Terdengar tawa kecil yang pahit dari Anisa. "Ngajak cowok tipe kayak Dimas ke dokter untuk masalah 'begituan'? Mending aku minta dia naik gunung Everest sambil telanjang kaki, Astrid. Gengsinya setinggi langit."
Ada kebenaran dalam kata-kata Anisa yang membuat Astrid terdiam sejenak. Pria generasi Dimas memang terkenal dengan harga diri yang seringkali menjadi penghalang untuk mencari bantuan, terutama untuk masalah yang dianggap menyentuh kejantanan mereka.
"Lagian," Anisa melanjutkan dengan suara yang kini terdengar lebih sendu, "masalahnya mungkin bukan di fisik. Tau nggak, aku pernah iseng ngecek history browser laptopnya..."
Astrid langsung duduk tegak, instingnya sebagai pendengar setia curhat aktivasi penuh. "Terus?"
"Dia sering buka situs... yah, kamu tahu lah. Dengan model-model yang usianya pasti nggak jauh dari kita. Jadi sepertinya dia masih punya hasrat, cuma... mungkin bukan lagi ke aku."
Kata-kata itu menggantung di udara kamar kami, berat dan menyesakkan. Aku melirik Astrid yang kini menggigit bibir bawahnya—kebiasaannya saat merasa prihatin. Di layar TV yang dijeda, wajah sang aktor Korea masih tersenyum penuh harapan, tak sadar akan drama kehidupan nyata yang jauh lebih rumit dari naskah yang dimainkannya.
"Anisa," Astrid berbicara setelah jeda yang cukup panjang, "kamu pernah coba bicara langsung sama dia soal ini? Bukan cuma tentang frekuensinya, tapi tentang perasaan kamu yang merasa dia sudah nggak bergairah sama kamu?"
Terdengar helaan napas dari seberang telepon. "Aku takut, Astrid. Takut kalau aku tanya, dia malah ngaku kalau emang udah nggak tertarik sama aku. Aku bingung harus gimana. Dulu waktu nikah, aku pikir perbedaan usia kami bukan masalah kalau kami saling cinta dan saling memahami. Dia udah mapan, aku masih muda dan bisa merawat dia. Tapi ternyata... ada hal-hal yang nggak kepikiran."
Pembicaraan mereka makin menarik buat aku yang tadinya nggak peduli sama obrolan mereka. Diam-diam aku menyimak percakapan mereka dengan lebih serius. Aku pernah ketemu beberapa kali sama Anisa. Orangnya cantik dan anggun. Tubuhnya juga cukup menarik di usia dia sekarang ini. Meskipun keindahan tubuhnya itu ditutupi sama busana muslimah yang cukup syar'i, tapi aura kecantikannya tetap terpancar. Sejujurnya, aku kadang tertarik melihat kecantikan Anisa dan keindahan tubuhnya. Dada dan pinggulnya yang menonjol serta lekuk liku tubuhnya yang proporsional tak bisa disembunyikan sepenuhnya oleh gamis longgarnya.
Astrid pun lanjut ngobrol sama Anisa, mencoba memberikan semangat dan saran-saran yang mungkin bisa membantu. “Mungkin kamu bisa coba ngajak dia liburan berdua, Nis. Biar suasana hati dia lebih rileks dan kalian berdua bisa lebih mesra.” usul Astrid.
Anisa terdengar menghela napas. “Udah aku coba, Ast. Tapi tetep aja dia kayak nggak ada gairah. Aku mulai bingung harus gimana lagi.”
Aku pun jadi ikutan mikir, kayaknya masalah kayak gini emang nggak bisa dianggap sepele. Tapi ya, namanya juga hubungan suami-istri, pasti ada pasang surutnya. Tapi, mendengar keluhan Anisa, aku jadi merasa kasihan sekaligus penasaran. Bagaimana bisa seorang wanita secantik dan seanggun Anisa merasa tidak diinginkan oleh suaminya sendiri?
