Bidadari Hati beku teringat saat remaja dia begitu mengagumi seorang lelaki. Ya seorang lelaki muda tampan putra tertua Lugina ketua perguruan lembah hijau. Bidadari Hati Beku yang dulu dikenal dengan nama Andinii seorang gadis cantik. Sementara pemuda itu adalah pendekar muda yang gagah. Keduanya saling jatuh cinta.
Tapi pemuda itu digoda oleh seorang perempuan cantik lain bernama Iswari. Perempuan yang menurut Andini adalah perempuan murahan yang mau tidur dengan kekasihnya hingga perempuan itu hamil dan akhirnya mereka menikah.
Andini yang juga sudah tidur dan bercinta dengan pemuda itu karena sama-sama saling mencintai menjadi putus asa dan mencoba bunuh diri melompat ke sebuah jurang. Tapi dia tidak tewas di dalam jurang itu karena disana tinggal seorang nenek sakti yang telah lama mundur dari rimba persilatan.
Nenek itu menolong Andini dan mengangkatnya menjadi muridnya. Hingga akhirnya Andini kembali kedunia persilatan dengan nama Bidadari Hati Beku. Dia muncul dengan mengenakan cadar hingga tak ada yang mengenalinya sebagai Andini.
Cinta Bidadari hati Beku terhadap sang pemuda masih begitu dalam namun lelaki pujaannya telah terikat dengan wanita lain. Walau demikian Bidadari Hati Beku tetap berharap bisa kembali merebut cinta sang lelaki idaman yang telah memperkenalkannya dengan nikmatnya senggama. Sejak jatuh cinta hampir setiap bertemu mereka bersetubuh dan menikmati persetubuhan dengan dasar cinta itu. Mereka menunggu waktu untuk menikah saja. Sebelum akhirnya datang Iswari yang dipilih oleh sang pemuda sebagai istri karena telah hamil.
Bidadari hati Beku tidak bisa melupakan dendamnya kepada iswari yang merebut kekasih yang telah menikmati tubuhnya. Hingga akhirnya Anjani memutuskan untuk membunuh Iswari. Dengan menggunakan nama sebagai Bidadari Hati Beku Andini berhasil membunuh Iswari.
Tapi saat melepas cadar menemui sang kekasih dan berharap lelaki itu masih mencintainya ternyata Andinii harus kecewa. Lelaki pujaannya ternyata memiliki istri lain selain iswari. Andini sangat kecewa tapi demi ingin menjadi istri satu-satunya bagi sang lelaki kembali Andini membunuh istri sang lelaki yang kedua yang bernama Lestari.
Andini yang tergila-gila dengan sang lelaki berharap setelah kehilangan kedua istrinya sang lelaki akan kembali menjadi kekasihnya dan menjadikan dia istri satu-satunya. Tapi lagi-lagi Andini harus kecewa. Saat dia datang kembali ke perguruan Lembah ular hijau dia menemukan perguruan itu telah porak-poranda. Lugina, keluarga dan kerabatnya penghuni perguruan lembah Ular Hijau tewas dibantai oleh Dewa Maut. Termasuk lelaki idamannya ikut gugur. Maka tidak aneh jika Bidadari Hati Beku sangat mendendam kepada Dewa Maut yang telah membunuh kekasih hatinya.
Hingga Andini bertemu dengan Sadawira di rumah makan itu dan dia roboh diatas tubuh Sadawira yang pingsan Andini sangat terkejut karena wajah Sadawira begitu mirip dengan sang lelaki saat masih muda. Makanya dia memberi nama muridnya yang hilang ingatan itu dengan nama Sembara. Karena lelaki pujaannya itu bernama Sembara putra Lugina yang tewas ditangan Dewa Maut.572Please respect copyright.PENANAj6hxFnOACu
572Please respect copyright.PENANABxc1dVMrKl
****
Tak terasa, enam bulan sudah Telasih menjadi muridnya. Enam bulan yang mengubah segalanya. Awalnya dia hanyalah gadis malang yang datang dengan luka di hati. Kehamilan yang tak diinginkannya, hasil dari kekejian seorang pria yang tak dikenal, membuat Telasih merasa dirinya kotor, tak berharga. Namun, Dewa Maut tak pernah menatapnya dengan jijik. Baginya, Telasih adalah manusia yang layak dihormati.
Sore itu, angin gunung meniup lembut rambut Telasih yang tergerai saat dia berlatih di halaman kecil pondok gurunya. Meski gerakannya terbatas karena perutnya yang mulai membesar, matanya menunjukkan semangat yang membara.
