Derap langkah kuda terdengar mantap, berpadu dengan suara gemerisik angin yang menyapu lereng bukit hijau. Jejak-jejak kuda itu meninggalkan jejak yang dalam di tanah yang lembap, membelah jalan berkelok yang memanjang menuju wilayah sebuah kadipaten. Di kejauhan, mulai tampak atap-atap bangunan menjulang di antara pepohonan, pertanda perjalanan hampir mencapai ujungnya. Kadipaten Parwata, demikianlah nama daerah yang dituju, sebuah wilayah kecil yang terletak di lereng gunung, dikelilingi bukit-bukit hijau dan tenang.
Biasanya, Parwata hanya dihuni oleh penduduk yang hidup sederhana, jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Namun, hari ini pemandangan yang berbeda terpampang jelas. Di jalanan utama, yang biasanya sepi dan lengang, kini dipenuhi orang-orang yang berjalan bergegas. Beberapa menunggang kuda, sementara yang lain duduk di atas pedati yang bergerak perlahan. Roda-roda pedati berderak pelan di atas batu-batu jalan, ikut meramaikan suasana.
Namun yang paling mencolok adalah mereka yang memanggul pedang di punggung, mengenakan pakaian yang tak biasa. Tampak jelas dari postur tubuh dan tatapan mata mereka, ini bukanlah orang sembarangan. Sebagian besar berasal dari dunia persilatan—para pendekar yang datang dengan tujuan tak biasa. Gerakan mereka tegas, mata mereka tajam, dan meski tak ada kata yang terucap, hawa ketegangan menyelimuti udara.
Ada sesuatu yang terjadi di Parwata. Kadipaten yang biasanya sunyi, kini terasa bagaikan arena yang sedang dipersiapkan untuk sebuah peristiwa besar. Penduduk setempat menatap mereka dengan rasa was-was, berusaha menebak maksud kedatangan para pendekar ini. Bisik-bisik mulai terdengar, kabar burung beredar tentang kemungkinan adanya sayembara, tantangan, atau mungkin, permusuhan lama yang akan segera meletus.
Penduduk Kadipaten Parwata, yang biasanya hidup damai dan jauh dari hiruk-pikuk, mulai dilanda rasa penasaran. Apa yang terjadi sehingga begitu banyak orang asing berdatangan ke kota mereka? Bisik-bisik mulai terdengar di pasar, di depan warung-warung, dan di sudut-sudut jalan. Wajah-wajah penduduk setempat dipenuhi rasa ingin tahu dan kecemasan, namun lambat laun dari percakapan mulut ke mulut, kabar mulai beredar, dan mereka mulai memahami alasan kedatangan para pendekar itu.
Di tengah kota Kadipaten Parwata, berdiri sebuah rumah megah yang dikelilingi oleh pagar tinggi. Rumah itu milik seorang pendekar ternama sekaligus saudagar kaya raya bernama Ki Pawaka, yang juga dikenal dengan julukan Si Tangan Api. Nama ini membawa getar di kalangan rimba persilatan di seluruh Jawadwipa. Bukan hanya karena kekayaannya, tetapi juga karena kehebatannya dalam ilmu bela diri. Kecepatan tangannya, yang diyakini bisa menyalakan api dengan satu gerakan, membuatnya disegani dan jarang ada yang berani menantangnya.
Namun, kali ini suasana berbeda. Bukan untuk menantang, para pendekar dari delapan penjuru angin berdatangan ke Parwata setelah mendengar berita yang mencemaskan: ancaman maut ditujukan kepada Ki Pawaka. Sebuah ancaman yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ancaman ini sudah merenggut nyawa beberapa pendekar ternama sebelum Ki Pawaka menjadi sasaran berikutnya. Setiap pendekar yang menerima ancaman serupa, pada akhirnya ditemukan tewas pada malam purnama.
