Siang ini rumah keluarga Raja riuh oleh teriakan seorang anak kecil dari lantai dua. Ada rasa panik yang Raja rasakan begitu teriakan itu menggema. Raja berlarian dengan menggeret baki besar tanpa isi, kemudian dia melindungi kepalanya dengan baki.
Tak lama dari lantai dua cat bewarna kuning terang itu menggelinding ke sisi tepi, hingga tutupnya terbuka menumpahkan isinya dan turun ke lantai satu melalui celah-celah. Cat itu milik Raja.
Raja bahkan sudah memperkirakan akan terjadi seperti ini, tapi bukan berarti ia sengaja menaruh kaleng cat itu di lantai dua. Rencana Raja, cat-cat itu akan ia gunakan untuk mengecet kamar. Hanya saja Raja lupa mengembalikannya ke tempat semula.
Raja menutup mata, lalu dia menunggu cat itu jatuh ke dalam bakinya. Namun dia tak merasakan apa-apa selain teriakan laki-laki dewasa mendominasi riuhnya rumah, lelaki itu tepat di sebelah Raja. Raja membuka mata kemudian menoleh curiga.
Jangan-jangan, Papa kena!
“Collins!” seru laki-laki dewasa itu saat isi kaleng cat tumpah mengenai kepalanya, kacamatanya pun terbenam dalam cat. Raja tertawa lalu berjalan ke tempat yang lebih aman. Dia mendongak menatap ke lantai dua dan melihat seorang anak laki-laki menggaruk-garuk kepala.
“Papa, Olin gak sengaja. Tadi lagi jalan dan gak sengaja nabrak cat milik Bang Aja.” Semburat penyesalan terlihat dari laki-laki kecil itu, melangkah turun tangga dan menghampiri laki-laki dewasa yang dipanggilnya Papa.
“Kalau kamu taruh benda apa-apa jangan di luar kamar, Ja,” peringat Papa. Raja bungkam dan pergi mencari lap. “Ketahuan adik kamu itu kalau jalan main seradak-seruduk kaya mamanya. Srikitilan, percis sekali.”
“Itu ngga sengaja, Pa,” bela Collins.
“Ngga sengaja sampai lima kali. Waktu itu kamu injak properti kesayangan Papa. Terus pas ada Pak Umar, kamu kepaduk karpet dan jatuh hingga Pak Umar terkena tumpahan air panas di celananya. Gimana gak kesal coba.”
“Ampun, Pa.”
Raja ketawa ngakak, dia kembali ke Papa dengan handuk di tangannya. Papa menerima.
“Olin, kalau sudah besar mau jadi apa?” tanya Raja tiba-tiba membuat suasana menjadi kikuk.
“Mau jadi astronot,” jawab Collins. Raja melirik Papa, lalu berjalan ke ruang tamu.
“Untung cita-citanya bukan mau jadi Papa. Kalau jadi Papa kamu bakalan kaya Papa,” tandasnya.
“Raja!” kesal Papa. Ada tawa Raja yang tersisa begitu Papa meneriakinya. Collins hampir menutup telinga.
“Soalnya cerewet, bawel, percis kaya kakek,” tambah Raja. Collins terbahak menahan perutnya. Setelah ini, Papa pun pergi ke arah toilet dengan meninggalkan dumelan dan bekas jejak di kakinya.
“Olin, tanggung jawab. Jangan lupa sampai bersih!” perintah Papa, detik itu juga Raja maupun Collins mengikuti gaya ucapan Papa tanpa suara. Mereka begitu hapal sampai suara merdu Papa terngiang di kepala.
Collins akhirnya menjawab dengan nada tarzan hingga lantang.
“Siap komandan, Auuooo.”
Sepeninggalnya kejadian itu, Raja mulai menjauh, ia duduk di ruang tamu dengan beberapa berkas dan juga ditemani oleh susu jahe yang sudah tersedia di atas meja. Tenggelam dalam tugas-tugasnya yang menumpuk. Namun di tengah-tengah Raja fokus oleh sederet aktifitasnya, ada beberapa ingatan yang mengingatkannya tentang wanita bernama Shapira.
Setelah seminggu berlalu, Raja tak mendapatkan kabar dari perempuan bernama Shapira, sampai dua hari Raja di Bogor pun tak mendapatkan sama sekali berita tentang kelanjutan tantangan mereka. Raja tau, perempuan itu sedang mencari bukti-bukti terkait dirinya.
