Malam purnama telah tiba. Malam yang dinantikan oleh kaum pendekar yang datang di kadipaten ini. Sinar bulan memancar terang di langit Kadipaten Parwata, menerangi pekarangan rumah Ki Pawaka yang megah. Udara malam terasa berat, penuh ketegangan, seakan ada badai yang siap meledak di tengah kerumunan pendekar-pendekar sakti dari seluruh penjuru Jawadwipa. Para tokoh besar dunia persilatan berkumpul di kediaman pendekar yang berjuluk Si Tangan Api itu, menunggu dengan kewaspadaan yang membekukan setiap kata yang keluar dari mulut mereka.
Pendopo rumah Ki Pawaka penuh sesak. Ketua-ketua padepokan ternama—Gunung Lawu, Gunung Bromo, Gunung Merapi, dan lainnya—telah hadir, masing-masing membawa beberapa murid terbaik mereka. Danar dan Savitri, bersama keponakan mereka, Sadawira, duduk di antara rombongan dari Padepokan Gunung Lawu. Meski mereka berusaha terlihat tenang, semua tahu bahwa ancaman yang ditunggu-tunggu sudah di depan mata.
Wajah-wajah serius menghiasi para pendekar di pendopo. Di balik keheningan itu, ada getaran yang tak terucap. Setiap orang tahu, ancaman yang datang ini bukan sekadar ancaman kosong. Ki Pawaka telah menerima kain putih bertuliskan ancaman dengan tinta darah, seperti para korban sebelumnya. Kali ini, para pendekar berkumpul, berharap bisa menghadapi si Dewa Maut, sosok misterius yang telah menebar teror dan mencabut nyawa pendekar-pendekar besar lainnya.
Di sudut ruangan, Sadawira duduk dengan gelisah, memandangi sekeliling dengan mata menyala-nyala. Meski Danar dan Savitri telah menasihatinya agar tidak terlalu mencolok, semangat mudanya sulit diredam. "Paman," bisiknya kepada Danar, "mengapa kita hanya duduk-duduk di sini? Jika si Dewa Maut datang, kita harus segera bertindak, tidak bisa hanya menunggu!"
Danar menoleh dengan tenang. "Kesabaran, Sadawira. Ini bukan pertempuran yang bisa dimenangkan dengan kegugupan. Kita di sini untuk mengamati, menunggu saat yang tepat."
Namun, Sadawira tetap gelisah. Pandangannya melintas ke arah Ki Pawaka, yang duduk di tengah pendopo dengan wajah angker namun penuh kewaspadaan. Di kiri kanannya, para pendekar ternama—Ketua Padepokan Gunung Bromo, Padepokan Gunung Merapi, dan tokoh-tokoh besar lainnya—membentuk lingkaran perlindungan. Mereka semua tahu, jika si Dewa Maut benar-benar datang, tak satu pun dari mereka boleh lengah.
Sementara itu, di balik jubah caping lebarnya, Mahesa diam-diam mengamati dari kejauhan, tak jauh dari pendopo. Dia memilih berdiri di tepi kerumunan, wajahnya setengah tertutup bayangan. Dendam dan hasrat untuk membalas dendam pada Danar membuat jantungnya berdebar-debar, namun kali ini ia tak berniat gegabah. "Aku akan menunggu sampai kekacauan terjadi," pikirnya. "Di tengah pertarungan, Danar akan lengah. Saat itulah aku akan menyerangnya. Aku tak peduli apakah si Dewa Maut datang atau tidak, aku hanya ingin darah Danar."
Seiring dengan menebalnya kabut malam, ketegangan di pendopo semakin terasa. Detik demi detik berlalu dengan perlahan, seakan waktu melambat. Setiap helaan napas terasa berat. Para pendekar merasakan sesuatu yang janggal di udara—seperti hawa kematian yang menyelimuti mereka.
