“astaghfirullah itu syira?”
Air mata ummah luruh melihat kondisi nya. Perlahan ummah mendekati ranjang syira, tangannya terulur mengusap puncak kepalanya. Merasakan ada pergerakan tangan yang menyentuh kepalanya. “Ibu..” ucapnya lirih
“emmm.. ini ummah aisha nak.” Sontak Syira kaget, meraba-raba mencoba meraih tangan ummah. Ummah aisha yang tau maksud Syira mengulurkan tangan, diraihnya tangan Syira. Syira mencium punggung tangan ummah dengan takzim.
“Gus Faz bagaimana keadaannya Ummah?”
“Faz sekarang jauh lebih baik Nduk, tinggal pemulihan saja. Beruntung ada manusia berhati malaikat yang rela mendonorkan korea matanya. Hanya saja ia tidak mau menyebutkan identitas nya. Padahal ummah ingin sekali berterima kasih secara langsung kepadanya. Tapi sepertinya belum bisa, ummah hanya bisa mendoakan Semoga orang itu selalu dilimpahkan kebahagian selama hidupnya.” Doa ummah tulus. “aamiin” jawab Syira lirih. Tersadar dengan perban yang melekat pada mata Syira, membuat ummah bertanya
“mata kamu kenapa Nduk?” mengelus kepala nya dengan penuh cinta
“ini .. ini” syira bingung akan mengatakan yang sebenarnya atau tidak, nada yang melihat sahabatnya kebingungan mengambil alih untuk menjawab “maaf sebelumnya ummah, pendonor yang ummah cari sekarang ada di depan ummah”
“maksudnya ?” tanya ummah dengan bingung. Syira hanya meremas semua jarinya. Melihat putrinya ketakutan lantas Ibu Zara mendekatinya, mengusap bahu sang putri yang sedikit bergetar.
“ngapunten bu Nyai, sebenarnya yang menjadi pendonor untuk putra bu Nyai adalah putri saya Syira” ungkap ibu zara meneteskan air mata. Syira menggenggam tangan ibu zara yang berada di bahunya.
Mendengar penuturan Ibu Zara, kaki ummah Aisha melemas, tak kuasa menahan, badannya terhuyung jatuh. Untung nya sang suami Kyai Emir dengan sigap menangkap badan sang istri.
Apa yang aku dengar tak salah ? Syira ? kenapa dia ? pertanyaan itulah yang berputar di dalam kepala
“ummah abah” panggil Syira dengan lembut. Mendengar panggilan Syira, tangis Ummah pecah. Di rengkuhnya Syira kedalam pelukannya, Syira membalas pelukan itu.
“nduk kenapa kamu lakukan semua ini Nduk? Kenapa Nduk?”
“Gus Faz mengalami kebutaan gara – gara menolong Syira ummah. Jalan hidup Gus Faz masih Panjang, syira tidak sampai hati membiarkan Gus Faz dalam kebutaan ummah.”
“lalu bagaimana nanti nya dengan kamu Nduk?”
“Syira sudah di vonis lumpuh ummah, dan juga Syira mengalami cedera otak traumatic yang kemungkinan besar beberapa fungsi tubuh Syira mengalami penurunan. Harapan Syira sudah tidak banyak ummah, maka dari itu Syira mendonorkan kedua kornea mata untuk Gus Faz. Dengan harapan beliau bisa pulih seperti sedia kala” ucap Syira meneteskan air mata. Begitu juga dengan Ayah , Ibu Syira yang tak kuasa mendengar penuturan dari sang putri. Ibu Zara hanya bisa menangis dalam pelukan Ayah Abi.
“istighfar Nduk, kelahiran, kematian, jodoh sudah di atur oleh yang Maha Kuasa. Percayalah kamu pasti akan sembuh” ucap Kyai emir memberikan semangat
“aaminn” lirih Syira.
“Nduk, boleh ummah tanya?”
“silahkan ummah”
“apakah kamu memiliki perasaan untuk putra ummah?”
Deg!
