Berapa saat penyaluran hawa murni lewat telapak tangan Mahesa kepunggung Savitri selesai. Wanita cantik berusia matang itu jatuh ambruk dan pingsan. Mahesa segera membopong wanita cantik itu untuk pergi jauh meninggalkan arena pertarungan yang masih sangat sengit.
Ketika Savitri sadar dia mendapati dirinya telah ada di atas tempat tidur. Mahesa membawanya ke sebuah penginapan tak jauh dari rumah ki Pawaka.
“Terima kasih atas bantuanmu, Mahesa. Bagaimana keadaan ayahku, Suamiku dan ponakanku?” Tanya Savitri dengan suara lemah penuh rasa cemas.
“Jangan dulu berpikir buruk tentang mereka. Kamu lebih baik berusaha memulihkan tubuh kamu. Aku yakin mereka orang-orang tangguh pasti mereka masih bisa bertahan.” Mahesa mencoba menguatkan Savitri.
Wanita cantik ini tidak menyadari bahwa Danar suaminya telah tewas dengan menggenaskan ditangan Mahesa. Sementara ketua padepokan gunung Lawu Ki Wajrapani yang adalah ayah dari Savitri entah bagaimana nasibnya setelah kena hantaman dahsyat dari Dewa maut. Demikian pula Sadawira ponakannya. Savitri masih sempat melihat anak itu terlempar akibat pukulan Dewa maut sebelum dirinya juga ikut menerima hantaman dari pembunuh keji itu.
“Aku sengaja menyelamatkan kamu karena Dewa Maut sangat kejam dan kuat. Aku yakin semua yang masih bertahan disana akan dihabisi. Tapi aku juga yakin ayahmu, Suamimu dan ponakan kamu pasti bisa menyelamatkan diri.”
“Aku harus kembali kesana. Aku tidak tenang kalau tidak mengetahui apa mereka bisa selamat dari pertarungan itu.”
“Kamu masih terluka parah Savitri. Bersabarlah. Seperti aku bilang mereka pasti bisa selamat. Biar aku yang akan kembali kesana untuk menyelamatkan mereka. Kamu istirahat dulu di sini.”
Akhirnya Savitri hanya bisa pasrah. Dia juga tidak bisa memaksakan diri untuk ikut Mahesa kembali ke rumah ki Pawaka karena tubuhnya sangat lemah saat ini. Butuh waktu untuk memulihkan diri dan tentu saja butuh seorang tabib yang memiliki kemampuan untuk mengobati luka dalamnya.
***
Sadawira yang dalam keadaan lemah dengan tubuh terluka dalam yang begitu parah tidak berdaya melihat pamannya harus tewas dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Lelaki bercaping yang disapa dengan nama Mahesa itu begitu licik dan kejam memanfaatkan keadaan pamannya yang terluka parah untuk dihabisi. Sadawira mengira lelaki itu juga akan menghabisi dirinya. Tetapi lelaki pengecut itu malah berlalu dengan tergesa. Mungkin lelaki itu tidak mengenal dirinya atau dia memandang remeh dan menganggap tidak penting keberadaan pemuda seperti dirinya. Sadawira tidak bisa dengan jelas melihat wajah orang itu tapi namanya yang disebut oleh pamannya akan dia ingat dengan baik. Sementara kesadarannya makin menipis dan akhirnya dia pingsan.
Pertarungan antara Dewa Maut seorang diri melawan begitu banyak tokoh rimba persilatan berlangsung makin sengit.
Dewa maut yang sudah banyak mengalami luka akibat sabetan berbagai senjata tajam mencoba untuk lari dari pertempuran karena sasaran utamanya Ki Pawaka telah tewas.
Tapi kepungan beberapa pendekar hebat begitu sulit untuk dia bisa mengambil kesempatan meloloskan diri. Bidadari Hati Beku terus menyerangnya dengan sabetan-sabetan pedang yang begitu ganas. Beragam jurus pedang paling hebat milik pendekar wanita itu telah dikeluarkan. Punggung, paha, pinggang Dewa maut telah kena sabetan dan terluka parah. Belum lagi tusukan tombak ki Jayataka tak kalah tangguhnya membuat Dewa Maut kerepotan.