Ancaman itu datang dalam bentuk yang tak lazim, menambah aura kelam dan misteri di sekitarnya. Beberapa hari menjelang purnama, secarik kain putih bertuliskan aksara hanacaraka dengan tinta yang tampak seperti darah, disebarkan di berbagai wilayah. Di kain itu tertulis nama korban yang akan dihabisi, dan ancaman bahwa hidup mereka akan berakhir saat malam purnama tiba. Seolah-olah waktu kematian mereka telah ditentukan oleh tangan yang tak terlihat. Tidak ada yang tahu siapa dalang di balik ancaman ini, namun satu hal pasti: siapa pun yang telah menjadi sasaran, tak pernah luput dari takdirnya.
Kabar menyebar cepat, dan rasa was-was melanda. Para pendekar yang mengenal Ki Pawaka atau sekadar ingin menyaksikan apakah Si Tangan Api akan bernasib sama seperti korban-korban sebelumnya, datang dengan berbagai motif. Ada yang ingin menolong, ada yang hanya ingin melihat dari jauh, dan tak sedikit yang berharap mendapatkan keuntungan dari situasi ini. Namun semua yang datang tahu, malam purnama mendekat, dan dengan itu datang juga bayang-bayang kematian yang siap mencabut nyawa salah satu pendekar paling ditakuti di Jawadwipa.
Siapa yang berada di balik ancaman ini? Dan lebih penting lagi, apakah Ki Pawaka, dengan segala kekuatannya, mampu menghadapi takdir yang tampaknya sudah tergurat di kain putih berdarah itu? Malam purnama sudah semakin dekat, dan jawaban dari semua misteri ini semakin tak terelakkan.
Dunia persilatan di Jawadwipa diguncang oleh serangkaian pembantaian yang meninggalkan jejak darah di setiap purnama. Ancaman pertama yang terbukti menjadi kenyataan menimpa Ki Jaladara, tokoh besar dan pimpinan Padepokan Gunung Muria. Padepokannya yang megah di kaki gunung berubah menjadi kuburan massal. Malam itu, darah membasahi halaman padepokan. Ki Jaladara dan para pengikut setianya tewas secara tragis, hanya menyisakan segelintir murid yang kebetulan sedang turun gunung, tak sempat menyaksikan kehancuran gurunya.
Rimba persilatan gempar, dan belum sempat duka mengering, ancaman berikutnya kembali muncul. Kali ini, Ki Lugina, pimpinan Perguruan Lembah Ular Hijau, menjadi sasaran. Namanya dikenal luas di kalangan pendekar sebagai sosok tak terkalahkan, seorang tokoh yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi. Namun, bahkan dia tak mampu menandingi kekejaman sang pengancam. Pada malam purnama yang diselimuti awan, Ki Lugina dan hampir seluruh muridnya dibantai secara keji. Rimba persilatan kembali berduka, namun yang lebih mencengangkan adalah ketidakberdayaan mereka menghadapi ancaman yang tampaknya tak terhindarkan.
Amarah mulai mendidih di kalangan pendekar. Ketika ancaman berikutnya muncul, ditujukan kepada Wong Agung Wilis, seorang pendekar sepuh yang hidup damai bersama keluarganya, puluhan pendekar dari berbagai penjuru langsung bergegas ke kediamannya. Mereka berniat menghadang pembantai misterius itu sebelum malam purnama tiba. Para pendekar terkemuka berkumpul, tekad bulat mereka satu: menangkap dan menghukum mati si pengancam, yang telah merenggut nyawa terlalu banyak pendekar terhormat.
Namun, semua kekuatan dan keahlian mereka seolah tak ada artinya. Ketika malam purnama tiba, Wong Agung Wilis beserta seluruh keluarganya dibantai tanpa ampun. Bahkan dari puluhan pendekar yang berjaga di kediamannya, hanya segelintir yang selamat dengan luka-luka parah. Mayat-mayat tergeletak di mana-mana, wajah mereka memancarkan ketakutan yang tak sempat diungkapkan. Kejadian itu mempertegas kenyataan yang menakutkan: si Dewa Maut, julukan yang diberikan kepada pembantai misterius ini, bukanlah musuh biasa. Dia seperti bayangan yang tak bisa dihalangi, seperti kutukan yang menjemput siapa pun yang menerima ancamannya.
