ZAHRA POV
Jujur aku kaget saat mendapati adikku, Amira, sudah berada di beranda rumahku sepagi ini. Tak biasanya dia datang ke rumahku tanpa mengabari terlebih dahulu, meskipun rumah kami berdua tak berjarak jauh tapi hubungan kami tak sedekat kakak adik yang lainnya. Kami hanya ngobrol jika memang ada urusan penting yang menyangkut keluarga besar, selain itu sejak kecil kami tak pernah merasa dekat satu sama lain. Mungkin ini terjadi karena setelah lulus SD aku langsung dikirim oleh kedua orang tuaku untuk menuntut pendidikan di sebuha pondok pesantren khusus perempuan di kota sebelah. Aku pulang hanya sebulan sekali, intensitas pertemuanku dengan Amira sejak saat itu sangatlah terbatas. Maka tak heran jika kami berdua seperti berjarak hingga tumbuh dewasa.
Tapi bukan itu yang membuatku cemas saat ini, pikiranku justru menerawang tentang kejadian semalam saat aku bersama suaminya, Ahmad. Jangan-jangan perzinahan itu sudah diketahui Amira dan sekarang dia berniat untuk melabrakku. Tapi kenapa wajahnya sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, masih seperti biasanya, tenang dan dingin. Tak mau terkungkung oleh segala macam kekhawatiran dan pikiran buruk, bergegaslah aku membuka pintu rumah untuk menemui Amira.
"Mir? Tumben ke sini pagi-pagi, ada apa?" Sapaku. Amira menolehku untuk sesaat sebelum kembali melayangkan pandangannya ke taman rumahku yang ada di bagian depan beranda. Aku ingat sebelum berangkat kerja tadi, Mas Azam sempat menyiraminya beberapa saat.
"Aku mau ngobrol Mbak, kamu ada waktu?" Suaranya datar dan tenang, tapi ini justru membuat kekhawatiranku membuncah. Jangan-jangan benar dugaanku jika Amira sudah mengetahui hubunganku dengan Ahmad.
"Ngobrolin apa, kok keliatannya serius?" Tanyaku sembari bersikap biasa saja agar tak nampak ketakutanku. Amira kembali menoleh ke arahku.
"Mas Ahmad, dia udah selingkuh, dia tidur dengan wanita lain Mbak." Jantungku seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat, ternyata benar dugaanku, Amira sudah mengetahuinya. Aku harus bersiap menerima sumpah serapah dari adik kandungku ini.
"Aku capek Mbak...capek..."
Tanpa kuduga tiba-tiba Amira mengahamburkan tubuhnya padaku, memelukku sembari berderai air mata. Sejenak aku hanya terpaku, mencoba mencerna apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Kenapa Amira justru memelukku, bukankah dia sudah tau jika suaminya berselingkuh dengan wanita lain? Atau mungkin ada satu hal penting yang belum diketahui oleh Amira jika wanita lain itu adalah aku?
"Sabar Mir...Sabar..." Kataku pelan sambil membelai kepala Amira yang tertutup hijab warna hitam, warna favoritnya.
"Aku pengen cerai aja Mbak."
"Hah? Udah gila kamu ya? Apa nggak bisa kalian ngomong baik-baik dulu?"
Aku tak menyangka keisenganku beberapa hari lalu akan berdampak besar pada keberlangsungan rumah tangga Amira dan Ahmad. Perasaan bersalah itu kembali menyeruak memenuhi rongga dadaku. Sesak, karena bukan hanya Mas Azam saja yang aku kecewakan, tapi juga adik kandungku sendiri.
"Aku nggak mungkin hidup satu atap dengan pria brengsek seperti Ahmad Mbak!" Suara Amira semakin meninggi, emosinya masih belum benar-benar reda.
"Tenang dulu Mir, jangan ambil keputusan atas dasar emosi sesaat. Aku yakin semua akan baik-baik saja kalau kamu bisa berpikir jernih." Kataku sok bijak, Amira bergeming, isak tangisnya masih sesekali kudengar.
"Lebih baik kita masuk ke dalam dulu Mir, nggak enak diliatin tetangga kalau kamu nagis kayak gini."
Amira menuruti perintahku, kami berdua akhirnya masuk ke dalam rumah dan kembali melanjutkan percakapan di sana. Amira menumpahkan segala keluh kesahnya perihal tingkah laku Ahmad yang semakin lama semakin berubah. Amira sudah mencurigai sejak lama jika Ahmad memiliki wanita lain di luar sana, satu hal yang tak diketahuinya adalah sosok wanita tersebut adalah aku.
