#6 Tubuh yang Meriang
Penis Anwar masih tegang. Ingin rasanya segera ke kamar mandi untuk melepaskan libidonya dengan onani. Ia masih menunggu kakaknya berangkat kerja. Biar lebih leluasa di kamar mandi dan bersuara keras.
Diketahui hampir tiap pagi, ia beronani di kamar mandi. Kadang ia membawa ponsel sambil melihat video porno dan membayangkannya. Ia bisa mendesah cukup keras saat tidak ada orang di rumah.
Kadang pula ia membayangkan tubuh kakaknya. Anwar sebenarnya cukup tertarik pada tubuh kakaknya yang lumayan cantik. Ratna punya rambut hitam yang panjang dan lurus.
Tinggi Ratna sekitar 155 dengan berat sekitar 50 kilogram. Cukup ideal bagi seorang perempuan seusianya. Payudaranya tak sebesar Hamidah. Namun bokongnya lumayan besar. Namun Anwar tak tahu, apakah kakaknya masih perawan atau sudah tidak.
Anwar sering curi-curi pandang ke bokong kakaknya itu. Apalagi ketika selesai mandi, Ratna hanya memakai handuk. Anwar kerap sengaja menunggu di ruang tengah. Menunggu kakaknya melintas ke kamar.
Meski sering membayangkan sedang bersetubuh dengan kakaknya, namun Anwar tak pernah kepikiran untuk benar-benar menyetubuhi kakaknya. Ia sangat takut, kakaknya cukup keras, tak seperti Hamidah dan adiknya. Ratna punya watak seperti almarhum ayahnya.
Anwar yakin, Ratna bisa memberontak dan marah besar jika ia coba-coba mendekati untuk mencumbunya. Jadi ia hanya berani membayangkan tubuh kakaknya itu saat onani.
Sementara Anwar tak pernah kepikiran untuk mencumbu adik perempuannya. Jiwanya menjadi kakak masih ada, tak ingin masa depan adiknya hancur di tangannya. Tak hanya itu, dirinya mungkin juga bisa diusir dari rumah jika adiknya melapor ke kakak dan ibunya. Bisa-bisa ia juga masuk penjara.
Sehingga selama ini, Anwar hanya berangan-angan untuk menyetubuhi ibunya. Ia sudah lama merencanakan aksinya dan sampailah pada tadi malam hal itu baru ia lakukan.
Anwar sudah tak tahan menahan libidonya karena terus memikirkan kejadian semalam bersama ibunya. Ia pun melonggarkan sarungnya, takut penisnya yang tegang ketahuan kakaknya.
Ia segera berjalan ke kamar mandi. Benar saja ia berpapasan dengan kakaknya di ruang tengah yang sudah siap-siap pergi kerja. Anwar dan Ratna jarang ngobrol. Keduanya hanya ngomong seperlunya saja.
Ratna pun kemudian bergegas keluar menuju motornya dan berangkat. Ia pergi begitu saja, tak pernah pamit ke Anwar, beda dengan adiknya, Fadian.
Saat Ratna berjalan ke depan dan membelakangi Anwar, ini kesempatan bagi Anwar untuk memandang bokong kakaknya yang bulat besar itu. Terlihat bergantian memantul sesuai irama kaki Ratna berjalan.
Hal ini membuat libido Anwar makin tinggi. Kemudian Anwar melanjutkan jalannya ke kamar mandi.
“Jangan lupa pintu dan pagar ditutup,” teriak Anwar pada kakaknya sambil berlalu. Ratna mendengar suara adiknya dan seperti biasa ia hanya diam saja, tak menyahut.
Ratna pun menyalakan motornya dan berangkat kerja setelah menutup pintu dan pagar rumah sesuai perintah adiknya.
Di dalam kamar mandi, dengan cepat Anwar melepas sarung dan pakaiannya. Ia lempar ke bak kotor.
Penisnya masih mengacung. Langsung ia ambil sabun cair ke tangannya. Kemudian ia jongkok dan mulai mengocok. Ia membayangkan sedang menyetubuhi ibu dan kakaknya secara bergantian.
“Oh ibuuu…. enak….,” desahnya lumayan keras karena tiak ada orang di rumah.
“Oh, Kak Ratna… enak sekali…. bokongmu kesukaanku….” giliran kakaknya yang dibayangkan Anwar.
Hanya beberapa menit saja, Anwar sudah orgasme. Tak banyak sperma yang keluar. Mungkin sudah terkuras semalam. Anwar pun segera membersihkan tubuhnya dan mandi. Ia tak bisa lama-lama, karena harus berangkat bekerja.
***
Tubuh Hamidah meriang. Serasa adem panas. Makin siang makin terasa tidak enak badannya. Sekitar pukul 11 siang, ia sudah tidak kuat lagi. Ia segera membereskan dagangannya yang masih laku separuh. Ia segera bergegas pulang.
Ia mampir dulu ke juragannya untuk setor uangnya. Sementara sisa dagangannya kembali ia bawa pulang, sapa tahu ada tetangga yang baik mau membelinya. Jika tidak laku, maka ia dipastikan merugi untuk hari ini, karena saat setor ke juragan, itu harus bayar total, tak peduli habis atau tidak.
Hamidah naik sepeda ontel setiap hari dengan keranjang ditali di belakang. Di keranjang itu tempat tahu dan tempe yang akan ia jual.
Di sepanjang jalan, Hamidah sedikit mempercepat sepedanya agar segera sampai di rumah. Setiap hari, ia harus menempuh jarak sekitar 2 kilometer dari rumah ke pasar.
