Di lereng sebuah bukit yang sunyi, debu beterbangan akibat deru kencang tapak kuda yang menghentak jalan berkerikil. Seekor kuda coklat dengan bulu mengilap berlari cepat, seolah berkejaran dengan waktu. Penunggangnya, dengan tubuh ramping dan gerakan anggun, memacu kuda itu dengan kemahiran luar biasa. Meski wajahnya tertutup cadar, keanggunannya jelas menandakan bahwa ia bukanlah seorang pria, melainkan seorang wanita tangguh.
Kuda itu memperlambat larinya saat mendekati sebuah pondokan sederhana di lereng bukit. Pondok itu tampak kecil dan terpencil, dikelilingi pepohonan rimbun. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan atapnya hanya berupa dedaunan kering, namun tampak cukup kokoh untuk melindungi penghuninya dari hujan dan panas.
Sesampainya di depan pondok, kuda itu berhenti dengan hentakan halus. Wanita bercadar melompat turun dari pelananya dengan gerakan yang lincah dan penuh keanggunan. Di depan pondok, seorang pemuda—sekitar delapan belas tahun—segera membungkukkan badannya hormat.
“Terima hormatku, Guru,” kata pemuda itu dengan suara penuh rasa hormat.
Meski tubuhnya tampak sedikit kurus, ada kekuatan tersembunyi di balik otot-ototnya yang masih berkembang. Matanya menunjukkan semangat yang menyala-nyala, meskipun wajahnya terlihat lelah oleh latihan keras yang ia jalani setiap hari. Wanita bercadar, yang tak lain adalah pendekar legendaris berjuluk Bidadari Hati Beku, hanya mengangguk tipis sebagai balasan. Dengan langkah pasti, ia berjalan menuju pondokan, diikuti oleh pemuda itu yang berjalan di belakangnya.
Di dalam pondok, suasana sederhana namun tenang menyambut mereka. Di dinding, tergantung sebuah pedang indah dengan gagang berbentuk kepala naga berwarna hijau, senjata sakti yang menjadi simbol keagungan dan keahlian pemiliknya—Bidadari Hati Beku. Pedang itu tampak begitu anggun, namun juga menyimpan aura mematikan.
“Duduklah bersila di hadapanku, muridku. Ada yang harus kubicarakan denganmu,” kata sang pendekar dengan nada dingin tapi penuh wibawa, sambil melepas cadarnya. Saat wajahnya terlihat, keindahan alami terpancar. Rambut hitam panjangnya terurai dengan lembut, sementara matanya bersinar tajam meski ada beban tersembunyi di balik ketenangannya. Meski usianya mendekati akhir tiga puluhan, kecantikan Bidadari Hati Beku tetap tak tertandingi.
Sang pemuda, yang merupakan murid setianya, menunduk dalam-dalam, tak berani menatap langsung gurunya. “Ya, Guru. Apa yang ingin Guru sampaikan?” ucapnya penuh hormat.
Bidadari Hati Beku menatap pemuda itu dengan mata dingin, menghela napas panjang, seolah ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. “Sampai sekarang, setelah berbulan-bulan menjadi muridku, kau masih belum ingat siapa dirimu?” tanyanya dengan nada serius.
Pemuda itu mengerutkan dahinya, berusaha keras mengingat, namun hanya kebingungan yang muncul di wajahnya. “Tidak, Guru. Yang bisa aku ingat hanyalah paman yang dipanggil Danar... dia dibunuh oleh seseorang bernama Mahesa. Itulah satu-satunya yang kuingat, bersama kejadian saat aku terbangun di sini, di pondokan ini. Selain itu, semua ingatanku seperti lenyap.”
Sang pendekar menggeleng pelan, matanya menyipit penuh penyesalan. “Hmm... Ramuan yang kuberikan belum juga bisa memulihkan ingatanmu,” ujarnya, sambil menatap pemuda itu dengan tatapan tajam, penuh pertimbangan.
Ada sesuatu dalam diri pemuda itu yang tak pernah bisa ia abaikan. Setiap kali menatap muridnya, hatinya bergolak. Bukan hanya rasa kasihan, melainkan juga sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang tak pernah ia izinkan untuk muncul ke permukaan. Pemuda itu, dengan segala kebingungannya, adalah potongan dari masa lalunya yang kelam. Nama Danar dan Mahesa yang disebutkan pemuda itu mengusik ingatan tentang dendam lama yang terpendam dalam jiwanya.
“Mahesa...” Bidadari Hati Beku berbisik pada dirinya sendiri, seolah nama itu membawa kilatan ingatan masa lalu yang penuh darah dan kehancuran. Mahesa adalah sosok yang pernah mengguncang dunia persilatan, dan kehadirannya kembali dalam hidup pemuda itu hanya menambah kegelisahannya.
Namun, ia tak bisa membiarkan masa lalu mengaburkan tugasnya saat ini. Pemuda di depannya adalah muridnya, dan ia memiliki tanggung jawab untuk membimbingnya. Meski rahasia tentang jati diri pemuda itu masih samar, ia yakin bahwa nasib besar menanti muridnya—entah sebagai pahlawan atau mungkin menjadi bagian dari balas dendam yang belum tuntas.
“Lupakan dulu masa lalumu,” ucap Bidadari Hati Beku dengan nada tegas. “Tugasmu sekarang adalah menguasai ilmu yang telah kuajarkan. Jangan biarkan bayangan masa lalu menghalangimu. Dunia persilatan di luar sana penuh bahaya. Dan kau, muridku, harus siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.”
Pemuda itu mengangguk dengan patuh, meski kebingungan masih membayang di wajahnya. “Baik, Guru. Aku akan mengikuti semua yang Guru perintahkan.”
