah wanita yang mengomeliku setiap hari karena hal kecil, dan marah besar ketika akhir bulan. Dia punya paras yang menawan dan tubuh langsing, menggunakan stocking panjang dan rok pendek hitam serta kemeja biru muda dan jas yang punya warna yang sama dengan rambutnya.
Rambutnya putih silver lurus sebahu dengan mata biru seindah lautan di pantai Okinawa. Wajahnya selalu serius dengan lipstik pink yang tidak terlalu tebal. Nah, penampilannya memang primadona tiada duanya. Karena itulah beberapa karyawan sering menawarinya untuk makan malam bersama. Meski hampir semua dari mereka harus menyerah pada realita.
Muka cantik jelita saja tidak cukup untuk membuat para karyawan bertahan padanya. Mulutnya yang tegas dan selalu ikut mencampuri urusan orang merusak reputasinya sendiri. Baik oleh karyawan perempuan maupun laki – laki. Aku juga kerap sekali mendengar Nona Kashiwagi menolak dengan cara dingin. Seperti…
“Bila ada waktu untuk bersenang – senang, saya lebih suka ada masukan projek baru yang unik!”
Dan…
“Saya hanya hadir bila topik pembicaraannya berbobot!”
Atau…
“Mabuk – mabukan hanya merusak kewarasan kalian!”
Kata – katanya selalu menasehati orang lain dan bukan pada dirinya sendiri.
Maksudku, ayolah! Seberapa workaholicnya kamu, huh? Dan juga, setiap orang punya beda prinsip, ‘kan? Kami tak mau selamanya jadi budak perusahaan juga, kan? Untuk bagian mabuk – mabukan bir, aku sih tak terlalu mempermasalahkan karena diriku sendiri juga sangat jarang ke kedai memesan bir.
“Yeah, dia memang nggak ada bagus – bagusnya selain tampangnya…,” kata seniorku, Kinji Tomatsu.
Aku dan seniorku satunya, Aemi-san, kompak mengiyakan. Sebelum Kinji-san yang badutnya minta ampun itu mengatakan hal – hal yang bodoh.
“Dan… ukuran rudal balistiknya?” Kedua tangan Kinji-san tampak nyaris mengepal dan menimbang di bagian dada, memperagakan betapa mesum pikirannya.
“Uhuk, uhuek~!”
Kata – katanya itu membuatku terbatuk – batuk. Sebagian teh lemon hangat yang barusan kuminum keluar lewat hidung.
“Ka-kamu nggak apa Eijiro-kun?” ia memijat – mijat ringan punggungku lalu menoleh tajam pada seniorku yang barusan mengatakan hal tolol. “Ya ampun, Kin-Chan! Apa itu yang selama ini kamu pikirkan?!”
“Ehhhh~ lagian Eijiro juga penasaran kayaknya…,”
“Ng-nggak kok!” tegasku menolak meskipun itu ada benarnya.
Kinji Tomotsu adalah rekan kerja yang paling akrab denganku. Ia telah bekerja kurang lebih lima tahun, juga tetangga satu apartemen di Edogawa. Rambutnya hitam dikuncir belakang dan selalu bercanda setiap saat. Meskipun begitu, performanya bekerja nggak bisa dianggap remeh. Satu – satunya yang membuat kami cepat akrab adalah karena dirinya satu hobi denganku. Bermain game, menonton anime dan membaca manga.
Bahkan kami sempat berdebat soal waifu terbaik. Kinji-san lebih suka karakter wanita tipikal kakak perempuan yang menggoda dengan suara ara~ ara~, yang mudah sekali para pria akan berhalusinasikan pikiran aneh – aneh setelah mendengar suara itu. Sedangkan aku kebalikannya, menyukai karakter wanita dengan tipikal sikap seperti ratu es yang susah didekati. Nah, bukan berarti manajerku juga ya, Mitsue Kashiwagi-san. Dia sendiri bahkan melebihi legenda ratu es itu sendiri.
Rekanku berikutnya adalah Ogi Aemi. Lamanya bekerja kurang lebih hampir sama dengan Kinji-san. Aemi-san adalah wanita berkaca mata dan berambut kuncir ala sekretaris yang terlihat kalem dan keren di anime – anime yang kutonton. Gayanya berdandan mengikuti selera Kinji-san, itulah pada awalnya yang kupikirkan. Namun setelah kami bertiga akrab, ternyata mereka adalah sepasang kekasih.
Kinji-san yang suka anime dan manga, sementara Aemi-san adalah penulis novel ringan dan kadang manga romantis yang dijual saat pameran. Mereka berdua cocok dan punya hobi yang sama. Kadang Aemi-san meminta Kinji-san membantunya di acara cosplay akihabara. Itu sedikit membuatku iri.