Bahkan Raja berpikir, kapan dia pernah bertemu dengan perempuan bernama Alexa. Dia benar-benar buntu, kegiatannya pun sangat padat dan tak pernah sekalipun berbicara dengan sembarang perempuan, kecuali dengan panitia perlombaan yang sering Raja ikuti. Selebihnya teman-teman Raja tulen berjenis kelamin laki-laki.
Sementara Alexa, dari penghuni fakultas mana, orang mana, anak siapa pun Raja tidak tau. Dan yang menarik perhatian Raja adalah sebab tantangan itu dimulai dari seorang perempuan bernama Shapira. Raja makin penasaran.
Raja membuka leptop dan mencari nama Shapira sesuai dengan nama asli, dia menemukan akun Acebook Shapira dan foto-fotonya. Perempuan itu ternyata berlatih taekwondo. Pantas wajah dan keprawakannya sangat ganas, tak ada kesan manis walau namanya cukup manis di dengar. Rambut Shapira yang dikuncir kuda pun seperti sapu ijuk yang menusuk-nusuk.
Semakin lama Raja stalking Shapira, semakin Raja bertanya-tanya. Di sana tidak ada status yang terkesan menurutnya. Semua tak menarik. Kecuali dengan salah satu foto berlatar belakang pemakaman yang terbentang, rumput-rumput menghiasi, burung-burung beterbangan, langitnya terlihat gelap, mendung dan berawan. Captionnya:
There.
Tulisannya begitu singkat, padat. Bahkan Raja sempat berpikir siapa yang ada di sana? Di pemakaman itu. Raja terpejam, menghilangkan penat yang sejak tadi terkurung di kepalanya.
“Serasa banyak beban aja, Bang. Tuh ada Bang Eksa di depan,” kejut Collins. Raja tersentak saking menghayati suasana sepinya. Matanya melihat kehadiran Collins yang sedang membawa pel kotor bewarna kuning terang.
“Ngapain si montir dateng kemari?”
“Mana Olin tau.”
“Kok gak disuruh masuk aja.”
“Mau langsung pergi lagi ke tempat kerja.” Raja mendengus, bangkit dari duduk sembari menutup leptopnya. Dia beralih ke pintu depan.
“Kenapa, Sa,” kata Raja ogah-ogahan bersandar pada pintu, wajahnya lesu jika melihat Eksa datang ke tempatnya.
Sudah dua atau tiga kali Raja menjadi korban, tentu Raja bukanlah satu-satunya. Dan Eksa sendiri adalah sepupu dekat Raja yang mau tidak mau harus Raja akui. Mereka hanya perlu pendekatan yang ujung-ujungnya tak pernah Raja sukai, walau ayah Eksa sendiri notabennya adalah abang dari mamanya Raja.
“Mau minjem mobil,” katanya nyengir. “Sebagai ganti, gue service kalo masuk Icu.” Raja menatap sebentar, lalu mendengus lagi.
“Cewe mana lagi yang mau lo kadalin?”
“Ngga, bukan soal cewe, tapi bisnis.” Eksa nyengir lebar, menarik turunkan alisnya nakal.
“Gue gak mau tau besok selasa balikin, gue mau ke Bogor buat final banding kasus.”
“Sip, bisa diatur.”
Raja pun tanpa mengeluh berjalan ke dalam, mengambil kunci mobilnya yang ada di dalam laci. Sambil mencari, Raja memikirkan sebuah kekacauan yang pernah terjadi pada dua minggu lalu. Saat pagi-pagi di akhir pekannya datang menemui Eksa untuk menjemput mobilnya di sebuah hotel ibu kota.
Yang membuat Raja kesal adalah laki-laki itu sedang berada di posisi menyebalkan. Harusnya Raja tak melihat hal perkawinan di usia muda begini, walau seks dan hidup tak bisa dihindari di mana pun dan kapan pun.
Raja berdiri memandang Eksa begitu tangannya sudah memegang kunci, kedua matanya menyipit seperti gerakan singa yang ingin membunuh.
“Kenapa?” Pertanyaan singkat itu terlontar dari mulut Eksa.
“Gue mau tanya, waktu gue ambil mobil di Daily Inn Hotel, lo berdua sama siapa?” Kini Eksa yang menyipit, mengerut tipis dengan alis tebalnya seperti ulat bulu panjang yang menyatu.
“Ada apa? Kok tumben lo tanya?”
Raja langsung mengingat hari kesialannya itu, di mana perempuan dalam selimut terkejut saat kehadiran Raja yang sedang bertelponan dengan Papa, sementara Eksa sudah keluar beberapa menit setelah perempuan itu terbangun.