Di luar, angin bertiup lembut, membawa aroma dedaunan yang berguguran. Namun di dalam pondokan itu, suasana semakin pekat dengan misteri dan rahasia yang belum terungkap. Dalam diamnya, Bidadari Hati Beku menyembunyikan rahasia besar tentang siapa pemuda itu sebenarnya, dan betapa pentingnya peran pemuda itu dalam pertempuran yang akan datang.
Pertarungan belum berakhir, dan takdir pemuda ini, yang tak lain adalah Sadawira—cucu dari Ki Wajrapani—masih terjalin erat dengan dendam lama yang belum terselesaikan. Mahesa, musuh yang mereka cari, akan segera muncul kembali, dan dunia persilatan akan segera terguncang oleh pertarungan yang penuh darah dan kehormatan.
Namun sebelum itu, pemuda ini harus menemukan jati dirinya, dan Bidadari Hati Beku tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai.
“Kalau begitu lupakan saja soal nama kamu. Sekarang aku yang akan memberi kamu nama. Aku akan memanggilmu dengan nama Sembara.”
Bidadari Hati Beku pada saat pertarungan malam purnama di kediaman Ki Pawaka terhuyung-huyung saat menerima pukulan Tapak Dewa Menampar Bumi dan dia roboh tepat diatas tubuh anak muda yang kini telah jadi muridnya. Anak muda itu adalah Sadawira. Tapi wanita pendekar itu masih sadarkan diri saat terjatuh diatas tubuh Sadawira.
Dia malu karena wajahnya tepat mengenai wajah Sadawira saat terjatuh. Bahkan bibir mereka bertemu meski masih terhalang cadar. Entah kenapa saat itu Bidadari hati Beku merasa tertarik dengan anak muda yang sedang pingsan itu dan kemudian dia membawa anak muda itu untuk dijadikan muridnya.
Ketika sampai di pemondokan tempat tinggalnya Bidadari Hati Beku jadi ingat bahwa dia pernah bertemu dengan anak muda ini saat di rumah makan di kadipaten Parwata. Saat dirumah makan itu dia terlihat bersama pasangan pendekar Danar dan Savitri. Tapi dia lupa nama anak muda yang saat ini jadi muridnya.
"Sembara aku harus mandi dulu, kamu lanjutkan latihannya!" kata wanita itu sembari membuka sedikit ikatan yang melingkari pinggangnya.
“Baik guru.” Sahut anak muda yang kini bernama Sembara.
"Aku mau ke sungai dulu membersihkan tubuh!"
Sembara menjura kepada gurunya dengan menganggukan kepala, lalu Ia pun segera bangkit dari duduk silatnya untuk mempersiapkan latihan jurus selanjutnya. Jurus pedang yang sempat membuat Sembara bingung dengan gerakan yang unik serta tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Untung dia memiliki dasar-dasar silat yang secara naluriah tetap ada meski dia hilang ingatan.
***
Sungai yang membelah bukit itu alirannnya cukup deras. Alirannya mengeluarkan suara menderu karena beberapa bongkahan batu yang menghambat laju air. Bidadari hati Beku berdiri di salah satu bongkahan batu yang besar itu.
Tubuhnya yang ramping dengan pinggul yang montok menggiurkan benar-benar terlihat indah. Banyak lelaki yang tergoda dengan tubuhnya. Meski wajahnya tertutup cadar kalau bertemu orang-orang tapi tetap menarik minat kaum lelaki. Sudah tak terhitung lelaki hidung belang yang tewas ditangan Bidadari hati Beku hanya karena bersikap tidak sopan atau menggoda dengan kata-kata mesum.
Bidadari hati Beku membersihkan tubuhnya dengan duduk di atas batu yang berada di tengah sungai. Wajahnya yang cantik dengan bibir ranum nan seksi, juga mempunyai mata yang lentik dengan alis tebal berbentuk indah, sungguh wanita seperti dia sangat menjadi incaran para lelaki pencinta kecantikan.
Bidadari Hati Beku merasakan mandi dengan penutup kain yang melingkar di tubuhnya adalah kurang nyaman. Tapi Bidadari Hati Beku ragu-ragu untuk mandi dengan tanpa pakaian sama sekali, walaupun tidak ada orang lain selain muridnya di lereng bukit kediaman mereka. Tapi Ia merasa jengah juga kalau-kalau dia di intip oleh muridnya sendiri Sembara. Tapi meski jengah dia juga penasaran apa muridnya berani mengintip dia.
Apa dengan ingatannnya yang hilang itu Sembara punya hasrat melihat tubuh wanita. Kalau ternyata dia punya hasrat itu dan mengintipnya Biadari Hati Beku tidak merasa keberatan apalagi marah. Dia malah tersenyum membayangkan seandainya Sembara sampai berani mengintipnya.
'Ah!.. mana mungkin Sembara berani mengintip gurunya sendiri!" Bidadari Hati Beku membatin.
Sebagai Pendekar yang mempunyai kepandaian tinggi Ia memiliki kepekaan untuk mengetahui apabila ada yang datang ataupun yang mau mengintip Ia mandi. Jadi dia bisa tahu kalau ada orang iseng mau coba-coba mengintipnya.
Karena percaya diri maka Bidadari Hati Beku menanggalkannya kain yang menutupi tubuhnya. terpampanglah bentuk tubuh yang sangat indah. Dengan lekukan-lekukan yang sangat merangsang. Tubuh yang dimiliki Bidadari Hati Beku sangat menggoda. Buah dada yang membusung indah menambah daya tarik tubuhnya. Sungguh sempurna kemolekan wanita cantik ini.
521Please respect copyright.PENANAdjBWjFRK6I
Bersambung521Please respect copyright.PENANAxcjD3zmqPD
521Please respect copyright.PENANASncAx3qrD5