Tiga purnama, tiga pembantaian, dan kini dunia persilatan terpecah antara ketakutan dan kemarahan. Setiap pendekar, baik yang sebelumnya enggan terlibat maupun mereka yang tak mendengar kabar, kini sudah mengetahui betapa besarnya ancaman yang mengintai. Tak ada lagi yang merasa aman. Rimba persilatan bergolak, dan para pendekar dari berbagai aliran mulai bersatu. Mereka menunggu dengan waspada, menantikan ancaman berikutnya.
Ketika secarik kain putih bertinta darah kembali beredar, menyebut nama Ki Pawaka dari Kadipaten Parwata sebagai sasaran berikutnya, para pendekar tak lagi menunggu. Mereka bergerak cepat, mendatangi Kadipaten Parwata dengan tekad menghentikan Si Dewa Maut sekali untuk selamanya. Kini, bukan hanya pendekar-pendekar yang ingin mencari keuntungan, namun tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai perguruan pun turut serta. Amarah dan dendam membakar hati mereka, siapapun yang menjadi sasaran Si Dewa Maut tak lagi dianggap hanya sebagai masalah pribadi, namun telah menjadi urusan seluruh rimba persilatan.
Namun, di balik hiruk-pikuk persiapan para pendekar, ketegangan menyelimuti udara. Siapa sebenarnya Dewa Maut ini? Bagaimana dia mampu membantai tokoh-tokoh besar tanpa terdeteksi? Setiap orang memiliki dugaan, namun tak ada yang tahu pasti. Malam purnama semakin dekat, dan kali ini, nyawa Ki Pawaka berada di ujung tanduk. Kadipaten Parwata, yang biasanya damai, telah berubah menjadi medan pertempuran yang tak terlihat.
Di antara ratusan pendekar yang berkumpul di sekitar kediaman Ki Pawaka, muncul sebuah pertanyaan yang tak terucapkan: Apakah mereka benar-benar bisa menghentikan Dewa Maut, atau akan ada lagi tumpukan mayat di bawah sinar purnama berikutnya? Suara detak jantung seolah bersahut dengan langkah-langkah para pendekar yang datang, namun di balik itu semua, satu sosok misterius sudah menunggu, tersembunyi di kegelapan, menanti saatnya untuk melancarkan serangan terakhirnya.
Hari itu, Kadipaten Parwata benar-benar dipenuhi oleh orang-orang asing. Penginapan penuh sesak, hampir tak ada tempat tersisa, dan di tengah hari yang terik, rumah-rumah makan dipenuhi pengunjung yang hendak mengisi perut mereka sebelum malam datang. Di rumah makan terbesar di ibukota, hiruk-pikuk tak terhindarkan. Pelayan-pelayan tampak kewalahan, berkeringat melayani tamu yang semakin bertambah.
Seorang pelayan, dengan wajah panik, segera mendekati seorang tamu perempuan yang baru saja masuk. Pakaian perempuan itu serba putih, dan wajahnya tertutup cadar, hanya menyisakan matanya yang tajam dan dingin.
"Maaf, nona, sudah tidak ada lagi tempat duduk," ujar pelayan itu tergopoh-gopoh.
"Kalau begitu, minta dibungkus saja, bisa kan?" ujar perempuan itu dengan suara tenang namun penuh wibawa.
"Bisa, tapi mohon ditunggu sebentar. Sekali lagi maaf, tidak ada tempat buat duduk menunggu."
"Baik, saya tunggu."
