Shapira madany, begitu namanya diucap, teman teman se-fakultas menjulukinya Sapi Ompong, atau entah unsur kriminal lainnya. Padahal Shapira hanya sosok mahasiswi yang gemar menyatroni laki-laki bernama Erient.
Salah satu target Shapira di FIB hanya karena ingin melihat Erient, mahasiswa kelimis, terajin, seangkatan. Tentu target Shapira karena mata kuliahnya juga.
Bahkan Shapira suka pura-pura fotoin kelas pakai kamera hanya karena tujuan utamannya Erient, menubruk Erient sampai jatuh kejengkang, menyiram baju Erient pakai jus jeruk cuma karena mau cuci baju Erient, atau memberikan air mineral setelah Erient main basket.
Tapi! Yang memakai trik murahan seperti Shapira sangat banyak. Shapira melihat Anita ikut pura-pura fotoin kelas, Desi yang tiba-tiba menubruk Erient hingga beneran kejengkang di selokan, atau si Fanma yang menyiram Erient pakai sayur kuning hanya ingin menyikat baju Erient pakai baeklin.
“Lo ngga ada cara lain yang bisa buat Erient takluk, Mik?” tanya Shapira pada Mika di kemudian hari, ketika mereka pergi ke Balai Bisnis untuk menemui Ibu Pertiwi.
Tugas-tugas Shapira di semester lima menumpuk banyak. Tentang tugas ekspor impornya, English for job seekers, humas keprotokolan, leadership, sampai ke manajemen pemasaran yang menggunung pun sering ditolak karena tak masuk ke keriteria.
Setiap malam tak ada yang bisa didiskusikan selain tugas Shapira dibandingkan tugas Mika dari Fakultas Matematika. Mika ini keturunan Tiongkok, sipit, jenong, putih, cantik. Kalau perayaan pun Shapira dapat ampau banyak dari para saudara-saudara Mika, dapat telaktiran pula. Mika sebagai teman dan sekaligus penasihat Shapira di kampus pun hanya bisa mengurut dada.
Hari ini Mika sedang tak ada mata kuliah, dia datang ke gedung kampus Shapira hanya untuk memenuhi janjinya sebagai penasihat.
“Mungkin aja lo bisa bawain makanan yang dia suka. Kaya bawain bekal gitu.”
“Oh, ya!” seru Shapira. “Gue dengar Erient suka sama makanan yang rendah kalori, minum susu pun yang tanpa rasa. Mungkin langsung dari sapinya kali, ya?”
“Yang benar aja dong, Pir. Gak mungkin juga lo bawa sapi ke kampus, peras susu di dalam kelas, langsung kasih ke Erient dan bilang: ini sayang, untukmu apa pun kulakukan,” balas Mika kesal, lalu Mika terkekeh.
“Jijik!” tambahnya.
Shapira tau apa yang dipikirkan Mika ini terdengar aneh, tapi siapa sangka apa yang diucapkan Mika membuat Shapira sadar, Mika itu cewek unik yang harus dipertahankan menjadi teman.
Pertama mereka kenal pun saat Shapira muntah dipaksa minum jamu buyung upi oleh tingkat senior, kebetulan tempat ospeknya berada di dekat minimarket. Dan Mika cewe pertama yang datang-datang menyodorkan satu benda yang membuat para tingkat senior mereka geleng-geleng kepala. Mika beri Shapira testpack. Karena Mika pikir Shapira sudah punya cabang bayi di dalam perutnya.
“Omong-omong. Botol yang lo bawa sekarang, gue jadi ingat. Kemarin bukannya gue suruh lo untuk kasih air mineral ke Erient saat dia latihan?”
“Perintah lo sih oke. Tapi kalau ternyata semua anak mahasiswi kasih air mineral ke Erient, lo gak tau, kan?”
“Ha? Seriusan.” Mika melotot.
“Iya, bikin jelek mood gue aja.” Shapira meremas botol plastik di tangannya. “Yang ada, gue mundur duluan sebelum maju,” katanya lagi berhenti, kemudian melempar botolnya ke tempat sampah di dekat lorong. Suara botol itu nyaring begitu masuk ke dalam tong besar di susul oleh suara teriakan kecil di dekat tong sampah.
Shapira melirik tong sampah, lalu memandang Mika.
“Tong sampahnya ngomong, Mik!” pekik Shapira panik.
