Betapa hancur hati Savitri mengetahui bahwa ternyata Danar suaminya telah tewas. Para sesepuh Padepokan Gunung Lawu berterus terang kepada Ki Wajrapani ketua padepokan itu dan putrinya setelah dirasa waktunya telah tepat.
Berdua dengan Ki Wajrapani ayahnya Savitri pergi ke kadipaten Parwata. Di sana dia hanya bisa melihat kuburan sang suami di halaman rumah ki Pawaka yang masih porak poranda karena tidak ada yang mengurus.
Savitri masih berdiri di depan makam Danar, suaminya yang telah tiada. Hatinya remuk, seperti pecahan kaca yang tak mungkin bisa kembali utuh. Angin di kadipaten Parwata berhembus kencang, membawa suara-suara alam yang seakan turut merasakan kesedihan mendalam yang dirasakannya. Di sebelahnya, Ki Wajrapani, sang ayah, berdiri dengan sorot mata penuh kesedihan, namun ada tekad yang tersirat di balik wajahnya yang tegar.
"Ayah... kenapa semua ini terjadi?" Savitri berbisik pelan, suaranya hampir tenggelam di antara isak tangisnya.
Ki Wajrapani menghela napas panjang, seolah berusaha menenangkan diri sebelum mengatakan sesuatu yang berat. "Hidup memang penuh misteri, anakku. Kita tak bisa selalu mengendalikan nasib, tapi kita bisa menentukan bagaimana kita melanjutkan hidup."
Mendengar kata-kata ayahnya, Savitri hanya bisa menangis lebih keras. Kenangan bersama Danar, cinta sejatinya, membanjiri pikirannya. Mereka pernah berjanji akan hidup bersama, membangun keluarga, dan merawat anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Namun, semua itu kini hanya tinggal bayangan. Yang tersisa hanyalah kuburan Danar, suaminya yang mati terbunuh dalam tugas yang tak sempat diselesaikan.
Ki Wajrapani melihat putrinya dengan mata penuh keprihatinan. Di satu sisi, ia sangat memahami duka yang dirasakan Savitri. Di sisi lain, ia adalah kepala keluarga dan ketua padepokan yang harus memikirkan kelangsungan garis keturunan serta kedudukan keluarga mereka di rimba persilatan. Lebih dari itu, ia tak ingin melihat putrinya larut dalam duka yang berkepanjangan tanpa masa depan.
"Savitri," ucap Ki Wajrapani akhirnya dengan suara yang berat, namun penuh kasih sayang, "Aku juga kehilangan Danar, menantuku yang baik. Tapi... hidupmu belum berakhir. Kau masih muda, kau masih bisa memberi ayah seorang cucu yang akan meneruskan darah keluarga kita."
Savitri mengusap air mata di pipinya yang basah, bingung dan terluka oleh kata-kata ayahnya. "Ayah, aku... tidak bisa. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan hal seperti itu sekarang? Aku sudah kehilangan suamiku... Danar..."
"Aku tahu, putriku. Tapi dengarkan aku. Kau tidak perlu menjalani hidup dalam kesendirian selamanya. Kau tidak harus menanggung beban ini sendiri," Ki Wajrapani berhenti sejenak, menimbang-nimbang sebelum mengungkapkan niatnya. "Ada seseorang yang selalu mencintaimu, yang sejak lama menantikan kesempatan untuk bersamamu."
Savitri menatap ayahnya dengan bingung. "Maksud ayah siapa?"
"Mahesa," jawab Ki Wajrapani tanpa ragu. "Dia sudah lama menyimpan perasaan padamu. Sejak kalian remaja, hatinya hanya untukmu. Bahkan sampai sekarang, ketika usia kita semakin matang, dia tak pernah sekalipun menikah, karena tak ada perempuan lain yang mengisi hatinya selain dirimu."