Malam purnama terus menggantung di langit, menyoroti pekarangan rumah Ki Pawaka yang mewah dan luas. Meski ancaman besar menggantung di udara, suasana halaman rumahnya seakan menampilkan pesta besar. Sebuah panggung telah dibangun di tengah-tengah halaman, dan penari-penari cantik berlenggak-lenggok dengan anggun, mencoba menghibur para pendekar yang datang dari segala penjuru. Namun, di balik tawa dan percakapan ringan para hadirin, ada hawa ketegangan yang sangat terasa. Setiap orang di sana tahu bahwa malam ini bisa saja berubah menjadi malam berdarah.
Ki Pawaka duduk di kursi utama, tepat di depan panggung, memandangi keramaian itu dengan mata tajam namun penuh kebimbangan. Meski wajahnya tampak tenang, di dalam hatinya bergejolak perasaan yang sulit ia tahan. Di satu sisi, ia adalah pendekar yang disegani dan dihormati, Si Tangan Api, yang telah menaklukkan banyak lawan di medan pertempuran. Tapi malam ini, dengan hadirnya begitu banyak pendekar di rumahnya, ia merasa harga dirinya sebagai pendekar ternodai.
"Kenapa aku harus bergantung pada mereka?" pikirnya. "Apakah aku begitu pengecut sehingga membutuhkan perlindungan dari orang lain untuk menghadapi ancaman ini?"
Di dalam hati kecilnya, ada keinginan besar untuk lari dari semua ini, meninggalkan rumahnya, dan menghadapi si Dewa Maut seorang diri. Sebagai pendekar yang terhormat, melarikan diri dan menghadapi musuh di tempat tersembunyi adalah pilihan yang lebih mulia daripada terlihat seakan-akan memohon perlindungan dari para pendekar lain. Namun, nasib seakan mengikatnya di tempat ini. Harga diri dan posisinya sebagai saudagar kaya di Parwata juga menuntut agar dia tidak bisa begitu saja melarikan diri. Kehormatannya sebagai tuan rumah pun menahannya.
Ki Pawaka menyadari, di balik keramaian ini, setiap mata memperhatikannya. Para pendekar yang datang dari berbagai penjuru tentu juga mempertanyakan, "Mengapa seorang pendekar besar seperti Ki Pawaka membutuhkan begitu banyak orang untuk menghadapi ancaman ini?"
Sambil menyaksikan penari-penari yang terus menari, pikirannya melayang. Dewa Maut, sosok yang menebar ancaman ini, bukanlah musuh biasa. Siapa pun yang pernah menjadi sasaran ancaman Dewa Maut tak ada yang selamat. Bahkan, para pendekar terkuat, seperti Ki Jaladara dari Padepokan Gunung Muria, tewas mengenaskan bersama murid-muridnya. Ki Lugina dari Lembah Ular Hijau pun tak berdaya melawan keganasan pembunuh itu. Dan sekarang, giliran dirinya.
Sesekali beberapa tokoh muda persilatan naik panggung menampilkan jurus-jurus andalannya. Ada satu dua kali tanding saling uji ketangguhan antara pendekar-pendekar muda yang tentu saja sekedar pertarungan persahabatan tanpa saling melukai.
811Please respect copyright.PENANA8NFsXk3Jft
Tiba-tiba melesat ke atas panggung seorang lelaki paruh baya berambut panjang sebahu dengan wajah dipenuhi jambang lebat. Mengenakan ikat kepala warna merah. Wajahnya terlihat tegas dan seram. Usianya kira-kira empat puluhan tahun. Saat telah berdiri tegap di atas panggung lelaki paruh baya itu menjura ke arah para hadirin.
811Please respect copyright.PENANAddIJUUbjFc
“Perkenalan hamba yang hina ini. Namaku Mahanta, akulah orang yang dijuluki sebagai Dewa maut. Yang akan mencabut nyawa Ki pawaka.!” ujar orang itu dengan suara lantang.
