Kesempatan untuk berbicara empat mata bersama orang yang Shapira suka tentu bukanlah perkara mudah. Shapira mendapatkan pesan singkat dari Erient, saat Shapira bersama teman-temannya sedang mencicipi bakso langganan Miko yang terletak di sekitar Sarinah.
Awalnya mereka berkeliling memasuki mall Sarinah untuk membeli wayang kulit keinginan Alexa. Katanya ingin menghadiahi wayang untuk eyangnya, lalu di sambung dengan jalan-jalan bersama.
Setelah mereka puas berkeliling, mereka mengunjungi café di sampingnya. Menurut Shapira makanan di sana hanya cukup untuk mengganjal perut, dengan cemilan ringan yang benar-benar tak berfaedah, apalagi jika melihat Alexa memakan salad, rasanya cacing-cacing di perut Shapira mau mogok makan.
Alhasil, Miko mengusulkan untuk makanan yang berlemak tentunya mengenyangkan dan membahagiakan perut lahir batin.
“Gimana?” tanya Miko berusaha menguatkan Shapira.
Wajah Shapira bersemu merah di sela-sela memandangi layar laptop milik Mika, tatapannya tak sehangat saat disapa Erient, lesu, tak bergairah. Padahal sehari sebelum Shapira bertemu Erient, orang-orang yang tak dikenalnya pun main dia sapa, disenyumin dan diajak berbicara.
Bahkan sampai Miko menariknya untuk ikut pulang pun Shapira berteriak di jendela kaca mobil dengan bahagia. Katanya seratus persen Erient akan menembaknya pakai muse atau kyupit.
Kini setelah bertemu Erient empat mata, Erient memberikan sebuah flashdisk kecil dengan menyebutkan nama Raja di sela-sela mereka berpandangan. Dengan begitu Shapira melunturkan senyum termanisnya selama sepanjang mereka bercengkrama.
“Katanya kalau lo udah cek dengan detail, lo bisa langsung kontak nomor di dalam flashdisk.”
“Nomor?”
“Nomornya Raja. Katanya lo mau dikasih pelajaran. Emang lo les sama Raja, ya? Sampai mau dikasih pelajaran berharga.”
Begitu Shapira mengecek seluruh isinya bersama-sama ketiga sahabatnya di atap, wajah Shapira mendadak loyo. Seakan rambutnya mengeluarkan uban putih, kedua matanya tak pernah semenyesal ini.
“Gimana?”
Untuk kedua kalinya Miko memecahkan keheningan di antara mereka. Kepalanya melirik mereka bertiga bergantian yang sama-sama masih terkejut.
“Mau gue lobi si Raja atau tonjok aja?”
“Jangan!” seru Mika menutup laptopnya buru-buru. Shapira tetap menatap lurus ke arah laptop yang tertutup tanpa berkedip. “Gue gak mau di sini ada kekerasan. Kalau menurut gue, ini cuma editannya si Raja.”
“Tapi benar, itu baju yang aku pakai waktu itu, Mika,” sahut Alexa. Mika cemberut, lalu melirik Shapira yang masih tenggelam dalam lamunannya.
“Baju Raja pun sama. Aku pikir Raja yang melakukan hal tak senonoh, tapi ternyata Raja berkunjung pagi-pagi ke hotel dan saat aku bangun, yang aku lihat cuma wajah Raja. Bukan laki-laki yang memakai topeng tadi. Raja dijebak.”
“Ini gak bisa dibiarin!” kesal Mika mengguncangkan bahu Shapira dengan keras.
Namun yang membuat tercengang adalah Shapira membuka laptop Mika kembali dan membuka note dalam flashdisk milik Raja. Dia akan menerima pelajaran apa pun yang Raja katakan melalui Erient.
“Lo!” seru Mika ingin merebut laptopnya.
“Udah!” sela Miko menahan Mika. Miko menggeleng dan menaruh telunjuk kanannya di mulut. “Gak perlu takut sama kenyataan.”
“Tapi, Ko.”
