ZAHRA POV
Aku masih berdiri di depan halaman rumah milik Hanum dan Ustadz Hilman saat mobil suamiku perlahan pergi menjauh. Beberapa saat lalu Mas Azam berpamitan untuk pulang lebih dulu setelah kajian selesai, suamiku itu mengijinkanku untuk menginap di sini semalam lagi. Awalnya Mas Azam sedikit keberatan, tapi dengan dibantu oleh Hanum dan Ustadz Hilman, pada akhirnya aku tetap diperbolehkan untuk menginap. Rencananya besok siang Mas Azam akan kembali datang menjemputku.
“Ayo masuk Zahra, sudah malam, udara di sini akan semakin dingin selepas magrib.” Suara Hanum dari depan pintu rumahnya mengagetkanku.
“Eh, i-iya Num…” Aku berbalik badan dan mengikuti Hanum masuk ke dalam rumah.
“Ra, setelah ini kita makan dulu ya. Aku sudah masak banyak buat kita.” Ujar Hanum sambil terus melangkah menuju dapur, aku mengekor di belakangnya.
“Aku masih kenyang sebenarnya Num.” Kataku.
“Kamu itu tamu di sini, sebagai tuan rumah yang baik, aku wajib memperlakukanmu sebagai seorang Ratu. Mana ada ratu yang kelaparan? Hihihihi..”
“Ah kamu bisa aja Num.” Sahutku menanggapi candaan teman kuliahku itu.
Hanum mulai mempersiapkan beberapa peralatan makan untuk di bawa ke ruang tengah, tempat dimana ruang makan yang bersebelahan langsung dengan ruang tamu berada. Sejenak kupandangi tubuh Hanum yang terbalut kaftan tipis warna gelap. Aku baru menyadari jika sahabatku itu rupanya sama sekali tak mengenakan pakaian dalam, sinar cahaya lampu di ruangan bisa menembus tipisnya kain kaftan yang membalut tubuhnya. Dari belakang aku bisa menyaksikan jelas bagaimana lekuk pinggul dan bulatnya pantat Hanum.
“Num, kamu nggak pake daleman ya?” Tanyaku tanpa filter.
“Heheheh, tau aja kamu Ra. Iya, kalo di rumah kayak gini Mas Hilman melarangku memakai daleman, kurang sexy katanya.” Jawab Hanum seraya menoleh ke arahku.
“Ouh….” Sahutku seolah itu bukan masalah besar bagiku.
Sesaat setelah Hanum telah menyiapkan makanan di atas meja, Ustadz Hilman muncul dari balik kamar. Pria itu tersenyum ramah saat kamu saling bertatapan mata, entah kenapa aku jadi merasa canggung, apalagi tadi saat kajian Hanum terang-terangan mengatakan kalau suaminya itu begitu tertarik padaku.
“Wah makan besar nih!” Celetuk Ustadz Hilman saat menarik kursi untuk dirinya sendiri dan menatap berbagai lauk pauk sudah tersedia di atas meja makan.
“Kan kata Abi kalau ada tamu kita harus menjamu dengan sebaik mungkin.” Ujar Hanum seraya melirik genit Ustadz Hilman. Sahabatku itu menuangkan segelas air putih untuk sang suami, tanpa malu-malu aku bisa melihat jemari Ustadz Hilman meremas pantat Hanum. Aku terkesiap, canggung sekaligus kaget menyaksikannya.
“Ahhh, kamu itu nggak cuma cantik, tapi juga pintar.” Puji Ustadz Hilman sambil terus meremasi pantat istrinya. Hanum tertawa geli, sama sekali tak risih meskipun aku menyaksikannya dari seberang meja.
“Eh, kok kontol Abi udah ngaceng sih? Hmmm, ini ngaceng gara-gara aku atau gara-gara Zahra?”
DEG!
Jantungku seolah berhenti berdetak untuk beberapa saat. Ucapan Hanum benar-benar tidak terkontrol, bukan hanya ucapannya saja karena dari tempat dudukku aku bisa melihat gerak tangannya sedang menyasar selangakangan Ustadz Hilman, mengelus, atau bahkan mungkin meremasnya. Pasangan suami istri itu seolah tak mempedulikan kehadiranku saat ini, mereka berdua begitu vulgar mempertontonkan kemesraan, atau lebih tepatnya tindakan cabul di hadapanku. Apakah ini yang ingin ditunjukkan Hanum padaku?
“Umi, udah dong, nggak enak dilihat Zahra tuh.” Celetuk Ustadz Hilman seraya melirik ke arahku, aku tau ucapannya hanya basa-basi semata karena datri ekspresi wajahnya yang begitu menikmati kenakalan jemari sang istri.
“Ups, sorry…Hihihihi..” Hanum menyudahi aksi mesumnya dan langsung duduk di sampingku.