Sambil terus nyimak obrolan mereka, aku pun mulai menghayalkan Anisa. Andai saja wanita cantik itu mau, aku yakin bisa memberinya kepuasan yang selama ini dia cari. Aku membayangkan bagaimana rasanya bisa dekat dengannya, memberikan perhatian yang dia butuhkan, dan membuatnya merasa diinginkan lagi.
516Please respect copyright.PENANA249xX6cdsz
Astrid dan Anisa terus berbicara, suara mereka mengalun pelan di kamar yang kini dipenuhi oleh keheningan yang lebih dalam. Aku, yang tadinya hanya mendengarkan sambil lalu, kini benar-benar terserap dalam percakapan mereka. Ada sesuatu yang menggelitik di benakku, sesuatu yang seharusnya tidak boleh ada—tapi entah mengapa, semakin kucoba mengusirnya, semakin kuat pula bayangan itu muncul.
"Astrid, aku nggak tahu harus gimana lagi," suara Anisa terdengar semakin lemah, seperti seseorang yang sudah kehabisan energi untuk melawan. "Aku nggak mau cerai, tapi aku juga nggak bisa terus-terusan begini. Aku butuh... aku butuh sesuatu yang bisa bikin aku merasa masih diinginkan."
Astrid menghela napas panjang, matanya menatapku sejenak sebelum kembali fokus pada ponselnya. "Nis, kamu yakin nggak mau coba konseling? Mungkin ada hal yang bisa dibantu sama profesional."
"Konseling?" Anisa terdengar ragu. "Aku nggak yakin Dimas mau. Dia tipe orang yang nggak percaya sama hal-hal kayak gitu. Lagian, aku nggak mau orang lain tahu masalah rumah tangga kami."
Aku merasa ada ketegangan di udara, seperti sesuatu yang belum terungkap tapi sudah terasa begitu dekat. Astrid mencoba memberikan saran-saran lain, tapi aku bisa merasakan bahwa Anisa sudah berada di titik yang sulit. Dan entah mengapa, aku merasa ada tanggung jawab untuk membantu—meski sebenarnya ini bukan urusanku.
"Astrid," tiba-tiba Anisa berbicara lagi, suaranya lebih pelan dari sebelumnya. "Aku... aku pernah kepikiran sesuatu. Tapi aku nggak berani ngomong sama siapa-siapa."
Astrid terdiam sejenak, lalu bertanya dengan hati-hati, "Apa itu, Nis?"
Ada jeda yang panjang sebelum Anisa akhirnya menjawab, suaranya hampir berbisik. "Aku pernah kepikiran untuk... cari pelarian. Tapi aku nggak pernah berani. Aku takut, tapi di sisi lain, aku juga nggak tahan terus-terusan begini."
Astrid terlihat kaget, matanya membesar. "Nis, kamu nggak serius kan? Itu bisa bahaya, lho. Buat kamu, buat Dimas, buat semuanya."
"Aku tahu, Ast. Tapi aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku nggak mau nyakitin Dimas, tapi aku juga nggak bisa terus-terusan ngerasa kayak gini. Aku butuh... aku butuh seseorang yang bisa bikin aku merasa berharga lagi."
Aku merasa jantungku berdegup kencang. Ada sesuatu dalam kata-kata Anisa yang membuatku merasa penasaran. Aku mencoba mengalihkan perhatianku kembali ke ponselku, tapi pikiran itu terus mengganggu. Bagaimana jika...?
Tiba-tiba, Astrid menatapku dengan tatapan yang aneh, seperti dia bisa membaca pikiranku.
"Maaf Nisa, tunggu sebentar ya. Aku mau ke toilet dulu. Nanti lanjut lagi abis aku dari toilet!” Sahutnya sambil terus menatap tajam wajahku
“Oke Astrid!” Sahut Anisa.
Aku berpura-pura sibuk dengan twitwar di ponselku.
“Yang, kamu dengerin obrolan kita?" tanyanya dengan nada yang membuatku merasa bersalah.
"Aku... mana peduli aku dengan obrolan ibu-ibu. Alu," jawabku, mencoba bersikap santai. "Kenapa?"
Astrid menghela napas. "Oh syukurlah kirain kamu dengar. “
ns 15.158.61.20da2