“Shapira udah mikirin masak-masak buat hal ini sejak awal. Kalau mau, lo semangatin dia, jangan memperkeruh keadaannya. Gak segampang itu untuk bilang selama setahun jadi babu. Itu pun karena ada alesannya,” bijak Miko.
Alexa berhambur memeluk tubuh Shapira.
“Shapira, maaf kalau kamu jadi ikut campur sama masalah aku. Tapi aku gak mau kamu malah terjebak. Biar aku yang jadi babunya, ya, Pir.”
Shapira tersenyum, dia menggeleng pelan sembari memasukan nomor digit yang tertera di laptop Mika. Shapira berdiri, melangkah menjauhi ketiganya untuk menelpon ke nomor tersebut.
“Halo?”
Suara dari sebrang sana terdengar begitu telinga Shapira menempel pada layar. Shapira menahan napas dan menatap langit.
“Ini gue, Shapira.”
“Oh! Udah liat hasilnya?”
“Udah. Jadi kapan gue dapet pelajaran?”
Dari sebrang sana terdengar tawa yang memekakan telinga. Shapira tau, lelaki itu menang telak, juga senang mendengar kabar.
“Dari detik lo selesai nonton video itu. Tapi gue belum punya kerjaan buat lo untuk sekarang ini.”
“Terus kapan ada kerjaan?”
“Selasa depan gue tunggu di gedung Elektro.”
“Oke, baik.”
***
Shapira menggigit bibirnya tipis, sejak tadi matanya tak bisa diam memandang ke mulut Ibu Pertiwi yang sedang membacakan hasil tugas esensi produktif pada dua minggu lalu.
“Andromeda 78, Barbara Loan 70, Baron Haikal 72, Deriel Manulang 80.” Bu Pertiwi berhenti, lalu melirik ke sekitar saat suara tepuk tangan keras dari sudut kelas menghancurkan konsentrasinya. Shapira mendengus, dia membatin sejak tadi. Takut-takut hasilnya mendadak turun
Bu Pertiwi melanjutkan lagi, membuat mereka semua diam dengan posisi tegang. “Deriska Angelina 90, Dhani Sinambung 89, Duta Hadi 70, Erient Delfara 95, Ivan Adnan 77, Jeremy Angkasa 80, Julian kristof 88, Shapira Madany 96…”
Shapira mengepalkan kedua tangannya, bersorak dan tersenyum bangga atas pencapaiannya dalam membuat tugas walau hampir dinyatakan tak selamat. Setelahnya Shapira diam, kikuk ditatap oleh Ibu Pertiwi dari depan.
“Lim Andrew 80, Monika 75, Rio Simanda 65, Sania Gerald 70, dan Zefriansyah 86… Baik! Terima kasih yang sudah mengirimkan hasil karya tanpa menyontek dari internet. Untuk nama yang tidak saya sebutkan bisa menghadap ke saya. Sampai jumpa minggu depan.”
Bu Pertiwi bangkit meninggalkan kelas dengan anggun tanpa suara. Setelah menghilang dari mulut pintu, teriakan dan tepuk tangan terdengar dari dalam kelas, mereka bersorak atas nilai masing-masing.
Sementara Shapira mendapatkan selamat dari beberapa laki-laki, begitupun dari Erient walau nilai mereka selisih satu angka. Erient tetap memberikannya selamat. Shapira tentu sangat beruntung.
Ponsel Shapira berdering, dia langsung lemas ketika tau yang memanggilnya bukanlah si Miko, Mika ataupun Alexa. Yang tertera dalam ponselnya tentu bosnya, alias majikan baru Shapira.
“Cepetan!” bentak Raja.
Shapira berlari tergopoh-gopoh membawa peralatan dan tas ransel Raja untuk memasuki mobil. Raja langsung masuk ke mobilnya.
“Ja, mau ke mana sih?” tanya Shapira di sela-sela menaruh tas milik Raja ke kursi penumpang, sementara dirinya duduk di sebelah Raja.