Selama makan malam kami terlibat perbincangan ringan. Hanum dan Ustadz Hilman silih berganti melempar guyonan-guyonan segar, tentu masih seputar selangkangan untuk mencairkan suasana. Detik ini rasa hormatku pada Ustadz Hilman berasa luntur, pria yang kukagumi karena kedalaman ilmu agama kini justru berubah menjadi sosok pria amoral di mataku. Ucapan-ucapannya yang penuh makna selama memimpin kajian berubah menjadi candaan mesum sekelas kuli bangunan. Alih-alih membuatku nyaman, aku justru semakin kikuk berada di sini, apalagi Hanum juga tak kalah vulgarnya.
“Maaf ya Ra kalau kami terlalu terbuka seperti ini, kami berdua menganggap kamu adalah sahabat dekat, jadi akan lebih nyaman kalau seperti ini.” Ujar Ustadz Hilman seolah tau apa isi kepalaku. Aku meraih segelas air minum dan menenggak isinya hingga habis untuk mengurai kegugupanku.
“I-Iya Ustadz, nggak apa-apa, mungkin karena saya belum terbiasa saja.” Kataku sedikit tergagap.
“Abi, udah dong basa-basinya. Katanya mau ngomong penting sama Zahra.” Ujar Hanum yang duduk di sebelahku. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. Ada apalagi ini? Jangan-jangan Hanum tadi serius dengan ucapannya kalau Ustaz Hilman berminat untuk meminangku. Gawat!
“Ah iya sampai lupa Mi…”
Ustadz Hilman bangkit dari tempat duduknya dan melangkah mendekatiku. Darahku berdesir saat pria berbadan tegap itu sudah berada di dekatku, aroma wangi parfum maskulin langsung menyergap indera penciumanku.
“Jadi begini Zahra, ada seseorang yang ingin bertemu denganmu malam ini.” Ujar Ustadz Hilman.
“Bertemu dengan saya? Siapa?” Tanyaku, aku kembali menoleh ke arah Hanum, sahabatku itu hanya tersenyum.
Belum sempat mendapat jawaban, tiba-tiba dari ruang tamu muncul sosok yang selama ini aku hindari. Ahmad berjalan tenang dengan senyum mengembang di wajahnya. Bak disambar petir di siang bolong, aku terperanjat kaget bukan main saat adik iparku itu kini duduk di seberang meja. Aku menatap tajam wajah Hanum pun demikian juga dengan Ustadz Hilman.
“Apa-apaan ini?!” Hardikku seraya mengangkat tubuhku dari atas kursi. Hanum memegangi lenganku, bermaksud untuk menahanku. Sekali lagi kutatap tajam wajah sahabatku itu.
“Tunggu dulu Ra, aku bisa jelasin. Ini demi kebaikanmu dan Azam.” Ujar Hanum.
“Hah?! Apa maksudmu Num?!” Nada suaraku kembali meninggi. Segala kemarahan dalam diriku tinggal menunggu waktu untuk segera meledak saat ini juga.
“Ini semua adalah ideku, Aku yang meminta tolong Ustadz Hilman agar mempertemukan denganmu Ra. Selama ini kamu selalu menghindariku, aku tidak punya cara lain agar bisa berbicara dengamu.” Akhirnya Ahmad membuka mulutnya. Aku bahkan tak menyangka jika suami Amira itu mengenal Ustadz Hilman.
“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi! Lepas! Aku mau pergi dari sini!” Kuhempaskan tangan Hanum yang masih memegangi pergelanganku dengan sangat kasar. Niatku sudah bulat untuk segera pergi dari rumahnya.
“Kalau kamu pergi aku akan mengatakan semuanya pada Bang Azam tentang hubungan kita.” Langkah kakiku langsung terhenti saat mendengar ancaman dari Ahmad. Aku berbalik badan, seraya menatapnya tajam penuh kemarahan. Segala aib perselingkuhanku seolah sedang diumbar di hadapan Hanum dan Ustadz Hilman, harga diriku telah terkoyak.
“Jahat kamu Ahmad! Demi Allah aku nggak ridho kalau sampai kamu melakukan itu!” Mataku mulai berkabut.
“Tenang dulu, kita bisa bicarakan masalah ini dengan hati terbuka dan kepala dingin. Tidak perlu ada pertengkaran karena semua masalah pasti ada jalan keluarnya.” Ujar Ustadz Hilman mencoba menengahi. Hanum mendekatiku dengan wajah khawatir.
“Ayo kita duduk dulu Ra, kamu harus tenang ya.” Kata Hanum sambil berusaha mengelus pundakku, untuk kedua kalinya kusingkirkan tangan sahabatku itu. Bagiku Hanum telah menjebakku hari ini, dia berkomplot dengan suaminya untuk mempertemukan aku dengan Ahmad.
Ustadz Hilman mengajak Ahmad ke ruang tamu, aku dan Hanum mengekor di belakang. Kami berempat duduk dia atas sofa masih dalam keadaan yang begitu dingin. Emosiku belum benar-benar reda. Selang beberapa saat Ustadz Hilman mulai bercerita tentang bagaimana dia bisa mengenal Ahmad, adik iparku. Rupanya mereka berdua dulu adalah satu alumni pondok pesantren, kedekatan mereka makin erat saat keduanya memutuskan untuk menjalin kerjasama bisnis beberapa tahun terakhir. Tanpa aku ketahui sebelumnya, Ahmad ternyata telah mengenal Ustadz Hilman jauh sebelum aku mengikuti kajian.