Kami bertiga saat ini sedang istirahat makan siang di kantin luar agar bisa mengutarakan unek – unek tanpa ada atasan yang mendengar.
“Tapi… seharusnya Kashiwagi-san bisa lebih memaklumi Eijiro-kun. Lagipula dia baru masuk tiga bulan di divisi sales, Kin-chan!” Kata – kata kalem dan halus Aemi-san namun agak merajuk membelaku itu kadang membuatku sedikit bersemangat.
“Hmm… tapi nggak semudah itu, Ogi.” Kinji-san memegangi dagunya dan terlihat agak serius. “Lagipula, divisi sales merupakan jantung perusahaan. Tapi walau begitu aku salut padamu yang dalam tiga bulan hanya kurang seperempat dari target? Itu juga sudah termasuk bagus loh!” ia mengangguk – angguk kecil.
“Apa benar begitu, Kinji-san?”
Ia menambahkan bahwa dirinya saat masuk pertama bahkan dalam beberapa bulan hanya tercapai seperempatnya. Justru aku yang kurang seperempat atau tiga per empat dari target jauh lebih baik.
Mendengar itu, mataku berkunang – kunang seraya terharu. Aku secara reflek merangkulnya.
“TERIMA KASIH KINJI-SAN~ HWAAAaaa~ KAMU BAIK JUGA! KAMU TERNYATA MASIH SETIA KAWAN YA!!”
Tentu saja, Kinji-san kesulitan karena aku memeluknya. Ia berusaha keras melepaskan pelukanku yang erat.
“ARGHHHH! Apa kamu selalu melakukan hal ini pada pria lain? Nggak heran kamu dibenci wanita, EIJIROO!”
Aemi-san secara spontan memasang wajah meringis. Ia agak aneh terutama terhadap novel romantis yang akhir – akhir ini ia buat. Nggak seperti “Novel Romantis Normal” yang kalian pikirkan, karena yang ia buat adalah romantis pria dengan pria. Cukup… menjijikan!
“Tapi… aku bukan seperti yang kamu pikirkan, Kinjiro-san!” Aku masih merangkul punggungnya sambil meneteskan haru pada pujian dan nasehat Kinji-san.
“Nggak! Kamu memang seperti yang kupikirkan! EIJIROO LEPASKAN!!” tambahnya dengan masih berusaha kuat melepas rangkulan mautku. “Li-lihatlah, Ei-eijiro! Ogi hendak memotret ki-kita! Ka-kamu tahu kalau itu nggak bagus, ‘kan?!!”
Nah, Aemi-san mencari bahan liarnya dari kebodohan kami berdua. Untungnya aku cepat sadar dan segera melepaskan Kinji-san. Aemi-san sedikit sedih karena tak sempat memotret kami.
Namun waktu berkelakar telah selesai. Setelah memakan ramen dan minumnya teh lemon jeruk hangat, kami bertiga kembali menuju kantor.
“Eijiro, kalau kamu punya masalah, datanglah ke apartemenku kapan saja!”
“Eh? Ogaah~ Kamu hanya menyuruhku membantumu memainkan game online karaktermu, kan?” aku spontan menolak keberatan. Pasalnya memang benar. Ketika masuk ke kamar Kinji-san, kami langsung berniat main game di komputernya. Dia ini terlalu cupu memainkan game online RPG sehingga meminta bantuan karakterku yang sangat kuat.
Ia punya komputer dua yang mumpuni untuk game berat.
“Eh-ehem~ I-itu… bukannya yang kita lakukan saat sedang istirahat, Eijiro?”
Aku tahu ia hanya ingin terlihat bagus di mata kekasihnya. Karena Aemi-san yang terlalu khawatir dengan juniornya, maka ia nggak mau para senior kurang memberi arahan dalam hal pekerjaan.
“Ehhh? Waktu itu kamu pernah bilang kita akan main game sampai pa-“
Kinji-san langsung menutup mulutku.
“Pfufufufu~ bukan contoh senior yang baik,” nada halus mencekam Aemi-san, dengan lirikan sinisnya membuat Kinji-san takut bahkan aku sendiri. “Nanti malam kita akan mengobrol banyak, Ki-en-chan~”
Begitulah Aemi-san, ia selalu khawatir dengan juniornya. Sejauh ini mereka berdua adalah teman terbaikku di tempat kerja. Mereka pasangan yang serasi dan senada.
Kadang aku berpikir…
Apakah seharusnya aku menyerah saja dari pekerjaan ini? Nggak! Itu akan membuat Kinji-san dan Aemi-san sedih.
Lagipula, aku… Eijiro Munekata, umur 24 tahun dan baru saja diterima di pekerjaan setelah tiga tahun menganggur. Aku lulus dari sekolah tinggi vokasi bidang sales.
Aku berharap, ujian hidupku dipermudah.
ns 15.158.61.54da2