Perempuan bercadar itu berdiri dengan tenang di sudut ruangan, menanti pesanannya. Di punggungnya tergantung sebilah pedang dengan bentuk yang sangat indah, mengilap meski sebagian besar tersarung. Dari caranya berdiri dan aura yang memancar, jelas ia bukan perempuan biasa. Tatapan mata yang tajam dan dingin di balik cadarnya membuat suasana di sekitarnya berubah tegang.
Namun, tidak semua orang memperhatikan bahaya yang tersembunyi di balik sosok anggun itu. Seorang lelaki yang duduk di salah satu meja rumah makan, dengan sikap tak tahu diri, membuka mulutnya.
"Nona cantik, duduklah di pangkuanku," ucapnya dengan tawa yang disambut oleh ketiga temannya. Lelaki itu tampak seperti seorang penggoda murahan, tak menyadari siapa yang sedang ia hadapi.
"Nona, kami semua rela memangku nona yang can—"
Sretttt!1213Please respect copyright.PENANAqcYY7ySdnF
Sebelum kalimatnya selesai, suara itu tiba. Tiga kilatan cepat, lebih cepat daripada mata manusia bisa mengikuti, melintasi udara. Suara pedang menyambar, seolah tak berasal dari mana-mana. Tiga lelaki yang sedang tertawa itu kini diam dalam kengerian. Dua di antaranya telah terkapar di lantai, kepala mereka terpisah dari tubuh, sementara darah memancar deras dari leher mereka. Satu lagi terduduk kaku, tak mampu bergerak, hanya menatap tubuh temannya yang tergeletak tak bernyawa.
Crashhh...!1213Please respect copyright.PENANAL9f1NhWUsx
Piring dan gelas yang ada di meja mereka jatuh berhamburan, seiring tubuh-tubuh itu menghantam lantai.
Seisi rumah makan mendadak sunyi. Kejadian itu begitu cepat, terlalu cepat untuk dicerna oleh mata yang menyaksikan. Hanya tersisa suara darah yang menetes, menghiasi lantai kayu yang kini berlumuran merah.
"Bidadari Hati Beku..."1213Please respect copyright.PENANAwVJszfwUGp
Nama itu diucapkan hampir bersamaan oleh beberapa pengunjung yang berdiri gemetar di sudut-sudut ruangan. Nama yang penuh dengan kengerian, nama yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik di kalangan pendekar, kini terwujud nyata di depan mata mereka. Sang wanita bercadar yang barusan membantai dua lelaki tak tahu diri itu adalah pendekar legendaris berjuluk Bidadari Hati Beku. Nama yang membuat nyali para musuhnya ciut, karena ia dikenal sebagai sosok yang tak kenal belas kasihan.
Sang Bidadari hanya berdiri tenang, memandang sejenak ke arah dua mayat yang tergeletak di lantai, sebelum perlahan-lahan ia menyarungkan pedangnya kembali. Tak ada amarah di wajahnya, tak ada kepuasan di matanya. Semua yang dilakukannya seolah hanyalah rutinitas biasa, seperti hal yang sudah tak terhitung berapa kali ia lakukan sebelumnya.
Ruangan yang tadinya penuh dengan tawa dan obrolan riuh, kini hanya dipenuhi oleh ketakutan. Tak ada seorang pun yang berani bergerak atau membuka mulut. Mereka tahu, sekecil apapun gerakan salah bisa berakibat fatal di hadapan Bidadari Hati Beku.
Dengan tatapan dingin dan tanpa ragu, pendekar wanita berjuluk Bidadari Hati Beku menendang kedua mayat beserta kepala yang terpisah ke luar rumah makan. Tubuh-tubuh tanpa nyawa itu berguling di jalanan berdebu, menggemparkan orang-orang yang lewat. Darah yang memancar masih hangat, sementara dua lelaki yang tersisa, teman dari yang tewas, hanya bisa duduk terpaku dengan wajah pucat dan tubuh gemetar. Keringat dingin mengalir di dahi mereka, mulut mereka terkunci dalam ketakutan yang tak terperi.