Hamidah berusaha untuk kuat, terus mengayuh sepedanya meski kepalanya sudah pusing dan berat. Tubuhnya juga serasa makin lemas. Ia ingin cepat-cepat sampai di rumah.
Sekitar 15 menit, ia sudah sampai di rumah. Ia sangat bersyukur dan tidak terjatuh di jalan. Segera ia membuka pagar dan memasukkan sepedanya. Kemudian mengambil kunci rumah di bawah pot, tempat rahasia, hanya orang rumah yang tahu.
Ia segera mengambil tahu dan tempe sisa dagangannya dan dengan cepat-cepat masuk ke rumah. Ia masukkan sisa dagangannya ke kulkas. Hamidah sudah tidak tahan dengan tubuhnya, ia tutup pintu rumah dan langsung ke kamarnya.
“Blekk,” suara ranjang saat Hamidah menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Ia benar-benar lega.
Tanpa ke kamar mandi atau ganti baju, Hamidah berusaha mengistirahatkan tubuhnya. Ia berusaha menutup matanya untuk segera tidur. Kepalanya masih pusing dan tubuhnya meriang.
Sekitar 10 menit ia memejamkan mata, namun tak kunjung tertidur. Ia justru kepikiran kejadian semalam bersama anaknya. Ia pun membuka matanya dan melihat langit-langit.
Ia bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa tubuhnya sakit? apakah gara-gara aksi Anwar semalam? Kenapa Anwar melakukan itu? Kenapa?. Kenapa harus pada dirinya? Pertanyaan terus memenuhi kepala Hamidah.
Selain teringat kejadian semalam, Hamidah pun jadi teringat beberapa bulan lalu, saat tukang pijit langgannnya juga berusaha mencumbunya.
***
#7 Apakah Tubuhku Masih Bisa Dinikmati?
Dalam kondisi terbaring dan tubuh lemas, Hamidah terus bertanya-tanya. Kenapa hal ini terjadi padanya. Selain anaknya, beberapa bulan lalu tukang pijit juga coba menikmati tubuhnya.
“Apakah tubuhku masih bisa dinikmati? tanyanya dalam hati.
Hamidah teringat, saat itu ia pijat ke lelaki tua langganannya bernama Pak Tomo. Tiba-tiba pijatan pelan-pelan mengarah ke arah sensitif. Ke sekitar selangkangan dan sekitar payudara Hamidah. Awalnya Hamidah tak curiga.
Saat pijat, Hamidah memakai BH dan celana dalam, lalu dibungkus dengan sarung yang telah disediakan oleh Pak Tomo. Bagian dadanya hingga paha tertutup sarung itu.
Namun lama-lama Pak Tomo meremas payudaranya, tentu Hamidah kaget. Namun lelaki itu hanya tersenyum dan seperti bercanda saja. Hamidah pun terpaksa ikut tersenyum tidak enak.
Ketika lelaki itu mengulanginya lagi, barulah Hamidah protes dengan nada halus. “Jangan pijat bagian itu, Pak Tomo,” ucap Hamidah dalam posisi berbaring.
Pak Tomo hanya tersenyum. Memang Pak Tomo punya banyak langganan pijat. Ia buka praktek di rumahnya dan juga bisa dipanggil. Lokasinya tak jauh dari rumah Hamidah. Hamidah krap pijat di sana saat merasa badannya sudah pegal-pegal.
Kali ini tangan Pak Tomo pindah dan coba mengarah ke selangkangan Hamidah lebih dalam. Hamidah pun menggerakan kakinya, kode untuk menolak. Namun Pak Tomo sambil tersenyum terus melakukan aksinya.
“Biasanya tidak pernah pijat di bagian itu Pak,” tanya Hamidah sambil tersenyum, karena tidak enak jika mau menegur.
“Tidak apa-apa bu, sekali-kali biar cepat hilang capeknya kalau di sini,” katanya. Hamidah kali ini menurut.
Pak Tomo kini sepertinya mau berbuat lebih jauh, ia sedikit menarik sarung sehingga payudara Hamidah yang terbungkus BH terlihat. Cepat-cepat Hamidah menutup. Ia anggap Pak Tomo tak sengaja.
“Tidak apa dibuka saja,” ucap Pak Tomo. “Tidak pak, malu,” kata Hamidah. Pak Tomo tak memaksa. Tapi ia sekilas sudah melihat payudara Hamidah yang besar terbungkus BH.
Kini Pak Tomo coba memasukkan tangannya di balik sarung Hamidah dan memijat bagian paha. Hamidah tak menolak, karena ini masih wajar seperti pijat biasanya. Namun lama-lama tangan Pak Tomo mulai naik ke paha atas dan terus naik.
“Udah pak, jangan kesitu,” Hamidah kembali protes. Namun Pak Tomo seperti tak mendengar. Bahkan mengarahkan tangannya ke gundukan vagina Hamidah.
“Loh pak, kok ke situ,” Hamidah sedikit protes keras.
Pak Tomo pun seakan mulai berani dan mau menarik CD Hamidah. “Ibu sudah lama kan tidak begituan,” tanya Pak Tomo sambil berusaha menarik CD Hamidah.
“Jangan pak,” Hamidah berusaha memegang dan menahan CD-nya biar tak lepas. Hamidah tak berani berteriak, karena di luar masih ada pelanggan lain dan istri Pak Tomo.
Pak Tomo seperti kesetanan. Aksinya mulai keras. Meski tak berhasil menarik CD Hamidah, ia berkali-kali memegang vagina Hamidah yang terbungkus CD.
Pak Tomo juga berusaha menarik sarung Hamidah. Lalu tangannya meremas payudara Hamidah. “Eh, udah pak,” kata Hamidah yang masih tak berani berteriak.