“Ahmad hanya ingin benar-benar menyelesaikan semuanya Ra. Saya tau hubungan kalian sudah salah dari awal, tapi untuk menghindari hal yang lebih buruk lagi nggak ada salahnya kamu menuruti permintaannya.” Ujar Ustadz Hilman setelah menjelaskan hubungannya dengan adik iparku itu.
“Permintaan apa lagi?! Ahmad, kamu sudah janji waktu itu akan melupakan hubungan kita kalau aku mau…” Suaraku tercekat, akal sehatku seolah mengerem barisan kata selanjutnya. Aku masih malu mengakui perzinahanku dengan Ahmad di hadapan Ustadz Hilman dan Hanum.
“Aku ingin menjadi suamimu walaupun hanya satu malam saja.” Ujar Ahmad tanpa malu-malu.
“Kamu sudah gila ya?! Aku sudah bersuami! Kamu juga sudah beristri!” Emosiku kembali meninggi setelah mendengar permintaan dari Ahmad. Sinting!
“Zahra, kalian bisa melakukan nikah mut’ah. Pernikahan kontrak, halal sesuai syariat agama islam.” Ucap ustadz Hilman memberi penjelasan yang sama sekali tak bisa meredakan emosiku.
“Apapun istilahnya, saya nggak akan mau menjadi istrinya meskipun itu cuma satu hari saja! Kalian berdua juga tidak bisa memaksa saya!” Aku kembali menatap tajam wajah Hanum dan Ustadz Hilman. Dalam hati kecilku mereka berdua telah bersengkokol demi melancarakan aksi Ahmad.
“Oke, kalau kamu nggak mau melakukannya. Aku akan segera memberitahu Bang Azam, buar hancur semuanya!” Ucap Ahmad dengan nada serius.
“Ra…Coba pikirin dulu, kalau sampai hubunganmu dengan Ahmad diketahui oleh Azam maka akan lebih banyak hal yang mesti kamu korbankan. Bukan hanya kamu, tapi juga kedua anakmu.”
Hanum kembali mencoba mempengaruhiku, tapi kali ini ucapannya berhasil membuatku sedikit goyah. Berbagai pikiran buruk jika Ahmad benar-benar mengatakan semuanya pada suamiku perihal hubungan terlarang kami menjadi momok menakutkan dalam diriku. Aku tidak mau semua itu terjadi. Di seberang tempat dudukku, kulihat senyum kemenangan tersungging di bibir Ahmad. Aku muak dengan senyum itu!
“Bagaimana mungkin aku mempercayaimu lagi? Tidak ada jaminan kau akan tutup mulut meskipun aku mau menikah denganmu!”
“Ahmad akan bersumpah di atas Al Quran, dia akan berhenti mengganggumu dan keluargamu, serta akan melenyapkan semua bukti-bukti perzinahan kalian.” Sahut Ustadz Hilman.
“Luar biasa kalian ya, masih berani melibatkan agama untuk urusan kayak gini!” Sindirku.
“Semua terserah padamu Ra, tapi satu yang pasti, aku serius dengan semua ucapanku.” Ujar Ahmad.
Aku seperti berada di sebuah persimpangan dan kesulitan untuk mengambil keputusan. Semuanya beresiko tinggi, aku tau sejak awal Ahmad tak akan mau melepaskanku, tapi yang aku tak sadari bahwa situasinya akan sepelik ini. Tak menurutinya sama saja membuka pintu kehancuran rumah tanggaku, tapi aku juga tak bisa jadi istri dari adik iparku sendiri.
“Jadi bagaimana Ra? Apa keputusanmu?” Desak Ustadz Hilman.
“Baik, aku mau melakukan nikah mut’ah dengan Ahmad tapi dengan satu syarat.” Kataku. Mendengar itu wajah Ahmad seketika berbinar, senyum besar tergambar di wajah yang paling kubenci saat ini.
“Apapun syaratnya pasti akan aku penuhi asal kamu mau jadi istriku Ra!” Kata Ahmad antusias.
“Aku mau dia mengucap sumpah di atas Al Quran lebih dulu sebelum ijab qabul.” Ujarku dingin.
“Setuju!” Sahut Ahmad tanpa pikir panjang.
“Baik, sepertinya masalah ini sudah ada jalan keluarnya. Sekarang biarkan saya dan Hanum yang mempersiapkan semuanya.” Ujar Ustadz Hilman.
Aku terduduk lemas di atas sofa, keputusan besar harus aku ambil untuk mengakhiri neraka ini. Mungkin ini adalah cara Allah menghukumku atas dosa-dosa masa laluku. Ahmad terlihat begitu bahagia, wajahnya sumringah karena ancamannya berhasil membuatku luluh. Aku hanya berharap semua ini akan segera berakhir dan aku bisa kembali lagi menjalani rumah tanggaku bersama Bang Azam dengan tenang.
11419Please respect copyright.PENANAHzo1XWdeL9
BERSAMBUNG
Cerita UKHTY 2 - RAHASIA ZAHRA sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
11419Please respect copyright.PENANAgFXLkCHXJ8