Dengan gerakan anggun dan tanpa beban, Bidadari Hati Beku menendang sebuah kursi. Kursi itu melayang di udara dan jatuh tepat di belakang tubuhnya. Dengan keanggunan seorang ratu, ia duduk di kursi itu, menunggu pesanannya seolah tak ada yang terjadi. Ketegangan di rumah makan itu tak tertahankan. Setiap orang menahan napas, tak ada yang berani bergerak. Mata-mata pengunjung lainnya hanya mengintip dari balik meja, takut menjadi sasaran kemarahannya.
Tak lama kemudian, seorang pemuda belia, mungkin berusia 18 atau 19 tahun, melangkah maju dengan wajah berang. Tindakannya mencuri perhatian seluruh ruangan, mengusik keheningan yang menekan.
"Hei, wanita keji! Begitu biadab kau membunuh orang seperti itu!" teriak pemuda itu dengan amarah meluap. "Seperti Si Dewa Maut saja! Atau mungkin… jangan-jangan kau adalah Si Dewa Maut itu?" Tuduhan berani keluar dari bibir pemuda itu, membuat suasana semakin mencekam.
Bidadari Hati Beku tak bereaksi sedikitpun. Matanya yang dingin hanya melirik singkat pemuda itu, seolah menimbang apakah pemuda ini layak untuk hidup atau mati.
"Tahan, Sadawira!" Suara tegas menghentikan langkah sang pemuda. Seorang lelaki paruh baya, yang tampak berwibawa, maju dan menahan lengannya. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh kehati-hatian.
Lelaki itu menjura ke arah Bidadari Hati Beku. "Maafkan kelancangan keponakanku ini, Nona. Dia masih muda dan tak tahu siapa yang sedang dihadapinya."
"Hmmmm…" hanya dengusan kecil yang keluar dari bibir Bidadari Hati Beku, tanda bahwa ia tak ingin memperpanjang masalah. Namun, sorot matanya tetap menancap dingin pada Sadawira, yang tampak mulai menyadari kesalahan besar yang hampir ia buat.
Lalu, pemilik rumah makan datang tergopoh-gopoh, diikuti oleh pelayan yang membawa pesanan Bidadari Hati Beku. Wajah pemilik rumah makan itu pucat, dan tangannya gemetar ketika menyodorkan bungkusan makanan kepada sang pendekar wanita.
"Nona... ini pesanannya. Maaf... maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi," katanya dengan suara bergetar, ketakutan.
Bidadari Hati Beku mengambil makanan itu dengan tenang. Ia mengeluarkan beberapa keping uang, meletakkannya di atas meja, kemudian berdiri. Dalam satu gerakan cepat, ia menghilang dari pandangan, melesat keluar dari rumah makan dengan kecepatan yang membuat angin berhembus kencang di belakangnya. Hanya debu yang tersisa, beterbangan di udara, menyisakan keheningan yang menyesakkan.
Sadawira berdiri membatu, terpaku di tempatnya. Napasnya terengah-engah, baru saja selamat dari kemungkinan maut yang hanya sedetik menjauh darinya. Sementara lelaki paruh baya yang menahannya tadi menghela napas panjang, menyadari betapa dekatnya mereka dengan kehancuran.
"Sadawira, kau sangat beruntung. Tidak semua orang yang berani menantang Bidadari Hati Beku bisa selamat seperti ini," katanya pelan, suaranya dipenuhi ketegangan yang masih tersisa.
Sadawira, dengan wajah tegang dan amarah yang membara, menatap pamannya. "Mengapa Paman menghalangi aku? Wanita itu sangat kejam. Dia harus dihukum!" suaranya bergetar, menunjukkan tekad yang tak bisa ditahan.
Danar, paman Sadawira, menarik napas panjang. "Kita tidak boleh sembarangan ikut campur urusan orang lain, Sadawira. Apa yang kau lihat tadi adalah urusan mereka. Wanita itu bukan orang sembarangan," jawabnya dengan suara tegas, namun tenang.
