Darma semalaman mendengar suara pertengkaran dari rumah Rian dan Mira, Darma dan Sri memutuskan untuk memanggil keduanya ke rumah.
Perasaan Rian dan Mira sudah tidak enak ketika dipanggil oleh Darma dan Sri. Pasti ada sesuatu hal serius yang perlu dibicarakan.
Di ruang tamu sederhana yang dipenuhi hiasan perabotan kayu tua, berdiri di sampingnya, sambil memandangi Mira yang duduk dengan wajah lelah, sementara Rian hanya menunduk diam di sudut ruangan.
"Rian, Mira," Darma memulai, suaranya pelan tapi tegas. "Semalam, aku dan ibumu mendengar semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa sampai kalian bertengkar seperti itu?"
Mira dan Rian pun saling menatap sebelum menjawab pertanyaan itu. Akhirnya Rian mendongakkan kepalanya, memberi kode pada Mira untuk memulai menjawab.
Mira pun menghela napas panjang sebelum menjawab. Ia akan berkata jujur kepada mertuanya terkait masalah yang dialaminya. Ini adalah kesempatan baginya untuk menceritakan hal yang terpendam selama ini.
"Masalah uang, Pak. Ekonomi kami makin sulit. Hutang menumpuk, dan saya merasa Rian..." ia berhenti sejenak, ragu untuk melanjutkan, tetapi kemudian berkata, "Rian main judi online. Itu salah satu alasan kenapa uang selalu habis."
998Please respect copyright.PENANAoSzrlIp8ru
Sri langsung menutup mulutnya, kaget. Darma mengernyitkan dahi, menatap putranya dengan mata yang penuh pertanyaan. "Rian, apa itu benar?"
Rian mengangguk pelan, suaranya rendah ketika menjawab. Ia sudah tidak bisa berbohong lagi. Ia tidak mau masalah ini berlarut, jika menyembunyikan masalah ini.
"Iya, Pak. Aku salah. Tapi aku sudah berhenti. Aku cuma... tertekan. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Bengkel sepi, tagihan terus datang. Aku cuma ingin cari solusi cepat,” jawab Rian.
Darma menghela napas panjang, menahan amarahnya. "Rian, judi itu bukan solusi. Itu lubang hitam. Kamu harus tahu, keluarga ini punya cara lain. Sawah kita masih ada. Kalau kamu butuh uang, kita bisa cari jalan bareng-bareng."
Rian mendongak, tatapannya tajam. "Pak, aku nggak mau mengandalkan sawah. Aku sudah bilang dari dulu, aku nggak suka bertani. Aku nggak mau ngikutin jejak Bapak. Aku ingin cari jalan sendiri."
“Lalu apa hasilnya, kamu pakai caramu sendiri, malah berantakan gini?” bentak Darma.
Rian tediam.
“Lalu apa solusimu sekarang? Jika kamu tak mau bekerja di sawah. Aku yain sawah ini bisa menghidupimu,” ucap Darma.
Rian masih terdiam, baru kemudian menjawab
“Saya mau ke luar negeri saja,” jawab Rian.
“Apa? apa kamu yakin pilihanmu ke luar negeri ini bisa menyelesaikan masalah ekonomimu?” tanya Darma.
"Iya, Pak. Ada tawaran kerja jadi TKI di Malaysia. Gajinya besar, jauh lebih baik daripada apa yang bisa aku dapat di sini."
Sri langsung terkejut. "Pergi? Kamu mau ninggalin Mira dan Farel di sini? Apa nggak ada cara lain, Rian? Bukannya lebih baik kamu tetap di sini, bantu Bapak di sawah? Kita ini keluarga, masalah seperti ini harus kita selesaikan bersama."
"Tapi sampai kapan, Bu?" jawab Rian, nadanya mulai meninggi. "Sawah itu nggak cukup. Aku nggak mau anakku besar dalam keadaan susah seperti aku dulu. Aku ingin kasih Mira dan Farel hidup yang lebih baik."
Mira yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Mas, aku nggak setuju kamu pergi. Kita bisa cari jalan lain bersama di sini. Aku nggak butuh kamu kirim uang dari jauh. Aku butuh kamu ada di sini, untuk aku dan Farel. Apa Mas pikir hidup akan lebih mudah tanpa kamu?"
Rian menatap Mira dengan pandangan bingung. "Aku cuma ingin masa depan yang lebih baik, Mir. Aku nggak bisa terus-terusan begini."
Mira menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Tapi apa artinya masa depan kalau keluarganya terpisah? Kalau kamu pergi, apa kamu pikir Farel nggak akan merindukan ayahnya? Apa kamu pikir aku nggak akan merasa sendirian menghadapi semuanya di sini?"
Rian mencoba mendekati Mira. "Aku nggak akan lama, Mir. Ini cuma sementara. Nanti kalau kita hutang kita lunas dan sudah punya tabungan cukup, aku akan pulang dan semuanya akan lebih baik."
"Tapi aku nggak percaya itu, Mas," Mira menjawab tegas. "Banyak yang pergi jadi TKI dengan mimpi besar, tapi akhirnya pulang dengan tangan kosong atau nggak pulang sama sekali. Aku nggak mau ambil risiko itu."
998Please respect copyright.PENANAGbk12Q3RQ5
Darma yang sejak tadi mendengar akhirnya angkat bicara lagi. "Rian, dengarkan Mira. Kami keluarga, dan keluarga itu seharusnya menghadapi semuanya bersama. Kalau kamu pergi, kamu bukan hanya meninggalkan sawah, tapi juga meninggalkan tanggung jawabmu sebagai kepala keluarga."
"Tapi aku nggak punya pilihan lain, Pak!" Rian membalas dengan nada tinggi. "Aku nggak mau terjebak di desa ini selamanya!"
Hening menyelimuti ruangan. Sri menunduk, menahan tangis, sementara Mira menatap Rian dengan perasaan campur aduk antara marah, kecewa, dan sedih. Darma berdiri dari kursinya, menatap putranya dengan tatapan keras.
"Baik," kata Darma akhirnya, suaranya berat. "Kalau itu keputusanmu, kami nggak bisa memaksa. Tapi ingat ini, Rian, apa pun yang terjadi, keputusan ini akan punya konsekuensi. Jangan sampai kamu menyesalinya nanti."
Rian hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tahu bahwa keputusannya tidak mendapat restu penuh dari keluarganya. ***
998Please respect copyright.PENANAYNDSv29mco