Pak Tomo seperti mau memperkosa Hamidah. Sarung sudah berhasil ditariknya. Sehingga terlihat Hamidah hanya memakai CD dan BH.
Tak mau Pak Tomo berbuat lebih jauh, ia berusaha berdiri dan menarik sarung kembali. Melihat Hamidah yang benar-benar menolak, membuat Pak Tomo diam dan seakan menyerah. Ia juga tak mau orang-orang di luar curiga apa yang dilakukannya.
Hamidah pun segera menutupi tubuhnya dan keluar dari kamar tempat pijat. Pak Tomo malu, dikiranya Hamidah yang menjanda haus belaian lelaki. Pikirannya salah.
Hamidah lalu memakai bajunya di kamar ganti yang disediakan. Ia membayar uang jasa pijat dan segera pulang.
Momen itu, beberapa kali ia ingat. Sehingga membuatnya tak mau lagi pergi ke tempat pijat cabul itu. Hamidah mencari tempat pijat lain dan bukan laki-laki yang memijat.
Masih dalam kondisi badan yang tidak enak dan terbaring di atas ranjang, Hamidah terus kepikiran apa yang dilakukan Pak Tomo dan juga anaknya, Anwar.
Hamidah memang sudah lama tak merasakan nikmat saat bersetubuh. Bahkan ketika belum cerai dengan suami keduanya, saat bersetubuh ia sudah tak merasakan nikmat. Ia hanya terdiam, membiarkan suaminya mencumbunya. Hamidah hanya menjalankan tugasnya sebagai istri.
Mungkin karena Hamidah yang bekerja keras hingga tubuhnya kerap lelah di rumah. Sehingga soal seks bukan prioritasnya lagi.
Ia pun kembali bertanya, apakah tubuhnya masih layak dinikmati. Sehingga Pak Tomo dan anaknya pun ingin mencumbunya.
Perlahan tangan Hamidah mengarah ke selangkangan. Ia membuka daster bagian bawahnya. Lalu memegangi vaginanya dari balik CD. “Apakah ini (vagina) masih bisa dinikmati,” tanyanya dalam hati.
Lalu ia memasukkan tangannya ke dalam CD-nya dan mengingat kejadian semalam dengan Anwar. Kenapa Anwar begitu ingin menyetubuhinya.
Hamidah pun menarik tangannya kembali dan merapikan dasternya. Ia berusaha mengalihkan apa yang ada di pikirannya. Berusaha melupakan kejadian dengan Anwar. Hamidah mengambil selimut dan mencoba untuk tidur. Badannya benar-benar sakit dan butuh istirahat,
***
#8 Pijatan Nakal
Ratna, Anwar, dan Fadian sudah berada di rumah. Hamidah tak tahu satu per satu anaknya sudah pulang. Hampir pukul 5 sore, Hamidah masih terlelap tidur. Anak-anaknya sengaja tak membangunkan Hamidah, karena sudah tahu kondisi ibunya yang sakit. Membiarkan Hamidah istirahat agar kembali sehat.
Jam 5 sore lebih sedikit Hamidah terbangun. Ia terkaget saat melihat jam dinding, sudah sore. Cukup lama ia tertidur. Badannya sedikit enakan. Tak selemas tadi siang. Namun kepalanya masih sedikit berat.
Hamidah pun segera beranjak dari kamarnya. “Ibu tidak apa-apa?,” tanya Fadian yang sedang berada di ruang tengah sambil bermain hape. “Sudah minum obat?,” tanyanya lagi.
“Belum nak, tai badan ibu sudah agak enakan,” kata Hamidah sambil berjalan ke arah kamar mandi.
Mendengar suara ibunya, Ratna cepat-cepat keluar. Ia juga perhatian sama ibunya. “Ibu makan, lalu segera minum obat dulu,” ucap Ratna. “Iya nak,” sahut Hamidah lemas.
Sekilas Hamidah melihat kondisi rumah dan dapur sudah bersih. Baju kotor juga sudah tercuci semua. Nampaknya Ratna dan Fadian sudah melakukan tugasnya selama ia tidur. Ia bersyukur punya anak-anak yang rajin.
Ratna dan Fadian memang setiap hari selalu membantu pekerjaan rumah. Mereka berbagi tugas untuk meringankan pekerjaan rumah ibu.
“Apakah ibu mau mandi air hangat?,” tanya Ratna. “Iya, ibu mau pipis saja,” jawab Hamidah.
“Ratna panaskan air dulu, lalu segera mandi biar tidak malam-malam,” ujar Ratna penuh perhatian.
Dari kamar mandi, Hamidah duduk di ruang tengah bersama anak-anaknya, sambil nunggu air panas. Sementara Anwar masih di dalam kamar, entah sedang tidur atau main hape.
“Ibu mau mandi dulu atau makan, itu ada bakso kesukaan ibu. Sesudah makan minum obat,” Ratna memang sangat perhatian sama ibunya.
“Mandi dulu aja, lalu kita makan bareng,” ungkapnya.
Setelah mandi, Hamidah bersama Fadian dan Ratna makan bersama. “Anwar bangunin, suruh makan juga,” kata Hamidah.
“Kak, bangun…..,” teriak Fadian. “Nanti saja,” jawab Anwar, ternyata sudah bangun.
Setelah makan, Hamidah minum obat. “Ayo saya kerokin badan ibu,” ajak Ratna. Memang Ratna selalu mengeroki badan ibunya saat sedang tidak enak.
Setelah Maghrib, Ratna masuk ke kamar ibunya lalu ngerokin ibunya. “Bentar lagi, abis ngerokin ibu, Ratna mau keluar, ada janji sama teman. Biar adek jaga ibu,” ucapnya.