Namun, Sadawira belum puas. "Tapi, Paman, kita tidak bisa membiarkan seseorang main bunuh begitu saja tanpa diminta tanggung jawab," balasnya dengan penuh semangat.
Sebelum Danar bisa menjawab, suara lembut namun tegas dari arah lain terdengar. "Sadawira, ada saatnya kita harus menahan diri. Tidak semua kejahatan bisa kita hadapi dengan kekerasan," ujar Savitri, bibi Sadawira, yang sedari tadi memperhatikan.
"Tapi, Bibi..." Sadawira masih bersikeras, tatapannya penuh ketidakpuasan. "Main bunuh seperti tadi tidak bisa dibiarkan begitu saja!"
Danar dan Savitri saling berpandangan, wajah mereka tegang dan jelas tak ingin memancing masalah lebih besar. Meskipun mereka adalah pendekar yang disegani, nama Bidadari Hati Beku bukanlah nama yang bisa dipandang enteng. Wanita berjuluk itu terkenal bukan hanya karena kekuatannya, tapi juga karena kekejamannya yang tanpa ampun.
"Sudahlah, Sadawira. Benar kata bibimu, kita tidak boleh sembarangan terlibat. Bidadari Hati Beku tidak akan menyerang tanpa sebab, dan tadi orang-orang itu mengganggunya. Kalau kita tidak mencari masalah dengannya, tidak akan ada yang terjadi," lanjut Danar mencoba meredakan suasana.
Sadawira menggertakkan giginya, namun akhirnya menunduk. "Bibi, aku memang pernah mendengar tentang Bidadari Hati Beku... Tapi, tetap saja, tidak bisa membiarkan orang seenaknya membunuh seperti itu!"
Savitri menatap keponakannya dengan lembut, namun penuh kekhawatiran. "Sadawira, kadang dunia persilatan tidak sehitam dan seputih yang kau bayangkan. Kita harus berhati-hati. Wanita seperti dia... tidak mudah dipahami, apalagi dilawan."
"Ayo, kita lanjutkan makan saja," ucap Danar, memotong percakapan, merasa bahwa ketegangan harus segera diredakan. "Kita tidak ingin menimbulkan lebih banyak perhatian dari pendekar lain yang mungkin sedang mengawasi," lanjutnya pelan, memastikan situasi tetap terkendali.
Mereka akhirnya kembali ke meja makan mereka, meski suasana di antara mereka masih terasa kaku. Pasangan pendekar itu, Danar dan Savitri, dikenal cukup tangguh di kalangan rimba persilatan. Dengan pengalaman bertahun-tahun, mereka tahu kapan harus melawan dan kapan harus menahan diri. Meskipun nama besar mereka dihormati, kali ini pun mereka memilih untuk bersikap hati-hati.
Sadawira, di sisi lain, adalah pemuda pemberani, namun darah mudanya belum sepenuhnya memahami betapa rumitnya dunia yang ia masuki. Ia adalah anak dari adik Savitri yang telah lama meninggal, dan Danar serta Savitri telah merawatnya seperti anak sendiri. Mereka tahu, cepat atau lambat, Sadawira akan terjun lebih dalam ke rimba persilatan, namun hari ini bukanlah waktunya untuk membuat musuh dari pendekar wanita yang begitu ditakuti seperti Bidadari Hati Beku.
Seiring mereka melanjutkan menyantap hidangan yang sebelumnya tertunda, suara di rumah makan itu kembali terdengar normal. Namun di sudut-sudut ruangan, bisik-bisik tentang Bidadari Hati Beku, Danar, dan Savitri tak terhindarkan. Pendekar-pendekar lain yang ada di sana, meski tak bicara langsung, sudah mengetahui bahwa ketegangan yang terjadi tadi adalah peringatan bagi mereka semua.
Di luar sana, bayangan malam purnama semakin dekat. Dan meskipun rumah makan itu telah kembali tenang, ancaman besar yang tergantung di udara tetap terasa. Mereka tahu, pertarungan yang akan datang akan jauh lebih berbahaya daripada yang mereka duga.