Savitri terdiam. Nama Mahesa tidak asing baginya. Mahesa adalah salah satu pendekar muda berbakat dari Padepokan Gunung Lawu. Mereka dulu sering berlatih bersama, berbagi cerita, dan saling mengisi masa muda mereka dengan tawa. Namun, Savitri tak pernah melihat Mahesa lebih dari seorang sahabat—sampai sekarang. Ia tak pernah tahu bahwa pria itu menyimpan perasaan sedalam itu padanya.
"Tapi, ayah... aku... aku tidak bisa," suara Savitri bergetar. "Aku mencintai Danar. Bagaimana mungkin aku bisa berpikir untuk menikah lagi, apalagi dengan seseorang yang aku anggap teman sejak kecil?"
"Putriku," ujar Ki Wajrapani lembut namun tegas, "cinta memang tidak selalu berjalan sesuai kehendak kita. Tapi lihatlah dirimu, lihat keadaan kita sekarang. Kau masih punya kesempatan untuk membangun hidup yang baru. Mahesa adalah orang yang tepat. Dia mencintaimu, dan dia akan menjagamu dengan sepenuh hatinya."
Savitri menunduk, hatinya berkecamuk antara kesedihan dan kebingungan. Dia ingat betapa Danar adalah cinta sejatinya, seseorang yang mengisi hidupnya dengan kebahagiaan. Tapi kini, Danar telah tiada. Sementara itu, Mahesa, pria yang selalu berada di sisinya, ternyata menyimpan cinta yang tak pernah ia sadari. Di antara cinta yang hilang dan cinta yang menunggu, Savitri merasakan dirinya terperangkap dalam dilema yang besar.
"Mahesa..." gumamnya pelan, mengingat kembali tatapan lembut Mahesa setiap kali mereka bertemu. Selama ini, dia menganggap pria itu sebagai sahabat yang baik, seseorang yang selalu ada untuknya. Namun sekarang, dia sadar bahwa cinta Mahesa padanya jauh lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan.
Melihat kebimbangan di mata putrinya, Ki Wajrapani mencoba membujuk dengan lembut namun penuh keyakinan. "Mahesa adalah pria yang mulia. Dia tak akan pernah memaksamu. Tapi aku tahu dia akan mencintaimu dan menjaga dirimu, putriku. Kau berhak mendapatkan kebahagiaan lagi. Dan keluarga kita membutuhkan penerus, darah dari keturunanmu."
Savitri terdiam. Di dalam hatinya, masih ada bekas luka yang belum sembuh, rasa kehilangan yang begitu dalam. Namun, di balik itu, ada juga suara kecil yang mulai muncul, memberi harapan bahwa mungkin, di masa depan, dia bisa kembali merasakan kebahagiaan. Meski tak mungkin menggantikan Danar, mungkin Mahesa bisa menjadi sandaran barunya.
"Berikan dirimu waktu untuk berpikir, Savitri," kata Ki Wajrapani. "Tapi ingat, hidup terus berjalan. Dan di setiap langkah kita, ada pilihan yang harus kita buat."
Savitri mengangguk pelan, masih terdiam dalam pikirannya. Ia belum bisa memberikan jawaban pasti, namun benih keraguan mulai tumbuh. Apakah Mahesa benar-benar bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Danar? Dan apakah ia siap membuka hatinya untuk cinta yang baru, meski di tengah kesedihan yang masih menghantuinya?
Hari-hari yang akan datang akan menjadi penentu. Di antara kenangan masa lalu dan harapan masa depan, Savitri harus memilih jalannya. Dan sementara itu, Mahesa tetap menunggu, dengan cinta yang tak pernah pudar sejak masa remaja hingga sekarang.
***
Setelah segala budi kebaikan dan sikap manis serta tutur kata santun penuh daya pesona yang terus ditunjukan oleh Mahesa kepada Savitri sampailah mereka disuatu keadaan yang mengharuskan mereka menikah. Apalagi Ki Wajrapani ayah kandung Savitri terus mendorong putri tunggalnya untuk menerima lelaki yang telah banyak berjasa bagi keluarga dan padepokan mereka.