Hingga si pembatai berjuluk Dewa maut itu memutuskan untuk menggunakan ilmu pamungkasnya. Jurus pukulan tapak Dewa Menampar bumi. Butuh pengerahan tenaga dalam yang sangat kuat untuk mengeluarkan jurus itu. Kekuatan dipusatkan ke telapak tangan kanan Dewa Maut. Aliran darah dan pernapasan mengalir ke bagian telapak tangannya itu sehingga terlihat memerah dan panas bagai api. Tapi Bidadari Hati Beku dengan ganas terus menyerang. Sebuah sabetan tak mampu dihindari oleh Dewa Maut.
Crashhhh....
Lengan Kiri Dewa Maut putus kena tebasan pedang Bidadari Hati Beku. Dewa maut berjumpalitan menghindari serangan berikutnya yang datang bergelombang sembari terus menyiapkan jurus andalannya. Tak ayal sebuah sabetan berikut dari Bidadari Hati Beku kembali menemui sasaran.
Crahshhh...Kaki kanan Dewa Maut terpisah dari tubuhnya.
Dewa Maut memekik sangat keras melebihi pekikan-pekikan maut sebelumnya. Sementara tangannya dihantamkan ke bawah menerpa bumi. Telapak tangannya yang sudah sangat memerah itu bertemu dengan tanah dan menimbulkan bunyi dentuman keras mengakibatkan wilayah dalam jangkauan seratus tombak kearah sekeliling tubuh Dewa Maut terasa berguncang hebat.
Akibat jurus pukulan Tapak Dewa Menampar Bumi belum cukup karena bersamaan dengan itu hawa panas berupa asap keluar dari tanah dan itu mengakibatkan para pengepung Dewa Maut terhuyung-huyung dan terpukul mundur beberapa tombak dari tempat berdiri sang Dewa Maut. Meski mereka adalah pendekar-pendekar dengan kesaktian hebat. Bidadari Hati Beku dan Ki Jayataka masih bisa kembali berdiri setelah terhuyung-huyung menahan terpaan jurus pamungkas Dewa maut. Mulut keduanya memuntahkan darah. Sementara puluhan pendekar lain yang ilmunya dibawah Ki Jayataka dan Bidadari Hati Beku malah terhempas dan beberapa langsung tewas.
Dewa Maut dengan sisa-sisa tenaganya menotok dua jalan darah bagian tubuhnya yang putus. Dia kemudian melesat pergi meninggalkan arena pertempuran tanpa bisa dicegah oleh musuh-musuhnya yang sudah terluka parah. Boleh dikata kediaman ki Pawaka telah terjadi banjir darah akibat seorang Dewa Maut yang sangat keji.
***
Pagi telah menjelang seorang gadis berjalan perlahan menelusuri tepi sungai dengan raut wajah murung. Gadis itu sangat cantik meski nasibnya begitu buruk. Dia diperkosa oleh orang tak dikenal di saat dia hendak dilamar oleh lelaki idamannya.
Kejadian beberapa hari lalu itu terus berkelebat dikepalanya. Dia benar-benar putus asa menghadapi masa depannya yang entah bakal seperti apa karena telah dihancurkan oleh lelaki bejad yang begitu mudahnya merenggut mahkotanya. Gadis itu sangat menyesal kenapa dia bertemu dengan kemalangan itu. Kembali air mata mengalir membasahi wajahnya yang cantik.
Beberapakali terlintas dibenaknya untuk bunuh diri. Tapi dia takut melakukannya. Pikirannya benar-benar kacau meski didepan kedua orang tuanya dia berusaha menutupi masalahnya.
Saat berjalan dalam keputusasaan gadis itu tersandung sesuatu hingga dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Betapa kagetnya dia karena dia terjatuh diatas tubuh seseorang. Tubuh itu penuh dengan luka.
Gadis itu hendak bangkit tapi sesuatu menahannya. Ternyata orang yang penuh luka itu memegang tangannya dengan erat.
“Ja....ngan per....gi...to...long a...ku !”
“Bbba... baik...tapi..!” Gadis itu tergagap karena kaget.
“Aaaa....ku... ti....dak.. a...kan men...cela...kai...kamu. Ta....pi to...long ban...tu.. a...ku ba...ngun.”