“Panggil gue Bos! Lo bisa bawa mobil gak?” tanya Raja. Shapira menggeleng.
“Kapan-kapan lo belajar sama temen lo buat bawa mobil. Hari ini gue mau ke Bogor. Final banding kasus.”
Shapira mengangguk dan mengambil ponselnya untuk mengirimkan pesan ke Mika bahwa dirinya akan pergi ke Bogor bersama Raja. Namun ponsel Shapira mendadak berbunyi, dia mendapatkan pesan dari bosnya sendiri.
Shapira melirik.
“Raj.., Bos! Kok kirim pesan. Gue udah di sini.”
“Baca dulu, baru komen!” kata Raja mengeluarkan mobil dari pintu masuk fakultasnya. Dia menaruh ponsel ke atas dasbord. Shapira pun membuka pesan dari Raja dan seketika melotot.
“Bos ini jadwal harian Bos selama sebulan?” Raja mengangguk.
“Kalau ada yang kontak dan telpon dari nomor yang gak lo kenal, angkat aja. Gue udah pake nomor lo buat gue lampirin jadi asisten baru gue.” Dengan berat hati Shapira menelan salivanya bulat-bulat.
Shapira tak menyangka jika keseharian Raja si mahasiswa Elektro. Aktifitasnya lebih padat ketimang fakultas Shapira yang berkutat pada bidang kertas-kertas dan catatan.
Raja pun cowo sibuk yang mendapatkan peran penting dalam fakultas Elektro, karena jabatannya ternyata bukan hanya mahasiswa berprestasi, tapi ketua duta diseluruh bidang fakultas. Yang membuat Shapira melongo adalah jadwal kontingensi Raja yang memakan waktu Shapira dalam menimba ilmu.
“Ribet banget gila jadwal lo. Gak bisa rampingin apa.”
“Gak perlu ngeluh, cukup jadi babu. Jangan lupa ke mana pun gue pergi harus ada dokumentasi foto gue, nanti kirim ke gue lewat email,” kata Raja membuat Shapira bungkam.
Selama di perjalanan Shapira tidur hingga dering ponselnya tiba-tiba memecahkan keheningan. Alhasil Shapira terjaga dan mencari ponselnya yang sejak tadi digenggamnya kuat-kuat.
“Halo?” sapa Shapira buru-buru, melirik nomor kantor tak dikenal.
“Iya saya asistennya. Jadwal kosong? Sebentar ya, Bu.” Shapira menekan tombol kembali pada ponsel dan mencari pesan dari Raja untuk mengecek jadwal harian Raja. Mata Shapira mengabsen satu persatu.
“Kebetulan hari sabtu ini kosong, Bu.”
Shapira melirik wajah Raja yang masih sibuk menyetir mobil, lalu ia beralih menoleh ke kaca jendela. Di sebelahnya telah terhampar lapangan luas khusus mobil. Mereka telah sampai pada tujuan.
Shapira akhirnya sadar, mereka harus turun dari mobil. Raja dalam diam mematikan mesin mobil, membuka pintu dan pergi lenggang. Begitupun Shapira keluar dari dalam mobil dengan tergesa-gesa.
Begitu mereka di luar Raja berbalik badan, dengan entengnya melempar kunci mobil hingga Shapira tersentak.
“Ambil barang-barang yang gue butuhin dan pergi ke lantai dua.”
Lalu Raja dengan seringan kapas berjalan ke gedung kementrian Bogor. Laki-laki itu bersalaman pada banyak orang yang juga turut sampai di sana. Shapira menurut, ia membuka pintu penumpang mobil Raja.
“Eh, iya maaf, Bu. Di seminar Spirit motivasi? Iya, bisa.” Shapira mengambil barang-barang Raja. Lalu mengunci mobil.
“Oh, negosiasi. Negosiasi apa ya, Bu? Hah? Bayaran. Oh iya, iya. Lewat pesan saja ya, Bu. Baik, selamat siang.”