Mika langsung melongok ke dalam tong, tak ada siapa-siapa selain sampah yang menumpuk. Lantas Mika berjalan ke tong di sebelahnya, alih-alih Mika melihat seorang perempuan duduk meringkuk dekat tong sampah non organik.
“Ada cewe, Pir!” bisik Mika.
Shapira mendekat dan melihat perempuan itu menunduk dan menangis. Dia rasa tak ada anak FIB yang begitu mencolok mata. Dari cara pakaiannya saja, dia bisa menebak kalau perempuan itu bukanlah cewe biasa-biasa saja. Semua yang dipakainya bermerk, tak mungkin Shapira mampu untuk membelinya.
Mika menyenggol. “Dia anak seni, kok bisa nyasar ke sini? Gedung kampus lo bisa dibilang hampir gak kelihatan sama gedung Elektro. Nyempil gini.”
“Tapi lo liat sendiri dia bisa sampai dateng ke sini. Berarti gak nyempil banget, kan. Lagian lo tau namanya?”
“Engga sih, cuma pernah liat aja dia di gedung seni sama anak-anak mural yang ngabisin dana gak mungkin dua puluh ribu buat cat.” Shapira menjadi yakin, cewe di depannya benar-benar anak seni. Terlihat dari gaya pakaiannya juga dari rambut ngejreng warna biru laut.
“Lo siapa?” tanya Shapira begitu dia berjongkok menyamai.
“Aku Alexa,” balasnya.
“Anak seni?” tanya Shapira memastikan. Alexa mengangguk.
“Lo gak amnesia, kan? Tau jalan ke gedung seni yang halamannya segede lapangan bola itu.” Alexa mengangguk.
“Kenapa bisa tiba-tiba masuk ke gedung yang goib ini, parkiran pun gak nyampe bermeter-meter.”
“Aku ada urusan tadi.”
Shapira melirik keheranan, wajahnya tetap tak percaya. Ia menoleh ke sana dan kemari lalu menatap Alexa dengan mimik wajah yang bertanya-tanya.
“Percaya deh, gue heran beneran. Di sini tuh jarang diikutin festival dan apalagi dosen FIB gak mungkin bergaul sama dosen seni yang kece abis. Lo tau kan? Sejarah bisnis yang mainnya internasional tapi gak ada yang dipergiin ke luar negeri karena menyangkut susah banget minta nilai tinggi walau lo dianggap pinter kebelinger.”
Perempuan itu agak ragu untuk mengangguk.
“Pernah dengar. Kirain itu mitos,” balasnya.
“Itu fakta. Lo gak tau gue ditolak sepuluh kali dalam sebulan cuma karena projek gue tentang 5P. Agh! Kok gue malah cerita ke lo.” Alexa tertawa mengikik di depannya, disusul Mika yang ikut tertawa membahana.
“Sini deh,” kata Shapira menarik lengan Alexa pelan, menyuruh Alexa untuk bangun. “Kalo ada apa-apa lo bisa ngobrol sama kaprodi lo,” usul Shapira. Alexa menggeleng buru-buru.
“Yaudah lo bisa ngobrol sama gue kalau gitu.”
Shapira membawa Alexa untuk duduk di atas bangku.
“Lo bisa cerita sama gue.”
“Maaf tapi ini bukan masalah serius kok,” balas Alexa kalem.
“Nah, apa? Atau karena di tempat lo kekurangan bahan sampah buat didaur ulang?” tanya Shapira ikut kalem. Alexa menggeleng.
“Ini masalah cowo.”
“Lho!” Mika memekik. “Ngapain di dekat tong sampah ngumpetnya?”
“Karena tadi gak sempat lihat aja.”
“Jangan-jangan, Erient?” tebak Shapira curiga. Perempuan itu mendadak mengerutkan kening.
“Siapa Erient?” tanya balik Alexa. Shapira langsung berubah pandang dan mengelus dadanya.
“Gue Shapira, tapi biasa dipanggil Pira. Gue bukan mau ingin tahu urusan lo. Cuma kalau misalkan lo gak punya teman curhat, lo bisa ngobrol sama gue sekarang. Siapa tau gue bisa bantu.”
Shapira menggantungkan tangannya di atas udara menunggu Alexa untuk meraihnya. Paling tidak lima detik setelahnya tangan Alexa terulur dan membalas tangan Shapira.
“Alexa Kim. Iya, boleh. Aku mau cerita.”
To be continued...
ns 15.158.61.42da2