Setelah selesai, Ratna kemudian bergegas memenuhi janji dengan temannya. Tak lama, ternyata Fadian juga mau keluar. “Bagaimana kondisi ibu, sudah enakan?” tanyanya.
“Sudah nak, habis dikerokin juga. Pusing ibu juga berkurang. Tak separah tadi siang. Tinggal badan ibu pegel-pegel. Besok aja pijat, sepulang dari pasar,” jawab Hamidah.
“Kalau masih sakit jangan ke pasar dulu bu. Biar dipanggil ke sini aja tukang pijitnya,” jawab Fadian.
“Ya, semoga besok pagi sudah sehat,” jawab Hamidah.
“Adek mau keluar dulu gak papa ya bu, ada tugas kelompok. Kak Anwar di rumah. Nanti minta tolong kakak jika ada apa-apa,” ucap Fadian.
“Iya gak papa, hati-hati,” jawab Hamidah. Setelah bersalaman dan pamitan, Fadian pun segera berangkat.
Sebelum berangkat Fadian pun berpamitan ke Anwar. “Kak, aku mau keluar. Kakak di rumah dulu, kalau mau keluar juga, tunggu aku atau Kak Ratna datang. Ibu sakit, tolong jagain,” ucapnya lalu pergi keluar rumah,
“Iya dek, hati-hati,” kata Anwar.
Setelah makan dan mandi, Anwar ke kamar ibunya. Ia melihat kondisi ibunya. “Ibu tidak apa-apa,” tanya Anwar bikin Hamidah yang sedang rebahan di atas kasur sedikit terkaget.
“Gak papa nak, mungkin kelelahan,” jawab Hamidah. Namun di pikirannya kembali terbayang kejadian semalam. Ia berusaha biasa saja di depan Anwar.
“Tadi sudah dikerokin kakakmu. Mungkin besok mau pijat, tubuh ibu pegal-pegal,” ucap Hamidah.
“Mau saya pijitin bu,” tanya Anwar.
“Gak usah nak,” jawab Hamidah.
“Gak papa bu,” tanpa dijawab lagi sama ibunya, Anwar naik ke atas ranjang ibunya dan memijit kaki ibunya.
Hamidah masih takut kejadian semalam bisa terulang. Tapi Anwar terus memijit kakinya. Hamidah kembali hanya memakai daster. Ia selalu memakai daster jika di rumah. Namun tanpa BH, tapi tetap pakai celana dalam.
Melihat Anwar seakan tulus memijatnya, Hamidah membiarkan anaknya terus memijat kakinya. Hamidah hanya diam saja.
Pijatan Anwar, lama-lama bikin Hamidah nyaman. Anwar bergantian memijak kaki kanan dan kiri Hamidah. “Ibu kecapekan ini,” ucap Hamidah.
Sekitar 10 menit Anwar memijat kaki ibunya hingga sekitar lutut. Kemudian Anwar meminta ibunya duduk. “Ibu duduk aja, biar Anwar pijat pundak dan punggung ibu,” ucap Anwar.
Karena sudah nyaman dengan pijatan Anwar dan memang badannya pegal-pegal, Hamidah menurut. Ia lalu bergegas duduk. Anwar pindah posisi ke belakang ibunya. Mulai ia memijat pundak ibunya.
Hamidah terlihat masih nyaman dengan pijatan anaknya. Pijatan Anwar terus berganti ke punggung ibunya. “Ah,” Hamidah berteriak kecil, saat pijatan Anwar terasa sakit.
“Sakit bu? saya pelanin ya,” kata Anwar. Hamidah hanya mengangguk.
Hamidah lama-lama menikmati pijatan anaknya. Baru kali ini Anwar memijatnya. Biasanya hanya anak perempuannya yang perhatian dengannya.
Hamidah pun tak berpikiran aneh-aneh pada Anwar. Pijatan Anwar membuat Hamidah seakan tiba-tiba melupakan kejadian semalam. Kerena tubuh Hamidah terasa pegal-pegal, sehingga pijatan Anwar membuat dirinya terbantu.
Namun tak ada percakapan lagi antara keduanya. Suasana kamar hening. Kini tangan Anwar turun, memijat pinggang Hamidah. Namun pijatan di bagian ini, kadang membuat Hamidah kegelian, karena tangan Anwar kadang agak ke pinggang samping.
Hamidah kerap tiba-tiba tersentak kegelian dengan pijatan Anwar. “Kenapa bu, sakit? pertanyaan Anwar seakan memecah kesunyian.
“Tidak nak,” jawab Hamidah singkat.
***
#9 Ibu Teringat Kejadian Semalam?
Hamidah semakin nyaman dengan pijatan Anwar, pegal-pegal di badannya mulai berkurang. Namun sesekali ia merasakan geli saat tangan Anwar menyentuh pinggangnya.
Hamidah pun makin tidak perasaan aneh pada Anwar. Tidak ada kecurigaan pada Anwar. Ia yakin Anwar tidak akan berbuat jauh. Ia seperti melupakan kejadian semalam.
Anwar terus bersemangat memijat ibunya. Hamidah terlihat menikmati pijatan Anwar.
Anwar lebih fokus memijat pinggang ibunya. Tekanan tangannya ia kurangngi. Kini jadinya jemarinya lebih seperti mengelus-elus tubuh ibunya.
Anwar yang bersila di belakang ibunya kemudian mendekatkan menempelkan badannya ke tubuh ibunya. Lalu mendekatkan mulutnya ke telinga kiri ibunya.
“Gimana ibu, enak pijatan Anwar,” tanya Anwar dengan nada berbisik.
Hamidah pun tak curiga Anwar tiba-tiba menempelkan badannya, karena secara bersamaan Anwar bertanya padanya.