Shapira menghela napas sumbang dengan merutuki dirinya saat ini. Menyayangkan betapa mulutnya kelu menghadapi satu permintaan seorang sekertaris kantor.
Padahal hanya bertanya jadwal Raja yang kosong untuk menjadi bintang tamu di acara seminar, apalagi hingga sekertaris kantor itu sendiri meminta negosiasi harga tarif Raja. Shapira berjalan lurus membawa barang-barang Raja dengan menggerutu.
“Sial, nih! Sebeken apa sih Raja, bisa sampai orang kantoran minta Raja jadi bintang tamu. Dipikir dia artis kali ya,” gumam Shapira.
“Maaf permisi, Dek. Anda tidak boleh memasuki kawasan resmi ini tanpa seizinnya.” Shapira menatap satpam yang sedang mencegahnya untuk masuk, Shapira melirik ke kaca dan tak mendapatkan seorang Raja di sana.
“Tapi pak saya asistennya Raja Fahzwa yang ikutan lomba. Ini barang-barangnya.”
“Oh, mahasiswa. Yasudah masuk, lomba akan diselenggarakan beberapa menit lagi.”
“Iya, Pak.”
Begitu masuk, Shapira mendapatkan respon yang sama, karena dirinya terlihat sendirian menenteng barang bawaan Raja, membuat dirinya ditegor oleh satpam yang bertugas di dalam. Untuk kedua kalinya Shapira mengatakan dirinya asisten pribadi Raja Fahzwa tanpa malu.
“Ketat amat sih nih tempat,” dumel Shapira setelah memasuki lift.
Keluar dari lift, Shapira mendapatkan tatapan dari sejumlah peserta lomba, beberapa dari mereka bergerombol ataupun sedang berdiskusi ringan. Shapira melewati mereka dengan melongokan kepalanya ke arah mana pun untuk mencari kepala lonjong Raja.
Ternyata Raja sedang berbicara dengan seorang laki-laki tua, Shapira menghampiri Raja dan menoelnya.
“Bos, ini almamaternya,” bisik Shapira menyerahkan almamater. Raja melirik dan segera memakainya.
“Lo kenapa bawa barang gue segini banyaknya?” balik Raja berbisik. Matanya melotot.
“Katanya tadi ambil barang-barang.”
“Tapikan lo bisa cek isinya tanpa dibawa semua. Gue juga gak perlu laptop. Ini lomba debat, bukan praktik! Makanya liat jadwal gue, bisa baca gak sih!” Shapira menunduk.
“Yaudah, lo bawa selama gue lomba. Awas ketinggalan!” katanya.
Shapira mengangguk pelan, batinnya merutuki kesialannya. Untuk pertama kalinya Shapira diam tanpa membalas bentakan dari seseorang, batinnya berkecamuk.
“Sabar Shapira, ini permulaan,” katanya mengelus dada.
Di samping mereka berdiri, terdapat sebuah pintu yang cukup besar, terbuka lebar, menampilkan aula kosong bersama bangku-bangku berjajar menghadap panggung. Di atas pintu masuk terlihat tulisan Yudhistira II dengan pahatan kayu jati yang klasik, cantik. Shapira menatap setiap sudut-sudut ruangan dengan takjub.
Selepas kayu jati itu dibuka lebar, seluruh peserta dan pengamat memasuki aula, disusul Raja dan Shapira ikut serta di belakangnya. Tak lama setelah MC berbasa-basi pembukaan, nama Raja dan beberapa rekan-rekan timnya dipanggil untuk memenuhi kursi di depan panggung, melawan dua universitas lainnya yang juga dipanggil. Raja berdiri di tengah kedua rekannya menghadap mikrofon hitam.
“Sumpah, ini gak ada jeda?” gumam Shapira setelah dia menyadari bahwa Raja tak latihan untuk berdialog sejak di dalam mobil atau semacam membawa kertas contekan. Shapira duduk di bangku paling terakhir dengan memeluk barang-barang Raja di pangkuannya.