Tak ada alasan bagi Savitri untuk menolak apalagi dia sudah tahu bahwa suaminya telah tewas akibat pertarungan dengan Dewa Maut. Lagipula ayahnya berharap untuk mendapat cucu karena cucu satu-satunya Sadawira telah hilang tanpa kabar. Meski usia Savitri kini telah 40 tahun tapi Ki Wajrapani masih yakin putrinya itu masih bisa memberi keturunan setelah perkawinan dengan suami sebelumnya tidak beroleh anak. Savitri sedih bila mengingat kembali Danar suaminya.
Malam pertama setelah pernikahan itu terasa begitu sunyi dan tegang. Di dalam kamar yang remang-remang diterangi cahaya lilin, Savitri duduk di tepi ranjang, memandangi bayangannya yang terpantul samar di cermin tua di sudut kamar. Perasaan gelisah menguasai dirinya. Hatinya bergejolak, bimbang antara rasa hormat kepada Mahesa, suami barunya, dan bayangan masa lalu bersama Danar, suami yang telah tiada.
Di sisi lain, Mahesa, pria yang selama bertahun-tahun menyimpan cintanya dalam diam, kini berdiri di dekat pintu. Napasnya berat, penuh ketegangan yang tak terbendung. Malam ini adalah puncak dari segala mimpi dan hasrat yang telah ia pendam sejak remaja—Savitri, wanita yang selama ini ia cintai, kini telah menjadi istrinya. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada keraguan yang perlahan-lahan merayap di dalam dirinya.
Mahesa menarik napas dalam-dalam. Bayangan masa lalunya yang kelam terlintas di pikirannya—masa di mana dia sempat tersesat menjadi seorang penjahat pemetik bunga, hanya karena obsesinya kepada Savitri. Dia telah melalui banyak kegelapan, tapi takdir memberinya kesempatan kedua untuk menebus kesalahan dan menemukan jalan hidup yang lebih lurus. Kini, ia memiliki Savitri di sisinya, namun perasaan bersalah atas masa lalunya membuat hatinya berat.
“Savitri...” Mahesa akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang rendah, hampir berbisik. Ia melangkah perlahan ke arah istrinya, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Aku... aku tahu ini tak mudah bagimu."
Savitri menoleh, matanya memancarkan campuran antara kesedihan dan ketidakpastian. Mahesa bisa melihat dengan jelas beban yang masih dirasakan wanita itu. Rasa cinta yang ia miliki untuk Danar, suami pertamanya, masih kuat terasa di udara. Dan itu membuatnya sedikit gentar, karena ia sadar betul bahwa ia mungkin tak akan pernah bisa menggantikan posisi Danar di hati Savitri.
“Aku... merasa aneh,” Savitri berbisik, suaranya parau. “Aku menghormati engkau, Mahesa. Kau pria baik, dan aku tahu ayah berharap banyak pada kita. Tapi... aku tak bisa melupakan Danar begitu saja.”
Mahesa mengangguk pelan, hatinya dipenuhi empati. Ia mendekat, duduk di samping Savitri, merasakan kehangatan tubuh istrinya yang kini menjadi miliknya, namun sekaligus terasa begitu jauh. "Aku tak pernah ingin menggantikan Danar di hatimu, Savitri. Aku hanya ingin kau tahu... sejak dulu, hatiku selalu untukmu."
Savitri menunduk, menatap lantai dengan air mata yang menggenang di sudut matanya. Ia tahu betapa dalam cinta Mahesa padanya. Kisah cinta pria itu telah ia dengar dari banyak orang, bagaimana Mahesa tetap setia mencintainya meski ia menikah dengan Danar. Bahkan, Mahesa mengorbankan dirinya sendiri untuk membantu keluarga mereka, tanpa pernah menuntut balasan. Namun kini, meskipun ia telah menjadi istrinya, hati Savitri masih didera keraguan.
"Aku tahu, Mahesa," katanya dengan suara pelan. "Aku tahu kau telah menunggu lama. Tapi aku takut... aku tidak bisa memberimu apa yang kau harapkan."