“Enak nak, pegal-pegal di tubuh ibu sepertinya mulai hilang,” jawab Hamidah.
Tak terasa sudah sekitar 15 menit, Anwar memijat ibunya.
Mendengar jawaban ibunya, Anwar kini mengarahkan pelan-pelan tangannya ke bagian depan perut ibunya. Anwar seperti tak lagi memijat ibunya, namun seperti mengelus.
“Perut ibu gak kenapa-kenapa nak,” kata Hamidah, merespon tangan Anwar yang berada di perutnya.
“Gak papa bu, biar perutnya enak juga,” jawabnya sambil menarik tubuh ibunya ke belakang. Hingga posisi Hamidah bersandar pada dana Anwar.
Kini posisi Anwar seperti sedang mendekap ibunya. Sambil ia terus mengelus-ngelus perut ibunya dengan lembut.
Hamidah sebenarnya sedikit terkaget. Namun ia tidak menolak. Ia masih meyakini, apa yang dilakukan Anwar, bagian dari kebaikan Anwar yang peduli pada ibunya yang sedang sakit.
Anwar kini perlahan menaikkan tangannya ke arah payudara ibunya. Tangan Hamidah pun merespon dan memegangi tangan Anwar agar tidak naik lagi. Karena sedikit lagi, tangan Anwar akan meraih payudara ibunya,
Melihat respon ibunya, Anwar memberikan pertanyaan yang cukup mengejutkan Hamidah. Sekaligus mengubah momen malam itu.
“Ibu ingat kejadian semalam?” tanya Anwar. Hamidah kaget. “Kenapa nak?,” jawab Hamidah, tanya balik.
“Ibu marah? maafin Anwar ya,” jawab Anwar. Namun tangannya kini perlahan mulai menyentuh payudara Hamidah yang menggantung di balik daster. Tanpa BH. Tangan Hamidah masih tetap berusaha menahan tangan Anwar.
Hamidah diam sejenak beberapa detik. Pikirannya akhirnya teringat kejadian semalam. Teringat betul tubuhnya dinikmati oleh anaknya sendiri.
“Kenapa kamu lakukan itu pada ibu? tanya Hamidah.
“Anwar sayang sama ibu,” jawab Anwar. Hamidah hanya diam.
Tangan Anwar makin berani. Ia mulai meremas pelan payudara ibunya. Tangan Hamidah masih tak melepas tangan Anwar. Masih berusaha menahan, meski sepertinya sia-sia. Anwar tak menghentikan aksinya atau memindah tangannya.
Hamidah terdiam dengan jawaban Anwar. Jemari Anwar kini menyentuh puting Hamidah yang menyembul di balik dasternya. Anwar terus memainkan puting ibunya.
“Anwar mau lagi, bu,” kata Anwar. Hamidah menggelengkan kepalanya.
Anwar memang sengaja meminta untuk memijat ibunya, supaya bisa melancarkan aksi keduanya pada Hamidah.
Tangan Anwar lebih lembut kini meraba tubuh ibunya. Tak seagresif semalam. Meski Hamidah menggeleng, ia tak memberikan penolakan yang keras seperti semalam. Namun tetap ia memegangi tangan Anwar, seperti penanda agar Anwar tak melakukan yang berlebihan pada dirinya. Namun Anwar tak menghiraukan tanda itu.
Tubuh Hamidah yang tak begitu sehat, masih lemas, ia tak punya banyak tenaga untuk melawan anaknya. Ia masih bersandar pada dekapan Anwar.
Tangan Anwar mulai berani. Anwar meremas payudara ibunya dengan lembut. Sesekali puting ibunya ia pilin dari balik daster.
“Sebentar aja ya bu, keburu kakak dan adik datang,” kata Anwar. Hamidah pun masih terdiam. Tak menjawab satu atau dua kata pun.
Melihat ibunya tak merespon, Anwar kini mengangkat daster ibunya dan memasukkan tangannya ke dalam daster Hamidah. CD warna putih Hamidah pun terlihat. Tangan Anwar menyusup di balik daster.
Tangan Anwar kini meraba pinggang ibunya secara langsung. Hamidah bergoyang tubuhnya. Ia merasakan geli, lebih geli dari tadi, saat Anwar memijitnya dari luar daster.
Tangan Anwar terus meraba halus menuju payudara ibunya. Hamidah tetap terdiam dan mulai merasakan hal aneh pada tubuhnya. Perasaan yang lama tidak ia rasakan.
Hamidah tak lagi memegangi tangan anaknya. Kedua tangannya kini berada di samping. Anwar lebih luluasa, tangannya kini sudah meraih payudara ibunya. Dua-duanya ia pegang. Ia remas dan pilin puting ibunya.
Tubuh Hamidah kembali bergerak. Seperti menggelinjang. Tubuhnya juga serasa makin lemas. Seperti tak bertenaga.
Tak ada penolakan dari ibunya, membuat Anwar semakin berani lagi. Ibunya yang terlihat pasrah, tangan kanan Anwar kini turun dan berani memegang gundukan vagina ibunya yang terbungkus CD.
Hamidah tetap diam. Anwar pun mengelus-ngelus vagina ibunya dengan lembut.
***
#10 Menyusup ke Celana Dalam Ibu
Tubuh Hamidah yang lemas masih dalam dekapan Anwar. Anwar kini menyusupkan tangannya ke dalam celana dalam ibunya. Ia raba dengan pelan. Sambil mencoba memasukkan jari tengahnya ke dalam vagina ibunya.
Hamidah yang dalam keadaan sakit, membuat Anwar seakan lancar menjalankan aksinya. Hamidah tetap diam. Namun tubuhnya perlahan seperti tersengat, saat jemari Anwar memainkan vaginanya.
