Harus Raja akui untuk membalas seorang perempuan dengan menodai wajahnya bukanlah hal yang Raja sukai, dia tidak pernah segeram dan sehina ini ketika seorang cewe dengan dandanan mirip cowo berjalan tergesa-gesa ke arahnya, kedua tangan mengepal dan dengan hitungan pernano detik tangan tersebut telah berhasil mengenai pelipis alis Raja.
“Shit!” rutuk Raja.
Suara gaduh tercipta ketika cowo ini berjalan memasuki rumah dengan teman-teman di belakangnya ikut masuk dan mendudukan bokong pada kursi rumah keluarga Raja.
Ruang tamu Raja minimalis, dengan dekorasi yang lumayan unik, banyak pajangan yang terbentang menyisakan kenangan tahun tujuh puluhan. Banyak barang-barang yang masih asli dan juga masih bisa dipergunakan. Contohnya gramophone yang ada di atas meja kayu berkaca. Di dalam kayu berkaca itu terhampar piringan hitam dengan judul lagu dan merk berbeda.
Raja meringis dalam diam, matanya menutup sebentar.
“Dia itu anak bisnis, semester lima, namanya Shapira Madany, umur dua puluh tahun, tanggal lahir 05 maret, tinggal di Tanjung Barat,” ucap Naga menatap ponselnya, kemudian memperlihatkan layar ponsel itu beberapa detik ke Raja. Lalu dia melanjuti.
“NPM EB1211…” Raja memotong ucapan Naga.
“Ngga perlu Npmnya.” Naga mengangkat bahu tak acuh.
“Jadi dia penghuni gedung sebelah yang udah babak belurin wajah lo tadi pagi.” Naga menyimpulkan, merebahkan kepalanya pada bahu sofa.
Tengkurap Jonah di lantai sambil menguncang-uncang kaki, kedua tangannya mengetik pesan ke sejumlah mahasiswa jurnalis yang akan membuat berita memalukan ini menyebar.
Semua ini mungkin akan menjadi berita besar jika pada akhirnya Raja hanya bungkam dengan kejadian dirinya sedang tertawa bersama Naga, Jonah, Boy, dan seorang cowo culun bernama Dipto di dekat lapangan basket milik gedung Elektro.
Di sana Raja mendapat pukulan mentah hingga terguncang, nyaris wajahnya mengenai bahu kursi permanen yang didudukinya.
“Lo, Raja?!” tujuk perempuan yang datang tiba-tiba itu dan menarik kerah baju Raja. Naga membuat pergerakan, dia menarik Raja dari genggaman perempuan tak dikenalnya.
“Minggir lo!” seru perempuan itu menampar lengan Naga.
Naga bisa merasakan kulitnya terbakar saat perempuan itu menyentuh kulitnya dengan kasar. Naga akhirnya melepaskan Raja yang masih terkejut karena mendapat pukulan luar biasa di sekitar pelipis alis.
“Gue mau buat perhitungan!” kata perempuan itu berbicara sangat dekat di wajah Raja. “Lo apain teman gue nangis di pojokan sampai ketakutan gitu.”
“Maksud lo, apa?” balik Raja bertanya. Dia menggerakan alisnya, namun ada rasa nyeri.
“Alexa nangis karena lo, lo pikir gue gak tau.”
Raja mengerutkan kening, lalu menggeleng singkat.
“Gak kenal!” katanya beranjak berdiri.
Melangkah keluar dari pinggir lapangan karena ternyata dia menjadi pusat perhatian. Bukan karena Raja ganteng, atau banyak cewe-cewe yang suka dengan Raja, tapi karena perlakuan perempuan tadi Raja jadi perhatian seluruh penghuni Elektro.
“Lo Raja Fahzwa anak semester lima dan ayam kampus, kan?” teriak perempuan itu. Sesaat Raja kaku, dia tak menoleh, bahkan wajahnya masih datar. Jonah berdecak, dia maju menantang.
“Lo ada apa sama teman gue? Main tonjok aja, main bilang ayam kampus segala. Lo pikir saat lo masuk ke sini bisa main tonjokin orang dan buat semua orang gempar. Jangankan cowo, cewe pun bisa gue kasarin!” sentak Jonah kesal melihat perempuan tidak dikenalnya bisa masuk ke dalam gedung kampus tanpa malu mengatakan hal murah seperti tadi.
“Jonah!” panggil Raja. “Jangan nyakitin cewe,” katanya lagi sembari berbalik.
“Lo mau apa datang ke sini?” tanya Raja mengulur waktu untuk bertanya keinginan perempuan di hadapannya itu. Jika tidak, kesalah pahaman ini akan tambah memperpanjang keadaan Raja. Bisa saja perempuan ini bertindak anarkis lebih dari memukul Raja beberapa menit yang lalu.
“Gue bilang gue mau perhitungan sama lo!”
“Perhitungan apa? Benerin catokan rambut? Sini.”
Dipto terkekeh mendengar Raja bicara. Kalau bukan mereka teknik elektro, apalagi yang mereka layani selain aliran listrik, pikir Raja begitu.
“Lo tanggung jawab atas apa yang lo perbuat ke Alexa!”
“Tanggung jawab? Perbuatan apa? Siapa itu Alexa?” tanya Raja bertubi-tubi. Perempuan di depannya menggeram. Sementara Raja tidak tau siapa yang dimaksud, juga dengan perempuan itu.
“Lo maksa teman gue buat minum alkohol, kan? Ngaku aja sih!” kesal perempuan itu. Raja melotot, beberapa detik tatapannya datar kembali.