Dengan susah payah lelaki itu bicara. Mungkin karena pengaruh dari luka-luka yang dia alami. Tak urung gadis itu akhirnya mau membantu. Dengan hati-hati dia mendudukan orang itu. Setelah bisa duduk lelaki itu segera bersemedi. Begitu banyak luka ditubuh orang itu bahkan tangan kiri dan kaki kanannya putus sehingga sulit bagi gadis itu membantu mendudukannya.
Gadis itu kebingungan melihat hal itu. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Tapi dia merasa harus menolong. Dia membantu mendudukan lelaki paruh baya itu. Saat telah berhasil tiba-tiba gadis cantik itu merasakan sebuah totokan menerpa tubuhnya hingga dia menjadi kaku.
Kembali Gadis itu teringat peristiwa pemerkosaan yang dia alami. Dia mengalami pemerkosaan setelah ditotok oleh pria asing.
“Aku akan membebaskan kamu kalau kamu berjanji akan patuh padaku dan merawatku. Aku berjanji akan menjadikan kamu muridku. Kamu harus mau. Kalau tidak kamu bisa mati karena aku telah menotokmu.”
Gadis cantik itu tak berdaya hanya bisa menitikkan air mata. Dia benar-benar putus asa dengan nasib buruk yang terus saja datang.
“Oh iya siapa nama kamu?” tanya lelaki paruh baya itu. Saat melepas totokan yang menerpa gadis itu.
“Aku Telasih...!”
“Hmmmm mulai saat ini kamu jadi murdku. Murid dari Dewa Maut. Kamu akan menuntaskan dendam Dewa Maut yang terhambat.” Seru lelaki paruh baya yang ternyata adalah Dewa Maut. 684Please respect copyright.PENANAHEYtLyBl43
***
Mahesa telah berada di rumah ki Pawaka dan melihat begitu banyak orang terluka. Pertempuran telah selesai sesaat sebelum dia tiba di tempat ini. Terlihat beberapa orang bersemadi berusaha memulihkan tubuh mereka dari luka dalam yang mereka alami.
Mahesa menemukan diantara beberapa orang yang bersemadi itu ada beberapa tokoh dari padepokan gunung Lawu yang dia kenal. Terlihat ada tiga orang anggota padepokan gunung Lawu yang masih selamat. Mahesa mengenal mereka satu persatu. Mereka adalah adik-adik seperguruan ketua padepokan gunung Lawu ki Wajrapani alias paman guru dari Danar. Dia mendekati salah satu dari mereka yang bernama ki Narotama dan memberi bantuan menyalurkan hawa murni lewat telapak tangannya kepunggung sesepuh padepokan gunung Lawu itu.
Mahesa bertekad untuk menolong orang-orang padepokan gunung Lawu yang tersisa dari ajang pertarungan di rumah ki Pawaka ini. Setelah selesai menolong ki Narotama hingga keadaannya menjadi lebih baik Mahesa melanjutkan menyalurkan hawa murni ke orang berikutnya yakni ki Darpa. Setelah itu ki Gumilang hingga ketiga sesepuh itu telah tertolong untuk sementara waktu. Tenaga Mahesa terkuras habis untuk melakukan pertolongan pada para sesepuh itu.
“Kalian lihat yang mulia ki Wajrapani, Danar dan ponakannya? ” tanya Mahesa.
“Kami melihat mereka sebelum kami roboh terluka. Ki Wajrapani terlempar kearah pendopo. Danar terlempar ke luar halaman. Kalau Sadawira aku tidak lihat.” ujar ki Narotama.
“Hmmmm...Aku coba cari di bagian pendopo. Kalian cari Danar dan ponakannya!” ujar Mahesa yang sudah sangat kepayahan akibat mengeluarkan begitu banyak tenaga untuk menyalurkan hawa murni kepada Savitri dan ketiga sesepuh padepokan gunung Lawu.
Ketiga sesepuh padepokan gunung Lawu yang sudah agak mendingan keadaan tubuh mereka mulai ikut mencari. Akhirnya mereka menemukan ki Wajrapani dalam keadaan tak sadaran diri. Mereka menyadari bahwa ketua padepokan gunung Lawu itu terluka parah. Sementara mereka sangat sedih menemukan tubuh Danar yang telah terpisah dari kepalanya.
“Kita jangan memberi tahu dulu Savitri bahwa suaminya telah tewas.” Ujar Mahesa.
“Iya lebih baik begitu. Karena dia harus memulihkan kondisinya. Kalau pikirannya kacau makin memperburuk keadaan.”