Hamidah menutup matanya. Seakan pasrah apa yang dilakukan anaknya. Ia juga tak punya banyak tenaga.
Anwar seperti kegiarangan dengan respon ibunya yang seolah mengizinkan aksinya. Kini Anwar meminta ibunya untuk tidur telentang. Anwar membantu memegangi kepala ibunya menuju bantal.
Hamidah menurut saja. Kini tubuhnya telentang di atas kasur. Dasternya sudah tersibak ke atas, sampai di perutnya.
Hamidah sudah seperti setengah sadar. Tubuhnya makin lemas. Ia pasrah apa yang akan dilakukan Anwar.
Anwar kini menarik CD ibunya hingga lepas. Jemari Anwar mulai memainkan vagina Hamidah. Berbeda dengan semalam, vagina Hamidah nampak mulai basah. Jari Anwar dengan mudah masuk kedalam.
Hamidah menutup matanya. Dalam keadaan lemas, ia juga merasakan keanehan di tubuhnya. Rasa yang sudah lama tidak ia rasakan. Namun tak bisa dideskripsikan.
Jemari Anwar sudah masuk keluar vagina ibunya. Hamidah sedikit menggerakkan pinggulnya. Sekitar 5 menit melakukan itu, vagina Hamidah sepertinya makin basah.
Sementara penis Anwar sudah tegang. Ia kini berdiri dan melepas kolornya. Anwar tak memakai CD. Penisnya pun langsung menggantung.
Hamidah membuka mata saat Anwar berdiri, ia kini jelas melihat anaknya setengah telanjang dengan penis yang tegang.
Saat itu, Anwar melihat wajah ibunya. Hamidah memalingkan pandangannya dari penis Anwar dan melihat ke wajah Anwar. Kontak mata keduanya pun terjadi.
Mata Hamidah sayu, seperti mengantuk. Tak kuat membuka matanya.5707Please respect copyright.PENANA6EjFTsVdc9
“Anwar mau lagi ya bu, bentar aja, kakak dan adek bentar lagi pulang,” ucap Anwar.
Tanpa ada jawaban iya atau tidak dari ibunya, Anwar langsung menuju hadapan selangkangan ibunya. Ia membuka kedua kaki ibunya.
Tangannya kembali ia masukkan ke vagina ibunya. Hamidah dengan mata setengah terbuka, memandangi wajah anaknya. Melihat apa yang dilakukan anaknya.
Pandangannya kemudian pindah saat Anwar memegangi penisnya dan akan mengarahkan ke vaginanya.
Kali Hamidah merespon, ia menggelengkan kepalanya. Namun Anwar tak melihatnya. Anwar terus melakukan aksinya.
Anwar menempelkan kepala penisnya ke vagina ibunya. Ia gesek-gesekan sebentar. Hal ini membuat tubuh Hamidah bergetar. Pinggulnya bergerak.
Anwar sudah diselimuti nafsu yang memuncak. Ia tak melihat wajah ibunya. Ia fokus pada vagina ibunya.
Kina perlahan, ia masukkan penis ke vagina Hamidah. Kali ini mudah saja, tak seperti semalam.
Penis Anwar dengan cepat masuk semuanya, tenggelam dalam vagina Hamidah.
Saat penisnya masuk, Anwar mendongak ke wajah ibunya. Ia melihat Hamidah menutup matanya.
Anwar pun mulai memompa vagina ibunya secara perlahan sambil terus memandangi wajah Hamidah.
Hamidah masih menutup mata. Kemudian Anwar mulai mempercepat gerakan penisnya. Dengan hentakan Anwar yang bertambah, tubuh Hamidah mulai bergerak dan membuka matanya.
Anwar terus memompa vagina Hamidah sambil memandang wajah ibunya. Begitu sebaliknya. Ibu dan anak ini pun saling pandang.
Tak ada kata-kata diantara keduanya. Hamidah makin tak mengerti dengan perasaan yang sedang dialaminya saat ini. Tubuhnya tetap lemas.
***
#11 Tubuhnya Tak Melawan
Hamidah masih diam saja. Tubuhnya tak bisa melawan. Lemas. Ia hanya melihat anak kandungnya mencumbu dirinya. Terus memompa vaginanya.
Bedanya dengan semalam, kali ini vagina Hamidah basah. Hamidah tak merasakan sakit di vaginanya. Anwar masih mempercepat gerakannya. Tubuh Hamidah ikut bergoyang mengikuti irama Anwar.
Kemudian Anwar mulai memperlambat gerakan penisnya. Ia tak mau buru-buru. Tak mau cepat-cepat menyelesaikan permainan ini. Beda dengan semalam. Seakan lupa, bagaimana jika tiba-tiba kakak dan adiknya datang.
Anwar mulai memainkan irama. Gerakan pinggulnya pelan-pelan. Ia mencoba menikmati vagina ibunya. Sedangkan Hamidah serasa makin lemas badannya. Hamidah tetap memandang kelakuan anaknya.
Kini Anwar menghentikan gerakannya. Ia mencopot penisnya dari vagina ibunya. Matanya tertuju pada payudara Hamidah yang setengah tertutup daster. Anwar mengangkat daster itu hingga payudara Hamidah benar-benar terlihat.
Tangan Anwar langsung meraih kedua payudara besar yang mulai mengendur itu. Jemarinya meraba dengan halus. Lalu memilin-milin puting ibunya dengan penuh perasaan.