“Aku hanya bisa mengajarkan ilmu pernapasan dulu, Telasih. Kau harus menjaga bayimu," kata Dewa Maut sambil menatapnya dengan mata yang penuh perhatian. Suaranya selalu tenang, namun tegas. "Ketika waktunya tiba, aku akan ajarkan yang lebih. Tapi untuk saat ini, fokuslah menjaga kesehatanmu."
Telasih menunduk hormat. "Terserah guru. Aku berterima kasih karena guru masih mau menerimaku sebagai murid, meski aku seorang gadis kotor..."
Perkataan itu memukul hati Dewa Maut. Wajahnya mengeras. "Kau bukan gadis kotor," ujarnya dengan suara yang lebih rendah. "Kehamilanmu bukanlah salahmu. Itu adalah luka yang dipaksakan padamu. Kau harus ingat itu."
Ada keheningan sesaat di antara mereka, hanya suara daun-daun yang bergesekan tertiup angin. Telasih menghela napas panjang, ada rasa syukur yang meluap di dalam dadanya. Ia masih ingat, saat pertama kali ia bercerita kepada gurunya tentang kejadian kelam itu. Mata Dewa Maut berkedip pelan, seperti hendak mengukur kesakitan yang telah Telasih alami. Namun, tidak ada penghakiman di sana.
Yang tidak Telasih sadari, dalam hati Dewa Maut berkecamuk rasa yang sulit ia kendalikan. Dalam kebisuannya, diam-diam Dewa Maut mulai jatuh hati. Bukan hanya pada kecantikan Telasih yang memesona, tapi juga pada ketangguhannya. Gadis ini tidak pernah menyerah meski dunia telah memperlakukannya dengan kejam. Hanya saja, Dewa Maut telah bersumpah untuk menjadikan Telasih muridnya. Dan sebagai guru, ia merasa tak pantas menodai hubungan itu dengan rasa cinta. Apalagi menjadikannya istri.
“Guruku," suara Telasih mengalihkan lamunan pria itu. "Kenapa guru tidak menikah?"
Pertanyaan itu mengejutkan Dewa Maut. Ia menatap gadis itu dengan pandangan penuh tanya. “Apa kau sudah lupa?” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Aku tidak punya tangan kiri dan kaki kananku. Pendekar macam apa yang menikah dalam keadaan cacat?”
Telasih menggeleng pelan. “Bukan itu yang penting, guru. Bagi seorang wanita, yang terpenting adalah hatinya, bukan tubuhnya.”
Sekali lagi, kata-kata Telasih menembus pertahanan hati Dewa Maut. Tapi ia hanya bisa memendamnya. Baginya, takdir sudah jelas—Telasih adalah muridnya. Tidak lebih. Meski di dalam hati kecilnya, ada harapan lain yang perlahan tumbuh, seperti benih yang mulai mencuat di tengah retakan batu.
Dewa Maut berbalik, menatap matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat. "Latihan selesai untuk hari ini, Telasih. Istirahatlah." Tanpa menoleh, ia melangkah pergi, meninggalkan Telasih yang terdiam di tempatnya.
Namun di antara bayang-bayang senja itu, rasa yang mereka pendam tumbuh semakin kuat—seperti api kecil yang siap berkobar kapan saja.
Dewa Maut termenung di tepi tebing, memandang lembah luas di bawah yang seolah tak berbatas. Angin gunung dingin membelai wajahnya yang mulai ditandai keriput, namun matanya yang tajam menyimpan pergulatan batin yang dalam. Kehamilan Telasih, yang kian hari kian membesar, menggetarkan hatinya, mengusik perasaan yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Ia mulai menyadari, rasa kasih yang tumbuh dalam dirinya bukan lagi sekadar perhatian seorang guru kepada murid. Lebih dari itu, ada dorongan yang lebih dalam, lebih primal.
"Apakah aku pantas untuknya?" pikirnya berulang kali. Bayangan tubuhnya yang cacat, lengan yang hilang, kaki yang harus digantikan tongkat kayu, membuatnya semakin ragu. Apakah Telasih, seorang perempuan muda yang cantik dan lembut, mau menerima seorang pria paruh baya sepertinya? Terlebih, seorang yang cacat, dengan luka-luka masa lalu yang mengerikan?
Setiap malam, Dewa Maut berbaring dalam kegelisahan. Usianya sudah 43 tahun, namun hasrat dalam dirinya tidak pernah pudar. Tubuhnya mungkin terluka, tapi api di dalam darahnya masih membara. Meski telah hidup terasing dari dunia, menekuni ilmu silat hingga menjadi pendekar tak tertandingi, dirinya tetaplah manusia. Hasrat birahi dan cinta, yang selama ini terpendam dalam hati yang terkunci, mulai bangkit melihat kecantikan dan kelembutan Telasih.