Kaget dengan apa yang di tanyakan ummah Aisha. Syira bingung harus menjawabnya dengan apa. Syira menarik nafas dengan Panjang “sebelumnya aku telah dengan lancang melangitkan nama seseorang di sepertiga malam. Kecerdasannya , ketegasannya dalam memimpin membuatku semakin mengaguminya. Ternyata Allah yang Maha Baik mendengar doaku. Sebelum kecelakaan ini terjadi beliau mengutarakan niat baiknya bertemu orang tua ku untuk mengkhitbah. Naas nya takdir sepertinya tidak berpihak kepada kami, dan kecelakaan ini terjadi. Dengan keadaanku sekarang yang seperti ini, rasanya aku sudah tidak pantas bersanding dengan beliau. Maka dari itu biarlah kornea mataku saja yang mengiringi kehidupanya.” jawab Syira menahan sesak di dada
Deg!
Ibu zara yang tak kuasa lagi mendengarkan perkataan sang putri sontak memeluknya dengan erat. Mendapatkan pelukan dari sang Ibu, air mata yang tadi selalu ditahan oleh Syira seketika luruh. “sungguh aku sangat bangga menjadi seorang ibu yang memiliki putri berhati malaikat seperti kamu Nduk. Semoga Allah memberikan kamu kesembuhan dan kebahagian” ucapnya seraya membelai lembut kepala sang putri
“itu arti nya kamu juga memiliki rasa untuk putra ku Nduk?” tanya ummah Aisha memastikan. Syira hanya bisa mengangguk pelan “tapi sekarang aku tidak bisa mendampingi beliau ummah. Syira tidak pantas”
Ddrrtt!
Ddrrt!
Suara ponsel Kyai Emir mengalihkan atensi pembicaraan mereka. Dengan sigap menjawab panggilan telepon tersebut. Senyum terbit di wajah Kyai Emir mendengarkan penjelasan dari lawan biacaranya di seberang. Setelah menutup panggilan “ummah, Faz sudah sadar. Kita harus kembali kesana” suara Kyai Emir mengiterupsi
Ummah mengangguk “Nduk Syira, Bu Zara , Nada. Kami pamit ke ruangan Faz sebentar, nanti kami akan kesini lagi”
“ummah, bisakah Syira minta satu hal?”
“apa Nduk?”
“tolong jangan kasih tau apapun kepada Gus Faz perihal siapa yang mendonorkan kornea mata untuk beliau” pinta Syira dengan terus menunduk
“maaf Nduk, ummah tidak bisa. Faz wajib tau siapa malaikat yang telah menolongnya”
Syira hanya bisa menghela nafasnya kasar, tak cukup punya keberanian untuk membantah perkataan dari ummah Aisha “baiklah ummah”
“kami permisi dulu. Assalamualaikum” ucap kyai emir.
“waalaikumsalam”
Kyai Emir besserta istri berjalan meninggalkan ruang rawat Syira menuju ruang rawang sang putra tercinta. Sesampainya di depan pintu, mereka berhenti sejenak untuk mengumpulkan segala keberanian menghadapi sang putra.
“assalamualaikum” ucap mereka serempak
“waalaikumsalam” jawabnya
“ummah aisha mendekati sang putra “ Le, anakku..” dokter yang sedang memeriksa Faz pun bergeser memberikan bagi sang ibu untuk mendekatinya. Dipeluk putra semata wayangnya, air mata tak lagi bisa terbendung. Larut dalam suasana sendu sampai pada akhirnya mereka disadarkan dengan suara bariton dari kyai emir. “putraku, sekarang apa yang kamu rasakan Le?” umma Aisha melepas pelukannya dengan Gus Faz, bergantian dengan sang suami yang memeluk putranya.
“alhamdulillah puji syukur abah, ummah sekarang Faz sudah merasakan jauh lebih baik.”
“mohon maaf bapak ibu” dokter menyela pembicaraan mereka. “ini perbannya sudah bisa dibuka. Bolehkah perban nya kita buka sekarang”
“silahkan dokter”
Perlahan dokter dibantu dengan suster jaga membuka perban yang membalut mata Gus Faz. Tak lama semua perban telah terlepas dengan sempurna “tuan Faz coba perlahan dibuka mata nya” Gus Faz mengikuti intruksi dari dokter, lalu secara perlahan membuka kedua mata nya, mengerjap menyesuaikan cahaya di sekitarnya. Buram? Yaa itu lah awal yang dirasakan, tapi secara perlahan Gus Faz mulai bisa menangkap dengan jelas bayangan beberapa orang yang tengah berada di sekitarnya. Beribu kalimat syukur tak henti – hentinya Faz panjatkan. Bersyukur atas nikmat sehat yang masih Allah berikan kepadanya. Ummah dan abah yang berada di samping nya menunggu dengan penuh kecemasan.
ns 15.158.61.6da2