Tubuh Hamidah seakan-akan pasrah. Ia tak bisa melawan seperti seperti semalam. Di balik tubuh yang lemas, Hamidah mulai merasakan sesuatu getaran di tubuhnya. Jemari Anwar yang menyentuh putingnya seakan menyalurkan gelombang yang tak bisa ia diskripsikan.5707Please respect copyright.PENANA7huJgS3IpJ
Anwar dan Hamidah kembali bertatapan. Anwar yakin tidak ada penolakan dari ibunya. Kini ia mulai mengarahkan mulutnya ke puting ibunya. Mata Hamidah terus mengikuti apa yang dilakukan anaknya.
Tubuh Hamidah semakin bergetar saat mulut Anwar menyentuh putingnya. Anwar mengulum dan mengenyot payudara ibunya. Sama seperti yang ia lakukan saat bayi.
Sesekali ia menjulurkan lidahnya dan menjilat puting Hamidah. Hal ini membuat Hamidah akhirnya memejamkan mata. Entah perasaannya makin aneh saja. Ia mengingat-ngingat rasa itu, sepertinya ia pernah merasakan. Tapi sudah lama. Bahkan dengan suami keduanya ia tak pernah merasakan hal ini.
Hamidah merasakan nikmatnya berhubungan hanya dengan suami pertamanya atau ayah kandung Anwar. Apalagi saat malam pertama, tubuh Hamidah benar-benar bergetar hebat. Karena tubuhnya tak pernah disentuh laki-laki sebelumnya.
Ia begitu menikmati berhubungan dengan suaminya. Setelah memiliki anak kedua, ia sudah mulai jarang berhubungan. Hanya hanya memenuhi melayani suaminya saja, tak bisa merasakan kenikmatan yang begitu hebat seperti sebelumnya.
Apalagi setelah anak ketiga lahir, bisa dihitung, hanya beberapa kali saja berhubungan dengan suaminya. Hamidah fokus merawat anaknya, ditambah usianya yang tak muda lagi. Gejolak nafsunya sudah menurun dan terus menurun.
Suami pertama Hamidah meninggal dunia setelah mengalami sakit. Kemudian sekitar dua tahun kemudian ia nikah siri dengan laki-laki yang dikenalnya di pasar. Namun hanya bertahan setahun, ia kembali menjanda dan tidak memiliki anak dari suami keduanya.
Baru kali ini, kembali Hamidah merasakan tubuhnya bergetar saat disentuh laki-laki. Sayangnya, laki-laki itu adalah anaknya sendiri.
Anwar masih sibuk mengenyot dan menjilati payudara ibunya. Secara bergantian kanan-kiri. Sambil tangannya meraba payudara itu, juga sesekali berpindah ke perut dan pinggang ibunya. Hal ini membuat tubuh Hamidah secara alamiah menggelinjang.
Sekitar 5 menit ia melakukan aksinya, Anwar bangkit dan melihat jam dinding. Ia mulai teringat, kakak dan adiknya. Jika keduanya datang, malah aksinya jadi berantakan dan malah tanggung nafsunya, tak terlampiaskan.
Anwar melihat ibunya kini menutup mata. Ia pun kembali fokus ke vagina ibunya. Anwar kembali mengarahkan penisnya ke mulut vagina ibunya.
Pelan-pelan ia masukkan. Hamidah membuka matanya, ia kembali melihat aksi anaknya. Ia fokus ke gerakan penis anaknya.
Tubuhnya lemas, tapi masih terus merasakan getaran. Apalagi gerakan Anwar yang lembut dan berima. Vaginanya sepertinya makin basah. Anwar makin leluasa melancarkan aksinya.
Penis Anwar makin menegang, nafsunya makin bertambah. Tubuhnya begitu terasang hingga ke ubun-ubun. Darahnya seperti mengalir lancar.
Ia mulai mempercepat gerakan penisnya, sambil tangannya kembali meraih kedua payudara ibunya. Terus meraba-rabanya.
Ia sedikit mempercepat lagi gerakannya. Kini sambil menggenjot vagina ibunya, mulut mengenyot dan menjilat payudara ibunya dengan penuh nafsu.
Hamidah makin merasakan tubuhnya penuh dengan getaran. Bulu kuduknya berdiri. Ia menutup matanya. Antara pasrah dan menikmati apa yang dilakukan anaknya pada dirinya.
Anwar memperlambat gerakannya. Kemudian mempercepat lagi. Begitu berulang-ulang. Anwar memainkan ritme gerakan pinggulnya.
Tubuh Hamidah ikut bergerak mengikuti gerakan Anwar. Hamidah menggelengkan pelan-pelan kepalanya sambil tetap memejamkan mata.
Anwar semakin penuh nafsu. “Ahhhhhh,” akhirnya suara kenakan Anwar keluar dari mulutnya.
Hamidah pun tak sadar kini tangannya berada di atas punggung Anwar. Seakan memeluk Anwar.
“Ahhhh, ibu, enak….,” kata Anwar. Sementara kepala Hamidah kembali menggeleng pelan. Mulutnya ingin mengatakan sesuatu tapi ia tahan.
Sebentar lagi, nampaknya penis Anwar akan menyemburkan sperma. Hamidah makin erat merangkul tubuh anaknya. Anwar memompa vagina ibunya terus menerus secara cepat. Ia tak menurunkan temponya seperti tadi.
***
#12 Suara Rintihan Ibu
“Ahhhhhhhh,” suara rintih Hamidah bikin Anwar kaget. Anwar menghentikan gerakannya seketika. Ia memandang ke wajah ibunya. Hamidah masih terpejam matanya. Sepertinya ia tak sadar ia mengeluarkan suara rintihan.
Hamidah pun membuka matanya. Karena merasakan Anwar menghentikan gerakannya. Ia memandang ke arah Anwar. Kontak mata kembali terjadi antara ibu dan anak ini. Tak ada dialog tercipta dari mulut keduanya.