Pelayan rumah makan terlihat sibuk membersihkan sisa-sisa darah yang berceceran dilantai rumah makan. Sementara diluar rumah makan ramai orang berkerumun melihat dua sosok mayat yang telah terpisah dengan kepala masing akibat kemesuman mereka sendiri.
Sampai akhirnya ada orang-orang yang datang mengambil kedua mayat itu. Mungkin mereka itu kerabat dari korban keganasan Bidadari Hati Beku. Sementara dua teman dari yang telah tewas oleh pendekar wanita tersebut menghilang entah kemana. Mungkin mereka masih dicekam ketakutan yang teramat sangat akibat apa yang telah terjadi.1213Please respect copyright.PENANAhYpaE1ziX5
1213Please respect copyright.PENANAbHflAPemMo
Saat pasangan Danar dan Savitri beserta keponakannya telah selesai makan. Mereka berlalu meninggalkan rumah makan itu. Setelah kepergian mereka nampak terlihat seseorang pengunjung rumah makan yang memakai caping lebar menarik napas panjang.
1213Please respect copyright.PENANAlPPVTtF2rr
"Sayang sekali Bidadari Hati Beku pergi begitu saja. Aku ingin melihat Danar dan Savitri bertarung melawan wanita iblis itu. Aku berharap Danar mampus tapi aku tak ingin Savitri ikut tewas. Kalau saja terjadi pertarungan aku akan ikut melindungi Savitri tapi aku akan mengambil kesempatan mencelakai Danar. Sayang sekali kesempatan ini berlalu."
1213Please respect copyright.PENANA26nUvTI2yo
Lelaki itu berbicara dalam hati, kemudian keluar dari rumah makan dan menuju kesebuah pohon yang tidak begitu jauh dari rumah makan untuk mengambil kudanya yang dia ikat di pohon itu. Tak berapa lama dia sudah melaju dengan kudanya menelusuri jalanan kadipaten dengan hati yang kembali dipenuhi dendam kepada Danar.
Betapa tidak dia berkelana di dunia persilatan mengejar ilmu agar bisa mengangkat nama menjadi seorang pendekar semata karena ingin menarik hati Savitri yang begitu dia cintai. Tapi wanita itu tetap lebih memilih Danar.
1213Please respect copyright.PENANARGoPpkyNJG
Lelaki bercaping lebar ini adalah Mahesa. Sewaktu masih remaja bersahabat dengan Danar dan Savitri. Mereka waktu itu sama-sama tinggal di padepokan gunung Lawu. Savitri putri pimpinan padepokan gunung Lawu dan Danar adalah murid kesayangan padepokan itu.
Sedangkan Mahesa hanya anak dari pembantu di padepokan. Ibunya bertugas memasak dan bersih-bersih di padepokan. Karena savitri gadis yang baik dia mau berteman dengan siapapun termasuk dengan Mahesa.
Sikap Savitri yang baik hati dan juga wajahnya yang cantik membuat Mahesa jatuh hati dan berani menyatakan rasa sukanya kepada Savitri. Sayangnya Savitri hanya mau berteman dan berkata bahwa yang bisa jadi kekasihnya hanyalah seorang pendekar ternama.
Mahesa tentu kecewa berat dengan penolakan Savitri terutama alasanya yang hanya mau jadi kekasih pendekat hebat. Sedangkan Mahesa hanya anak pembantu dan ibunya yang pembantu di padepokan itu melarangnya ikutan belajar silat karena tidak ingin anaknnya Mahesa bernasib seperti suaminya yang tewas sebagai pendekar dan meninggalkan Istri dan anaknya terlunta-lunta. Sampai akhirnya ibu Mahesa jadi pembantu dipadepokan gunung Lawu.