Aku seperti ditampar berkali-kali oleh kesedihan hati Amira hingga adikku itu berniat untuk mengakhiri pernikahannya bersama Ahmad. Aku hanya bisa mendengarkan sambil sesekali memberinya nasehat agar tak terlalu melibatkan emosinya, setidaknya itu yang bisa aku lakukan untuk menebus kesalahanku, menyelamatkan rumah tangganya dari kehancuran.
Di sisi lain, kehadiran Amira pagi ini makin membulatkan tekadku untuk menjauhi dan menjaga jarak dengan Ahmad. Aku tidak boleh menemuinya lagi, meskipun Ahmad telah berjanji untuk menjauhiku juga, tapi firasatku berkata lain. Ahmad bukan tipe pria yang mudah untuk menyerah.
***
Apa yang terjadi padaku beberapa waktu ini membuatku mendapat pelajaran yang sangat berharga. Segala tindak tandukku akan memiliki dampak baik pada diriku sendiri maupun pada orang-orang terdekatku. Aku sekarang jadi lebih mawas diri akan segala macam godaan. Seperti dugaanku, Ahmad belum mau menyerah untuk kembali mendekatiku. Berkali-kali suami Amira itu mengirimiku pesan singkat hingga melakukan panggilan telepon tapi tak sekalipun aku tanggapi.
Untuk menghindarinya, sejak beberapa hari terakhir ini aku mengikuti sebuah kajian islami di sebuah pondok pesantren yang dikelola oleh sebuah yayasan milik teman masa kuliahku dulu, Hanum. Kajian itu sendiri dipimpin langsung oleg suami Hanum, Ustadz Hilman. Berada di lingkungan yang sehat nyatanya bisa membuatku lebih tenang, apalagi di tempat ini aku mendapatkan teman-teman baru yang menurutku bisa memberikan aura positif padaku.
Ustadz Hilman sendiri dalam tiap kajiannya selalu mengedepankan pendekatan personal. Semua permasalahan kehidupan yang biasa aku temui sehari-hari dibahas tuntas di tempat ini. Gaya penyampaian yang tenang dan terkadang ditambah dengan guyonan segar membuatku merasa tidaks edang digurui oleh orang asing. Aku nyaman berada di sini, bahkan aku juga mulai mengajak beberapa orang temanku dan Mas Azam untuk ikut ambil bagian dalam kajian.
Mas Azam awalnya sedikit malas namun sama sepertiku dulu, suamiku itu lambat laun mulai nyaman berada di sini. Bahkan aku bisa melihat kedekatannya dengan Ustadz Hilman, kebetulan suami Hanum itu juga seorang pengusaha sama seperti Mas Azam. Mereka berdua cukup intens mengobrol soal pekerjaan selepas kajian. Mungkin setelah ini aku juga akan mengajak Amira, siapa tau dengan mengikuti kajian agama suasana hatinya jadi lebih tenang.
"Suamimu sepertinya semakin betah ada di sini Ra." Ujar Hanum saat kami berdua menyiapkan minuman untuk para jamaah kajian.
"Alhamdulillah Num." Sahutku sambil tersenyum menanggapinya.
"Ra, aku mau tanya sesuatu tapi kamu jangan tersinggung ya." Aku meletakkan teko yang berisi teh hangat, perhatianku teralihkan pada Hanum.
"Mau tanya Hum, kok jadi serius gini sih?" Tanyaku.
"Ehhmm...Menurutmu suamiku menarik nggak?"
"Heh? Mak-Maksudmu Ustadz Hilman?" Aku sampai terbata-bata karena mencerna pertanyaan Hanum barusan.
"Iyalah, emang suamiku siapa lagi kalo bukan Mas Hilman?"
"Kenapa tiba-tiba nanya gini ih? Aneh banget tau." Runtukku sedikit kesal.
"Karena kata suamiku, kamu benar-benar menarik. Mas Hilman bahkan bilang kalo tubuhmu nafsuin banget. Hihihihihi..."
"Hah? Serius Ustadz Hilman bilang gitu sama kamu?"
"Serius, makanya aku penasaran apa kamu juga tertarik dengan suamiku?"