Bagai disambar petir semua yang hadir tercengang. Beberapa hadirin menghunus pedangnya. Bahkan ada yang langsung melesat keatas panggung menyerang orang itu. Dengan tenang lelaki itu mengibaskan tangannya kirinya menghalau beberapa orang yang menyerangnya. 811Please respect copyright.PENANAS0fRp8cDg6
Tapi perbuatan dia itu meski terlihat santai tak menggunakan tenaga berelebihan tersebut mengakibatkan semua penyerangnya terhempas dengan mulut memuntahkan darah.
811Please respect copyright.PENANAeUxNQ5IFjx
“Dewa maut sudah hadir.”811Please respect copyright.PENANAIfqy5yBoDT
“Dewa maut sudah hadir.”811Please respect copyright.PENANAkJaM8Y35En
“Dewa Maut sudah hadir.”811Please respect copyright.PENANATZaGHVXpUT
Teriak beberapa orang bersahutan.811Please respect copyright.PENANAikT7t1CDDg
Suasana menjadi hiruk pikuk sekaligus penuh ketegangan.811Please respect copyright.PENANA5SnS9kUAOE
“Hiaaaaaaaat.”811Please respect copyright.PENANAaf2iwUu1r7
Sebuah pekikan keras dan tajam keluar dari mulut lelaki paruh baya yang mengaku sebagai Dewa Maut. Akibat dari pekikan itu sungguh mengerikan. Orang-orang dengan kemampuan silat seadanya langsung terkapar dengan mulut mengeluarkan darah. Beberapa orang lainnya terhuyung kemudian langsung duduk bersila memulihkan pernapasan dan aliran darah. Beberapa saling membantu dengan meletakan telapak tangan dipunggung rekannya untuk menyalurkan hawa murni dan tenaga dalam.811Please respect copyright.PENANAe0TQowalzH
Dari dalam rumah berhamburan para tokoh papan atas yang tidak terpengaruh dengan pekikan keras penuh tenaga dalam itu. Pekikan yang bisa menghancurkan jalan darah dan mengacaukan pernapasan bagi yang berkemampuan seadanya. Pekikan yang dikeluarkan oleh lelaki yang mengaku sebagai Dewa Maut.
811Please respect copyright.PENANAOGXSRcfh2R
Di tengah huru-hara pertempuran yang berlangsung, langit seolah menggelapkan suasana dengan nuansa kematian. Dewa Maut, sosok yang ditakuti, melesat dengan kecepatan luar biasa, menghadapi para pendekar papan atas yang sudah terlatih. Suara benturan antara tenaga dalam Dewa Maut dan serangan para pendekar menggelegar, seperti suara guntur di langit.
811Please respect copyright.PENANAj24yhSvlwP
Ki Wajrapani, ketua padepokan Gunung Lawu, mengangkat tongkatnya dengan tekad. Namun, serangan tangan Dewa Maut bak angin topan yang tak terduga. Saat kibasan tangan kanan Dewa Maut menghantam, Ki Wajrapani terhuyung, seolah semua kekuatannya lenyap dalam sekejap. Dia terhempas dan menghantam dinding rumah Ki Pawaka dengan keras, membuat batu bata pecah berterbangan.
811Please respect copyright.PENANA5nB8cYhRGx
"Kalian semua tidak bisa mengalahkanku!" teriak Dewa Maut, suaranya menggema, penuh kekuatan. Ki Wajrapani terkulai tidak berdaya, berjuang untuk bangkit, tetapi pukulan angin yang menyertai setiap serangan Dewa Maut membuatnya tak berdaya. Di sampingnya, Ki Sarwapalaka, ketua padepokan Gunung Bromo, mengalami nasib serupa. Dia terhempas ke panggung, tubuhnya terlempar jauh seperti boneka yang tak berdaya.