“Kita makamkan saja dia disini.” ucap Mahesa lagi.
Mereka kemudian segera menguburkan Danar di halaman samping rumah ki Pawaka. Setelah itu Ketiga sesepuh yang sudah mulai pulih karena sebenarnya luka dalam mereka tidak begitu parah mulai menyalurkan hawa murni mereka secara bergantian untuk memberi pertolongan pada ki Wajrapani. Ini dilakukan semata agar peredaran darah dan udara ditubuh ketua mereka itu pulih dan berjalan normal. Meski butuh seorang tabib yang mumpuni untuk menyembuhkannya.
“Kalian tunggu disini aku akan cari tabib dan roda pedati untuk membawa yang mulia kembali ke padepokan. Aku juga telah menyelamatkan Savitri. Sayang Danar dan ponakannya entah di mana.”
Sementara Mahesa pergi mencari orang yang mau menyewakan roda pedatinya untuk memuat ki Wajrapani dan putrinya Savitri pulang ke padepokan gunung Lawu. Dia juga mencari tabib yang bisa diandalkan untuk mengobati luka dalam ki Wajrapani dan Savitri. Tentu saja Mahesa harus mencari uang buat membayar semua itu. Bukan hal yang terlalu sulit bagi Mahesa karena dengan sifat jahatnya yang tidak mengenal dosa tidak menjadi pantangan baginya untuk mencuri atau merampok orang kaya. Dia melakukan semua itu demi untuk menarik hati Savitri yang telah kehilangan suaminya. Tapi untuk sementara Mahesa meminta kepada para sesepuh untuk tidak memberi tahu Savitri soal kematian Danar. Dan tentu saja Mahesa akan merahasiakan sepenuhnya penyebab kematian Danar suami Savitri dari siapapun.
“Aku sudah dapat roda pedati yang ditarik kerbau. Aku juga telah menemukan Tabib yang mau ikut kita sampai di padepokan. Kita bawa yang mulia ki Wajrapani dan Savitri kembali ke padepokan sambil diobati oleh tabib yang aku temukan.”
“Savitri ada dimana?” tanya ki Gumilang.
“Dia aku tinggal di penginapan.”
“Bagaimana keadaanya?”
“Dia dalam keadaan sadar. Tapi tubuhnya lemah karena luka dalam. Kita menginap dulu semalam untuk memulihkan tubuh kita. Baru besok pagi kita pulang ke padepokan gung Lawu.”
“Baiklah...”
***
Mahesa dan ketiga sesepuh padepokan gunung Lawu mengangkat tubuh ki Wajrapani yang masih tak sadarkan diri ke kamar tidur yang disewa Mahesa di penginapan ini. Dia ditempatkan di kamar Savitri.
“Ayah tak sadarkan diri.” Guman Savitri yang masih lemah melihat ayahnya terbaring.
“Iya savitri. Sementara Danar tidak kami temukan. Mungkin dia mengejar Dewa Maut yang katanya lari akibat terluka. “
“Oh semoga kakang Danar selamat. Kalau Sadawira?”
“Dia juga tidak kami temukan nak Savitri.” Ujar ki Narotama.
“Aku khawatir dengan anak itu. Aku sempat melihat dia terlempar kena pukulan Dewa Maut.”
“Tenang Savitri. Berdoalah agar ayahmu bisa sembuh. Juga Danar dan Sadawira bisa ditemukan.” Kata Mahesa dengan nada bijak.
“Terima kasih atas semua bantuan kamu Mahesa.”
Savitri merasa sangat berterimakasih karena Mahesa begitu banyak membantunya saat ini. Terbayang dulu saat masih remaja Mahesa pernah menyatakan suka padanya dan Savitri menolak karena dia hanya ingin punya kekasih seorang pendekar gagah perkasa. Sedang Mahesa dulu hanya anak seorang tukang masak padepokan yang tidak bisa ilmu beladiri sama sekali. Kemudian Mahesa pergi menghilang dari padepokan dan Savitri pernah mendengar bahwa lelaki itu telah menjadi seorang pendekar. Ketika mereka bertemu lagi Mahesa sempat kembali mengutarakan cintanya dan Savitri lagi-lagi menolak karena dia telah jatuh cinta pada Danar kakak seperguruannya.
Bersambung
684Please respect copyright.PENANAfJ1oVL4Uk6