Gila! Hanum yang kukenal sebagai wanita alim, puteri seorang Kyai besar, istri dari Ustadz Hilman yang sangat kuhormati, bisa melontarkan pertanyaan sevulgar ini padaku.
"Ra, aku mau jujur, sebenarnya Mas Hilman punya istri lagi selain diriku." Aku makin terkejut.
"Ja-Jadi Ustadz Hilman melakukan poligami?" Aku makin tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.
"Iya, selain Aku, masih ada dua wanita lain yang jadi istri Mas Hilman." Hanum tanpa beban menceritakan seluk beluk rumah tangganya padaku.
"Kamu kenapa terkejut kayak gitu sih Ra? Poligami dibolehkan dalam agama islam, bahkan itu jadi ladang pahala bagiku dan istri-istri Mas Hilman yang lain." Lanjutnya mempertanyakan keterkejutanku.
"Bukan begitu maksudku Num, aku cuma baru tau ada wanita yang mau dimadu dan bahkan terlihat bahagia seperti dirimu." Hanum perlahan mendekatiku, bibirnya tersenyum.
"Kamu nggak pengen Ra?"
"Hah? Pengen apa nih maksudnya? Mas Azam punya istri lagi gitu? No! Aku nggak setegar dirimu Num." Tolakku dengan nada tinggi. Hanum masih saja tersenyum memandangi wajahku.
"Nggak, bukan itu maksudku Ra...." Hanum makin mendekatiku, tanpa kuduga jemarinya membelai pipiku dengan sangat lembut. Aku bergeming, kikuk mendapat perlakuan semanis itu dari seorang wanita.
"La-Lalu...?" Hanum mendekatkan bibirnya pada telingaku yang tertutup hijab seraya berbisik lirih.
"Kamu nggak pengen punya suami lagi? Mas Hilman benar-benar tertarik padamu." Aku mengrenyitkan dahi setelah mendengar ucapannya, reflek tubuhku mundur untuh menjauh dari Hanum.
"Kamu udah gila ya? Aku masih bersuami Num! Bagaimana mungkin aku bisa menikahi pria lain? Apalagi itu suamimu."
"Tenang dulu Ra, jangan emosi. Aku boleh jelasin lagi?" Entah kenapa ucapan yang terlontar dari bibir Hanum seperti menghipnotisku. Aku bahkan hanya terdiam dan tak berminat menuruti ketersingunganku.
"Aku tau kamu sudah bersuami, kita berdua sama-sama tau akan hal itu. Tapi yang aku maksudkan di sini adalah pernikahan mut'ah, nikah kontrak yang sesuai syariat agama." Lanjutnya menjelaskan.
"A-Aku masih belum mengerti maksudmu Num." Ujarku lirih.
"Sebelum aku lanjutkan penjelasanku, aku boleh tanya sesuatu padamu?" Aku mengangguk tanda persetujuan.
"Bagaimana kehidupan sex mu selama ini dengan Azam? Apa kamu happy?"
"Ya jelas aku bahagia, anakku sudah dua Num. Bagaiamana mungkin aku nggak happy untuk urusan ranjang?"
Dalam hati aku sempat mengutuki ucapanku barusan karena beberapa waktu lalu aku sempat tidur dengan pria lain yang disebabkan oleh kebosananku pada Mas Azam. Tap tak mungkin aku mengatakan kebenaran itu pada Hanum, aku tak mau dicap sebagai wanita gampangan, wanita gatel yang bisa tidur dengan lelaki manapun tanpa ikatan.
"Yakin kamu happy Ra? Kamu nggak pengen nyoba kontol lain?"
"Hanum???!" Sergahku saat mendengar kata-kata vulgar dan jorok terucap dari bibir Hanum.
"Ups sorry, hihihihi...."
"Kamu kenapa sih Num? Kenapa tiba-tiba kayak gini?" Tanyaku penasaran.
"Gini aja deh Ra, nanti setelah kajian kamu tinggal di sini dulu. Kamu harus lihat sesuatu yang baru." Ujarnya tak menjawab pertanyaanku.
"Sesuatu yang baru apaan?"
"Udahhh, pokoknya nanti setelah kajian kamu ijin sama suamimu untuk tinggal di sini dulu. Biar nanti aku juga yang bilang ke Azam. Okey?"
"Heh...?"
20287Please respect copyright.PENANAckhAnBXGdr
*BERSAMBUNG*
20287Please respect copyright.PENANAih9ih4UEZ1