811Please respect copyright.PENANADRT5el0XoV
Di sisi lain, Ki Jayataka dari Gunung Merapi, bersama Pawaka, Danar, Savitri, dan Sadawira, berusaha keras mempertahankan diri. Palguna, pendekar belati sakti, menciptakan celah dengan sabetan pisau belatinya, yang berhasil melukai Dewa Maut. Namun, kemarahan Dewa Maut meledak. Sebuah pukulan telak melesat ke arah Palguna, dan seketika itu juga, dia terlempar jauh, menghantam dinding rumah Ki Pawaka sebelum jatuh tak berdaya. Demikian Savitri terhempas dengan keras ke tanah dengan memuntahkan darah segar.
811Please respect copyright.PENANAmEF4R3ABzp
Kekacauan semakin menjadi. Pendekar-pendekar ternama, seperti Respati, Sadewa, dan Radeya, berhasil menyentuh tubuh Dewa Maut dengan serangan mereka. Namun, balasan yang mereka terima sungguh mengerikan. Kibasan tangan Dewa Maut menghantam mereka satu per satu, mengakibatkan mereka terjatuh dengan luka parah. Angin dari jurus-jurusnya membuat para pendekar biasa yang berada jauh dari pertempuran terhuyung, bahkan ada yang terjatuh dengan darah memercik dari mulut mereka.
811Please respect copyright.PENANAWDiyEtIjPb
Suasana semakin mencekam. Jeritan dan pekikan kesakitan memenuhi udara, sementara Dewa Maut semakin menunjukkan kekuatannya. Namun, meski begitu, tubuh Dewa Maut juga mulai dipenuhi luka akibat serangan yang dilancarkan oleh para pendekar. Di tengah pertarungan yang seakan tak ada ujungnya, seorang sosok muncul dari belakang.
811Please respect copyright.PENANACDwrLxtkMo
Bidadari Hati Beku, wanita berbaju putih dengan cadar yang menutupi wajahnya, melesat dengan gerakan anggun. Dia seolah menjadi harapan di tengah kegelapan. Dengan kecepatan yang tak terduga, ia menyerang Dewa Maut, yang baru saja menghempaskan Ki Pawaka. Sabetan pedangnya seperti kilat, setiap gerakan seakan mengandung energi kemarahan dan keteguhan. Dewa Maut terdesak, tetapi masih mampu membalas dengan serangan mengerikan.
811Please respect copyright.PENANAkmZbTrWJAq
Danar dan Sadawira yang berusaha membantu Bidadari Hati Beku, terhempas oleh serangan Dewa Maut. Danar terlempar jauh hingga menghantam pagar rumah yang hancur lebur. Sadawira juga tak luput dari serangan, terjatuh dengan luka parah di samping Danar.
811Please respect copyright.PENANAHabbOC22Bd
Di sudut lain, Savitri berjuang untuk memulihkan diri, tetapi keadaan semakin genting.
Saat Danar berusaha bangkit, sosok mengenakan caping lebar mendekat.
“Danar masih ingat aku?” tanya lelaki itu sambil melepaskan capingnya.
“Mahesa... Syukurlah. Tolong keponakanku terluka parah!”
Mahesa tersenyum licik dan langsung menyabetkan pedangnya. Danar yang tidak menyangka Mahesa yang dianggapnya sebagai sahabat bahkan saudara akan melakukan hal sekeji itu. Dia tak berdaya untuk menghindar.
811Please respect copyright.PENANAiwNXGzYSFQ
Crashhhhh
Kepala Danar terpisah dari tubuhnya. Danar tewas ditangan Mahesa. Kemudian dengan santai Mahesa melesat dan mencari Savitri yang memang telah diketahuinya sedang bersemadi.
“Savitri tahan. Ini aku Mahesa. Aku akan menyalurkan tenaga dalamku untuk membantu memulihkan jalan darahmu.”
811Please respect copyright.PENANATwQKe4edTO
Segera Mahesa menempelkan telapak tangannya dipunggung Savitri. Kemudian mengalirkan tenaga dalamnya melalui telapak tangan itu ke tubuh wanita yang sangat dia idamkan selama ini.
811Please respect copyright.PENANAgjfiFHZcws
Bersambung
ns 18.68.41.175da2