Mahesa tersenyum tipis, meski dalam hatinya ada rasa getir. "Aku tidak mengharapkan apa-apa, Savitri. Cintaku padamu tak pernah menuntut. Aku hanya ingin berada di sisimu, menjagamu, seperti yang selalu kuinginkan sejak dulu."
Namun, meski kata-kata itu penuh ketulusan, di dalam hatinya Mahesa tak bisa menolak hasrat yang membara. Hasrat yang selama bertahun-tahun ia pendam, kini terasa begitu dekat untuk diraihnya. Ia telah mencintai Savitri sejak masa remajanya, dan kini wanita yang selama ini ia dambakan ada di hadapannya, menjadi istrinya. Darah mudanya yang dulu tersesat, kini bergolak kembali, mendorong dirinya mendekatkan diri pada Savitri.
Savitri, yang merasakan ketegangan itu, mulai merasakan perasaan campur aduk. Ada rasa cemas, tapi juga ada kehangatan yang perlahan-lahan menjalar di hatinya. Meski bayangan Danar masih kuat, kehadiran Mahesa yang begitu penuh kasih sayang mulai mengusik hatinya. Savitri ingat bagaimana Mahesa selalu ada untuknya, bagaimana ia tidak pernah meninggalkannya, bahkan ketika hidupnya penuh penderitaan.
“Aku... tidak tahu bagaimana harus memulai,” bisik Savitri dengan ragu.
Mahesa menunduk, wajahnya dekat dengan Savitri. "Kita tak perlu terburu-buru, Savitri. Aku akan menunggumu, seperti yang selalu kulakukan. Tak peduli berapa lama."
Namun, saat kata-kata itu terucap, tubuh Mahesa perlahan mendekat, seolah-olah dorongan batin yang telah lama ia tekan tak bisa lagi dibendung. Sentuhan lembut tangannya pada bahu Savitri membuat wanita itu tersentak, bukan karena ketakutan, tapi karena kehangatan yang aneh menjalar di kulitnya. Malam itu, keheningan perlahan berubah menjadi ketegangan yang memabukkan.
Savitri tak bisa menahan diri lagi. Sebagian dari dirinya ingin menolak, namun di sisi lain, ia juga merasakan sesuatu yang baru, perasaan yang lama terkubur di bawah kesedihan. Di bawah sinar lilin yang semakin redup, Mahesa meraih tangannya dengan lembut, memberikan ciuman pertama yang penuh rasa hormat dan kesungguhan. Dan Savitri, meski hatinya masih terbelah, merasakan desiran yang membuat tubuhnya lemah.
Malam itu, keduanya akhirnya menyerah pada hasrat yang tak lagi bisa dibendung. Mahesa, yang telah menahan cintanya begitu lama, dan Savitri, yang mulai menerima kehadiran suami barunya, terjerat dalam jalinan cinta yang kompleks—antara kenangan masa lalu dan harapan masa depan. Di tengah keheningan malam, keraguan berganti dengan penerimaan, meski bayangan Danar masih samar-samar melayang di antara mereka.
Namun, di balik semua itu, satu hal yang tak dapat dipungkiri—Malang Melintang nasib Savitri, ia telah kembali menemukan cinta, meski bukan dalam bentuk yang ia harapkan. Dan Mahesa, pria yang dulu tersesat oleh cintanya, kini akhirnya menemukan jalannya, bersama wanita yang selalu ia idamkan, meski ada harga yang harus dibayar oleh keduanya.
Pertama kali Mahesa membuka pakaiannya sendiri, kemudian membuka pakaian Savitri hingga terlihat pakaian dalam yang dikenakan sang wanita pujaan yang cantik.
“Kamu begitu cantik Savitri.”
“Ah kamu bisa saja, hmmmmm makasih”, timpal Savitri.
Kemudian Mahesa mulai mencumbu bibir wanita yang telah jadi istrinya, Savitri bersikap malu-malu dan membiarkan Mahesa saja yang mencumbu dirinya.
Bersambung
ns 15.158.61.6da2