Mata Hamidah dan Anwar saling tatap dengan tatapan yang dalam. Meski tak bersuara, seakan ada dialog di hati mereka.
“Apakah ibu menikmati?,” tanya Anwar di dalam hati.
“Kenapa berhenti nak?,” tanya Hamidah dalam hati.
Suara rintihan kecil Hamidah tadi bikin Anwar makin melonjak birahinya. Ia kembali menggenjot vagina ibunya.
“Ahhhhhh,” Hamidah kembali merintih. Anwar makin bersemangat memaju mundurkan penisnya.
“Ahhhh…. ahhhh… ahhhh,” suara Hamidah berubah menjadi desahan mengikuti irama ayunan penis Anwar.
Suara itu seperti gelombang, merambat ke telinga Anwar. Bikin Anwar makin bergejolak lagi.
“Ahhhhh, enak…,” Anwar pun ikut mengeluarkan suaranya.
“Ahhhhh……….. ahhhhhh….. ahhhh……………….” desah Hamidah makin panjang sambil kembali menutup matanya.
“Ibu…. enak sekali,” Anwar berani menyebut ibunya langsung. Biasanya ia hanya menyebut ketika coli di kamar mandi sambil membayangkan tubuh ibunya.
Hamidah makin erat memeluk tubuh Anwar. Desahan demi desahan terus terucap dari mulutnya.
“Ahhhhhhhh,” suara Hamidah lebih bergetar diikuti dengan tubuhnya yang juga mulai bergetar.
“Ibuuuuuuuuuu,” suara panjang Anwar diikuti gerakan lebih cepat lagi dari Anwar. Sebentar lagi spermanya akan segera menyembur.
Tubuh Anwar ikut bergetar. Ia merasakan kehangatan dalam pelukan ibunya. Sambil terus menggenjot tubuh Hamida. Ia sudah tak kuasa lagi menahan.
“Ibu… ini enak sekaliiii,” ucap Anwar sambil melepas penisnya dari vagina ibunya. Hamidah kaget dan langsung membuka matanya.
Anwar mengarahkan penisnya ke perut ibunya. Crot….crot… crott….. sperma Anwar memenuhi perut ibunya. Hamidah melihat langsung bagaimana penis anaknya mengeluarkan sperma di perutnya.
Tubuh Hamidah jadi lebih lemas. Ia tak bisa bersuara lagi. Tak bisa bergerak. Hamidah kemudian menutup matanya.
Anwar kemudian bangkit. Ia membersihkan penisnya dengan kolornya. Tak lupa ia juga membersihkan tumpahan spermanya di perut Hamidah. Ia melihat ibunya masih memejamkan mata.
Setelah perut Hamidah bersih. Anwar menarik daster Hamidah hingga tertutup kemaluan Hamidah.
Anwar pun lari ke kamar mandi tanpa bercelana untuk membersihkan spermanya. Saat keluar dari kamar mandi, ia memastikan saudaranya belum datang. Ketika sudah aman, ia langsung berlari ke kamarnya.
Setelah berpakaian lagi. Anwar menuju kamar ibunya kembali. Ibunya seperti terlelap tidur. Anwar kemudian mengambil CD ibunya yang terjatuh di lantai. Ia letakkan di cantolan baju belakang pintu.
Anwar memastikan ibunya baik-baik saja. Ia rasa ibunya kecapekan, apalagi sedang sakit, dan butuh istirahat. Anwar melihat nafas Hamidah teratur. Sepertinya ibunya benar-benar tertidur.
Anwar kemudian mengambil selimut dan menyelimuti tubuh ibunya. Setelah itu ia merapatkan pintu ibunya dan kembali ke kamarnya.
***
Pukul 20.30 WIB, Ratna sudah tiba di rumah. Ia langsung menuju ke kamar ibunya untuk melihat kondisi ibunya. Hamidah terlihat tidur dengan nyenyak.
Ratna membawa soto ayam kesukaan ibunya. Namun tak jadi membangunkan ibunya. Ia membiarkan ibunya beristirahat.
Ratna tak merasakan ada keanehan di kamar ibunya. Ia tak tahu jika di kamar itu, telah terjadi hubungan terlarang antara ibu dan adiknya.
Ratna pun keluar dari kamar ibunya. Kemudian ia menuju ke kamar untuk ganti baju.
Saat malam hari di rumah dan hendak tidur, Ratna sering memakai pakaian minim. Ia kini memakai celana pendek dan tanktop putih tipis. Sehingga BH warna merahnya kelihatan.
Karena ibunya sudah tidur, Ratna berniat memberikan soto itu ke Anwar. Setelah dari kamar mandi, Ratna menuju kamar adiknya yang tertutup. Ratna mengetuk pintu adiknya.
“Anwar, ini ada soto, kamu makan,” teriak Anwar.
“Iya kak,” jawab Anwar.
Anwar yang sedang main HP, segera beranjak dari tempat tidurnya dan keluar kamar.
Saat keluar kamarnya, ia melihat kakaknya berjalan menuju kamar. Mata Anwar langsung tertuju ke tubuh kakaknya.
Ia melihat bokong kakaknya yang besar. Paha mulus kakaknya. Dan payudara menyembul terbungkus BH dan terlihat warnanya dari balik tanktop Ratna.
“Di mana sotonya? tanya Anwar.
“Di dapur,” Jawab Ratna singkat sambil membalik badannya sebentar. Tentu dada Ratna pun makin terlihat jelas oleh Anwar.
Mata Anwar dengan gercep menikmati pemandangan itu.
Bersambung.
ns 15.158.61.51da2