“Shit!” kesal Raja sambil menjenggut rambutnya.
“Namanya, Sa.”
“Kalau gak salah Alexa. Ada apa sih!” Begitu Eksa menjawab, Raja menendang pintu rumah yang terbuat dari kayu jati. Suara dentuman keras terdengar ke seluruh ruangan. Sampai papa berteriak dari pintu toilet.
“Yuk ikut gue, tanggung jawab!” seru Raja berjalan ke garasi. Eksa terbengong-bengong saat melihat saudaranya seperti sedang kesurupan. Dengan mengangkat bahu, Eksa mengintili Raja.
***
Dalam hiruk pikuknya Jakarta, Raja menjadi satu-satunya orang yang tergesa-gesa. Dia sudah melibatkan tukang programmer hotel untuk mencari rekaman yang terjadi beberapa pekan lalu. Dalam artian, Raja melobi pihak Hotel Daily Inn untuk bekerja sama dengannya. Kalau bukan karena Raja pintar bicara, Raja tak mungkin mendapatkan kesempatan ini dengan mudah.
“Buat apaan sih?” tanya Eksa.
“Buat jadi barang bukti sama orang yang udah nuduh gue. Lagian kalau mau cari masalah jangan bawa-bawa gue, Sa.”
“Lho, gue sendiri gak tau masalahnya apa.”
“Masalah lo sama Alexa, gue terseret juga. Lo ketemu di mana sama cewe itu?”
“Di pestanya kakek. Udahlah, Ja, ini gak penting. Cabut yuk, gue mau pergi nih.”
“Menurut lo ini gak penting. Buat gue ini lebih penting dari nyawa lo. Gila lo ya, berani banget buat malu keluarga. Martabat kake mau ditaruh di mana setelah lo hancurin.” Eksa nyengir dan tertawa. Spontan Raja menoyor kepalanya geram.
“Santai. Gue bakal pergi ke Cirensester, tapi mampir dulu ke Coswolds.”
“Bagus. Biar gue tenang.”
“Bisnis gue lagi menunggu, jangan kangen, ya,” bisik Eksa.
Raja tak menggubris, lebih baik dia menunggu laki-laki di hadapannya mengkopi menit kedatangan Eksa maupun dirinya ke hotel dengan flashdisk. Begitu selesai, Raja pamit dan tak lupa berterima kasih.
Setelahnya Raja pergi meninggalkan Eksa di parkiran hotel, dia langsung menancap gas menuju gedung fakultas bisnis bersama mobil yang dikendarainya tadi. Dia tak perlu lagi memberikan tumpangan ataupun kebaikan yang lainnya, karena puncak kemarahannya telah tiba.
“Permisi.”
Raja mencegah seorang laki-laki berseragam kantoran setelah tiba di sana. Laki-laki itu berhenti sebentar, lalu memandang Raja dengan wajah keheranan.
“Ada apa, ya?”
“Mahasiswa bernama Shapira Madany tau gak? Saya ada perlu.”
“Oh, Shapira. Terakhir kali gue lihat dia di gedung audit, acara seminar. Kayanya setelah itu dia pergi sama teman-temannya.”
“Kalau boleh tau pergi ke mana?”
“Gue engga tau. Omong-omong, lo Raja Fahzwa, ya?” tanya laki-laki itu. Raja mengerut tipis.
“Iya, betul.”
“Ternyata benar dugaan gue. Lo ketua duta mahasiswa yang ikut kompetisi debat komunisme di Bogor kemarin. Waktu itu gue ke sana juga buat jadi perwakilan lomba debat Ekonomi Kreatif.” Raja beroh.
“Lo seangkatannya Shapira, ya?” tanya Raja to the point.
“Yaps, lebih tepatnya sekelas.” Raja merogoh kantong bajunya dan mengeluarkan sebuah flashdisk dan memberikannya ke laki-laki itu.
“Tolong lo sampein ke Shapira kalau ketemu. Bilang dari Raja, dan kalau udah cek semuanya sampai detail, langsung kontek nomor yang tertera di note flashdisknya. Biar dia dapet pelajaran berharga dari gue.”
“Oh, oke.”
“Siapa nama lo?”
“Gue Erient.”
“Senang kenalan sama lo. Pamit, ya.” Raja tersenyum sumringah, keluar dari halaman gedung Bisnis dengan semangatnya membara. Mungkin ini kemenangannya yang mutlak.
ns 15.158.61.8da2