“Sebelumnya, selamat siang. Terima kasih untuk peserta lomba yang sudah menempati kursi masing-masing. Dalam sidang lomba diskusi kali ini tema tetap sama, namun dalam artian cukup luas mengenai ideology yang terbentang dalam hal komunisme…
… Di mohon peserta lomba untuk menekan tombol jika ingin menjawab ataupun keberatan dengan argumen dari lawan peserta. Setiap tim mendapatkan waktu maksimal satu menit. Dan kali ini ada tiga sesi tahap penyeluruh yakni dua kali sesi argumen dan satu kali sesi kesimpulan mempertahankan jawaban. Maka sidang diskusi lomba sesi pertama, saya buka mulai dari regu A.”
Suara ketuk palu terdengar memenuhi ruangan, Shapira menatap lurus ke arah Raja yang cukup santai, laki-laki itu begitu tenang menjadi regu B.
Regu A memulai untuk membahas topik yang terkait.
“Menurut komunisme dapat disimpulkan bahwa berkembangnya individualism kapitalis merupakan sumber keadaan yang sebenar-benarnya makhluk hidup. Tentu karena itu hak milik individual tak harus diganti dengan milik kolektif. Sebagai pembanding dan pemerata individual lebih menguntungkan, jika saja kebersamaan dalam opini tidak akan terbentuk dalam hak komunal. Semisal, azas pelaksanaan tidak merata dan hak presentatif begitu minim. Hal ini didasari kekuasaan…,”
Regu Raja menekan tombol.
“Kami keberatan. Ini bukan soal sumber keadaan yang sebenar-benarnya makhluk hidup, tapi merupakan sumber penderitaan rakyat terutama kaum miskin. Oleh karena itu hak milik individual harus diganti dengan hak milik kolektif, individualism diganti sosialisme komunis. Jadi, sudah dapat dipastikan bahwa menurut komunisme, demokrasi individualis tidak ada yang ada, adalah hak komunal.”
Regu C ikut menekan tombol.
“Kami menyatakan setuju, karena Demokrasi untuk seluruh masyarakat sebagai suatu komunitas bukannya individualitas. Namun dalam masyarakat terdapat kelas-kelas yang saling berinteraksi secara dialektis, adanya kelas kapitalis dan kelas proletar atau kelas buruh.”
Regu A balas menekan tombol.
“Namun dalam kelas kapitalis senantiasa melakukan penindasan terhadap kelas buruh. Seharusnya kelas kapitalis harus dilenyapkan dan hal ini dapat dilakukan melalui suatu revolusi, kan? Dan karena itu konsep komunisme untuk melakukan perubahan terhadap struktur masyarakat tentu keadaan yang sebenar-benarnya. Tidak perlu dengan adanya penindasan, bukan.”
Shapira menutup telinga, pusing mendengar seruan tombol yang ditekan, seperti layaknya klakson mobil, begitu cempreng, penging. Apalagi isi dari pembahasan yang disampaikan oleh mereka tidaklah Shapira pahami. Cukup mendengarnya saja pusing kepala.
Dalam diskusi, seakan regu C sedang memihak regu Raja, terkadang regu A suka menjatuhkan regu Raja. Entah kenapa regu Raja mirip regu yang dipertahankan menjadi salah satu kenyataan. Bahwa sumber terkonkrit berada di sana.
“Minum!” ucap Raja saat dirinya berada di depan mata Shapira. Shapira pun berdiri dari duduknya dan mengeluarkan air mineral dari dalam tas.
Kompetisi pun telah berakhir beberapa menit yang lalu dengan hasil yang masih berada di tangan juri. Shapira sendiri tak yakin bisa tidur tenang karena jawaban dan juga argumen pedas dari tim Raja selalu membuat orang ternganga-nganga.
Walau Shapira tidak mengerti dengan apa yang mereka katakan, setidaknya Shapira bisa menilai bagaimana komponen dalam tim Raja terlihat hidup. Semua tim tentu terpacu dalam kompetisi. Persaingan begitu ketat.
“Lo kenapa gak minum yang udah disediain di atas mimbar sih, Bos?”