1213Please respect copyright.PENANAuhwtaNE4NJ
Kata-kata Savitri yang hanya ingin menjadi kekasih dari seorang pendekar ternama terus terngiang-ngiang dikepala Mahesa hingga dia benar-benar menjadi seorang pendekar. Semua dia raih dengan berdarah-darah. Jatuh bangun berkelana di dunia persilatan. Melewati berbagai penolakan dari berbagi perguruan dan beberapa pendekar yang dia harapkan mau jadi gurunya. Semua demi menarik hari Savitri tapi kenyataannya Savirti malah telah menikah dengan Danar.
Kecewa dan sakit hati ketika pada akhirnya Danar dan Savitri menikah membuat Mahesa menjadi penjahat pemetik bunga. Dia menggunakan kemampuan ilmu yang dia miliki selain untuk bertarung dengan musuh di rimba persilatan juga untuk menaklukan wanita-wanita cantik . Tak peduli apa masih gadis, sudah bersuami atau janda.
Mahesa menaiki kudanya secara perlahan menelusuri jalan utama kadipaten matanya tak luput untuk mencari wanita-wanita ayu yang terlihat di jalan itu. Melihat Savitri beberapa saat lalu dengan kecantikannya yang tak pernah pudar membuat nafsu birahi Mahesa bangkit. Dia harus melampiaskan hasratnya dengan mencari wanita cantik secepatnya.
Tak menunggu lama menemukan seorang gadis cantik di tepi sungai dipinggiran kadipaten. Dengan menjentikan jadi Mahesa melontarkan kerikil kecil kearah gadis itu dan tepat mengenai jalan darah si gadis dan seketika gadis itu diam mematung karena tertotok jalan darahnya. Mahesa tersenyum penuh birahi segera membopong gadis itu
Dia tak ingin membuang waktu karna nafsunya sudah bangkit sejak tadi. Dibaringkannya si gadis di rumput dan dia mendekatkan mukanya ke wajah sang gadis dan mulai menciumi wajah cantiknya yang putih dah halus. Tangannya mulai menyelusup ke dada sang gadis dan mulai meremas remas dibalik pakaian yang menutupi dada bulatnya.
Terlihat wajah cantik perempuan muda itu mengeluarkan airmata karena tidak berdaya menolak perbuatan mesum orang yang tidak ia kenali. Gadis itu ingin melawan, meronta-ronta dan berteriak namun dia tidak tahu kenapa dia tidak bisa melakukan itu.
Sambil mencium bibir manis gadis itu Mahesa mulai melancarkan hasrat birahinya . Perempuan itu tak mengerti kenapa dia tidak berbuat apa-apa. Dia berusaha ubtuk melawan sekuat tenaga. Tapi tubuhnya seolah lumpuh. Perasaannya begitu hancur. Dia hanya bisa menangis.1213Please respect copyright.PENANAQ7IT2euv1x
Gadis itu terus mencoba meronta dan bergumam tidak jelas. Tapi karena totokan Mahesa maka dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Mahesa menghujamkan kontolnya ke memek gadis yang masih perawan itu.
Blesh
Karena kekuatan Mahesa maka dengan mudah kontolnya menembus kemaluan gadis cantik itu. Air mata meleleh di pipi perempuan muda belia itu karena merasakan sesuatu telah mengoyak keperawanannya. Rasanay begitu menyakitkan. Dia hanya bisa memejamkan mata dan menangis, kehormatan diri yang dijaga seumur hidup kini direnggut paksa oleh orang yang tidak dia kenal.
“Ouwhhhh memek perawan enak ahhhhhhhhhhhhh!”
Crottttttttt…. Crottttttttttt… crottttttttttt.
1213Please respect copyright.PENANAmgNP7qYX26
Mahesa yang telah mencapai kepuasan segera memakai kembali pakaiannya dan melesat kearah kudanya kemudian berlalu meninggalkan gadis cantik itu yang kini kembali terisak. Makin lama makin keras tangisannnya.
Bersambung
ns 18.68.41.179da2