Berhari-hari perasaan itu menggerogoti kedamaian batinnya. Ia tak bisa berkonsentrasi penuh pada latihannya, dan pikirannya terus terpusat pada Telasih—senyum manisnya, matanya yang penuh kejujuran, dan cara ia menatap Dewa Maut dengan hormat. Tapi ia takut. Takut merusak hubungan mereka sebagai guru dan murid. Bagaimana jika ia mengungkapkan perasaannya, namun Telasih menolaknya? Bagaimana jika perempuan itu melihatnya sebagai pria yang lemah dan cacat?
Setiap kali ia mencoba tidur, masa lalunya kembali menghantui. Bayangan orang tuanya yang terbunuh karena kitab pusaka Dewa Angkara terus terngiang di benaknya. Kitab itu, yang semula hanya dianggap dongeng oleh para pendekar, ternyata nyata adanya. Dan orang tuanya, karena ketamakan dan ambisi para tokoh rimba persilatan, menjadi korban. Mereka dibantai tanpa belas kasihan, hanya karena mereka memegang sebagian kecil dari rahasia ilmu yang tersimpan di dalam kitab tersebut.
Dewa Maut masih ingat jelas hari itu, saat ia berusia lima tahun. Rumah mereka diserbu oleh para pendekar yang mata mereka berkilat-kilat penuh nafsu akan kekuasaan. Ayahnya, meski hanya menguasai sedikit dari ilmu pusaka itu, mencoba melindungi keluarganya. Namun para pendekar terlalu banyak, terlalu kuat. Ibu dan ayahnya akhirnya terbunuh di depan matanya sendiri, dan ia tak berdaya, hanya bisa menjerit memanggil nama mereka.
Beruntung, seorang pengasuh tua yang sangat setia berhasil menyelamatkannya. Nenek itu membawanya lari, jauh ke lembah tersembunyi, di mana ia mulai menempa dirinya dalam kesunyian. Di sanalah, selama 38 tahun, Dewa Maut belajar setiap halaman kitab pusaka Dewa Angkara, sebuah ilmu silat yang sangat langka dan rumit. Butuh ketekunan luar biasa dan pengorbanan tiada henti untuk menguasainya. Setiap hari, setiap detik, dipenuhi oleh latihan keras tanpa henti. Ilmu itu menguras tenaga dan pikiran, namun hanya dengan dedikasi total ilmu tersebut bisa dikuasai sepenuhnya. Hanya dengan cara inilah, ia berhasil melampaui apa yang bisa dilakukan oleh orang tuanya—yang hanya menguasai sebagian kecil dari ilmu itu.
Namun, apa gunanya semua ilmu silat dan kekuatan itu jika hatinya hampa? Sekuat apapun tubuhnya, hati seorang manusia tetaplah rapuh ketika berhadapan dengan cinta.
Telasih... Gadis itu mengubah dunianya. Dalam diam, ia mulai mempertimbangkan sesuatu yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Menikahi muridnya. Mungkin ini satu-satunya jalan untuk memenuhi hasratnya, untuk menjaga Telasih dan anak yang dikandungnya. Tapi apakah Telasih mau? Apakah dia bisa menerima seorang lelaki cacat seperti dirinya?
Malam itu, di bawah sinar rembulan yang pucat, Dewa Maut berdiri di hadapan cermin air yang tenang. Bayangannya memantul, menatapnya dengan penuh pertanyaan. "Aku telah mengorbankan hidupku untuk ilmu ini... untuk balas dendam pada dunia yang telah merenggut orang tuaku. Tapi sekarang... aku ingin lebih dari sekadar kekuatan. Aku ingin keluarga. Aku ingin hidup."
Keputusan mulai terbentuk dalam benaknya. Dewa Maut menghela napas panjang, kemudian menatap ke arah pondok kecil tempat Telasih beristirahat. Esok hari, ia akan berbicara dengan muridnya. Mungkin untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia akan memperjuangkan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih manusiawi daripada sekadar ilmu silat atau kekuatan. Sesuatu yang ia sebut cinta.
Namun, nasib tak pernah semudah yang direncanakan. Di balik bayang-bayang lembah yang sunyi itu, bahaya mengintai. Sebuah kekuatan dari masa lalunya mulai bergerak, mencari jejak Dewa Maut dan kitab pusaka yang telah lama hilang. Waktu untuk cinta mungkin segera akan tergantikan oleh pertempuran sekali lagi...
Bersambung
ns 15.158.61.48da2