“Ngga apa-apa,” katanya berjalan meninggalkan Shapira, beberapa dari mereka pun keluar dari dalam ruangan.
“Itu juga kan air mineral, Bos.”
“Kalau lo ngerti minum dalam kompetisi, lo yakin nyuruh gue minum?”
“Tapi di mimbar mineral yang paling mahal tau.”
“Terserah mulut gue, bisa diem gak si mulut lo.” Shapira memberenggut, dia diam menunduk sambil mengikuti ke mana bosnya melangkah.
“Gue bisa mengurangi poin.”
“Kenapa?”
“Karena waktu berharga, Shapira.” Shapira beroh setelah tau maksud Raja.
Saat tiba di parkiran, Shapira menyerahkan kunci mobil pada Raja dan di saat itu pula mereka berpapasan dengan Erient, laki-laki yang Shapira suka. Erient memakai jas almamater bisnis dengan sepatu pantopel lancip. Menurut mata Shapira dia sangat rapi, dan ganteng dunia akhirat.
“Eh, Erient!” panggil Shapira.
Erient pun menoleh, menyipitkan pandangannya lalu menghampiri mereka. Bau mint tercium melalui indera hidung Shapira dari tubuh Erient, membuat perempuan itu mirip anjing penjaga, mengendus-endus.
“Eh, Shapira, Raja.” Raja yang disapa hanya mengangguk datar.
“Lo masuk final lomba Ekonomi Kreatif?” tanya Shapira. Erient mengangkat bahu dan nyengir.
“Iya, doain ya biar gue menang. Kan ini juga demi fakultas, lagian seharusnya yang lomba itu lo, Pir.”
“Gue lagi banyak kerjaan, lagipula gue kan harus siaran juga sama si Lim, dan nemenin dia,” kata Shapira melirik Raja. Erient manggut-manggut.
“Omong-omong kalian pacaran, ya?”
“Ah, engga!” sergah Shapira menepis udara. “Gue sama Raja engga pacaran.” Raja yang mendengar namanya disebut langsung berdehem keras-keras.
“Maksud gue, gue sama Bos Raja engga pacaran.” Raja mengangguk-angguk sembari tersenyum, sementara Erient mengerutkan kening.
“Oh gitu. Kok lo manggilnya bos?”
“Dia asisten gue. Erient, gue duluan ya. Pira! kalo mau pulangnya bareng, cepetan. Gue gak ada waktu,” sergah Raja buru-buru berjalan memunggungi mereka.
“Ah iya, Bos!” teriak Shapira kikuk. Erient hanya diam memandangi.
“Gue duluan ya, Ri. Bos gue nanti ngamuk. Jangan lupa semangat! Gue dukung lo, kok,” kata Shapira menyemangati. Erient memberikan jempol setelah Shapira berbalik lari mengikuti Raja. Wajahnya hanya datar tanpa senyum.
Shapira duduk di sebelah Raja dengan napas memburu, kedua tangannya menaruh barang-barang Raja ke kursi penumpang.
Raja melirik. “Kalo ada orang yang lo kenal kaya tadi jangan main teriak-teriak aja! Lo kira tempat parkir resmi kaya gini hutan belantara. Gak perlu sok kenal dan basa-basi kaya tadi, waktu gue lebih berharga dibanding buat ngobrol ngga jelas,” semprot Raja. Shapira mendengus.
“Iya, ya, Bos,” katanya malas.
“Jangan iya-iya aja, laksanain.”
“Siap Bos.” Raja memutar haluan mobilnya ke badan jalan, lalu mereka pulang ke Jakarta.
Semenjak Shapira menjadi asisten Raja pagi tadi, Shapira merasa begitu berat menjalani aktivitasnya, bagaikan punuk unta yang tak bisa unta peluk. Tak pernah bisa diduga-duga, kini Shapira mendapatkan mimpi terburuk selama setahun hidupnya berada di samping Raja.
Karena taruhan, Shapira mendapatkan karma.
*
ns 15.158.61.8da2