“Maksud lo? Gak jelas.”
“Banyak ngeles lagi lo. Lo sendiri habis berbuat gak senonoh itu seminggu yang lalu. Jangan sok lupa. Atau mau gue bongkar di sini!”
“Tapi gue beneran gak tau. Guys, cabut.”
Raja memberi isyarat, lalu keempat temannya beranjak dari sana. Perempuan itu makin naik pitam, dia menarik punggung jaket Raja dan menyeretnya kesal. Raja terhuyun dan jatuh ke lantai. Suara teriakan dari beberapa mahasiswi terdengar begitu Raja terjatuh. Keempat teman Raja menoleh, begitupun Jonah refleks menghampiri Raja sesegera.
“Heh, berengsek! Gue mau taruhan!” seru perempuan itu kencang-kencang. “Gue mau taruhan untuk orang yang sok gak punya otak kaya lo.”
Raja bangkit dengan wajah memerah, dia benar-benar marah namun masih tetap ditahannya dengan mengepalkan kedua tangan. Perempuan itu menyeringai ketika melihat tangan Raja mengepal, tandanya perempuan itu berhasil membuat Raja geram.
“Gue juga punya taruhan!” seru Raja ikut kesal. Dipto yang telalu takut mendengar suara Raja marah langsung mundur ke belakang.
“Aduh, ini cewe nyari mati!” gerutu Dipto pelan.
“Ini namanya asik, To,” bisik Boy menaruh lengannya di atas bahu Dipto.
“Gue salut dia dateng-dateng udah buat anak Elektro gempar. Liat Ilham, ikutan nontonin,” tambah Boy menunjuk dengan dagunya ke wajah seorang cowo yang sedang memegang bola basket. Dipto melirik lalu menghela napas.
“Kalau gini caranya tamat riwat Raja di mata Ilham.”
Boy menyikut tulang rusuk Dipto. “Gila lo ya! Jangan disumpahin begitu, walaupun Ilham jurnalis di Elektro, dia gak akan lupa sama kebaikan Raja prihal 24 maret lalu! Paling sekarang dia bungkam sama rektor buat jatuhin Raja,” katanya.
“Tapi kalau Ilham gak punya hati?”
“Itu sih lo yang gak punya hati!” berang Boy.
Suara perempuan itu kembali terdengar lantang. “Kalau lo ternyata ketahuan ngambil sesuatu hal yang berharga punya Alexa dengan cara merampas. Gue mau lo dipenjara!” Raja menaikan kedua alisnya tertarik.
“Itu taruhan gue!” tambah perempuan itu lagi menyilangkan kedua tangannya. Raja menyeringai.
“Oke!” tantang Raja terkekeh kecil.
“Dan taruhan gue, kalau lo,” tunjuk Raja dengan lurus tepat pada tubuh perempuan itu dengan tenang. “Salah paham dengan masalah ini, gue mau lo jadi babu gue selama sebulan.”
“Dua bulan!” teriak Boy. Raja menoleh lalu nyengir.
“Ya, dua bulan jadi babu gue.”
“Lima bulan!” seru Jonah menambahkan.
“Enam bulanlah, biar pas satu semester,” timpal Naga.
“Setahun!” teriak perempuan itu membuat banyak pasang mata menatapnya. “Setahun gue jadi babu lo,” katanya menyunggingkan senyum. Raja tertawa terbahak-bahak, dengan meringis sedikit karena pelipis alisnya terasa menyayat.
“Deal deh, kalau gitu.” Raja pergi memunggungi perempuan itu tanpa menatap ke sekitar.
“Jangan lupa, catet nama gue! SHAPIRA!” teriak perempuan itu sekali lagi dan meninggalkan lapangan dengan tergesa-gesa.
“Shapira,” ucap Raja kala ingatannya terpatri, dia duduk termenung di atas kursi rumah keluarganya sambil tertawa. “Shapira,” gumam Raja sekali lagi sambil terkikik geli.
“Jadi namanya Shapira?” tanya Raja setelah itu mengomentari, dia melirik Naga yang masih memandangi ponselnya. Naga menggerakan kepalanya naik turun.
“Yaps,” katanya.
“Gue kok jadi penasaran,” ujar Dipto.
“Sama siapa? Shapira,” tanya Jonah.
“Bukan, sama cewe yang namanya Alexa. Kok cewe yang namanya Shapira itu mau aja sih buat taruhan konyol kaya gitu hanya karena cewe bernama Alexa. Lo kenal sama Alexa ngga sih, Ja. Pernah sentuh Alexa, atau udah pernah cium Alexa? Pasti lo udah pernah …”
“Nggak! Nggak pernah,” sahut Raja pendek.
“Ja, Raja!”
Tiba-tiba suara teriakan dari dalam mengejutkan mereka berlima, Raja mendelik. Wajah keempat temannya spontan melirik ke pintu yang menuju ke arah dapur. Hening beberapa detik mereka saling berpandangan. Kemudian dengan gerakan refleks Dipto membuat semuanya berdiri terburu-buru berlarian ke arah dapur.
“Makaaan!” teriak Dipto terlihat senang. Boy ikut menyelak tubuh Dipto hingga ke dapur.
“Gue duluan!” serunya.
Ternyata suara yang memanggil Raja dari arah dapur adalah suara mamanya Raja. Mereka semua hapal lantunan merdu dari balik dapur yang mengebul itu hingga saling berlarian mencapai dapur.
ns 15.158.61.8da2