Setiap kali aku melangkah ke kamar mandi, jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya. Ini bukan debaran yang biasa, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih tak terjelaskan. Saat aku mulai melepas satu per satu pakaian yang menutupi tubuhku, ada rasa yang tak biasa menghampiri. Aku berdiri di sana, telanjang bulat, membiarkan air mengalir di atas kulitku yang polos, tapi pikiranku tak bisa berhenti terpusat pada satu hal—celah kecil di dinding itu.
“Kenapa aku merasakan hal ini? Apa yang salah dengan diriku?” pikirku, tapi aku tetap tak bergerak. Tubuhku tetap diam di tempat, seolah ada sesuatu yang menahanku. Jari-jariku tanpa sadar meraba dinding kayu yang rapuh, merasakan retakan kecil di antara sela-sela kayu itu. Tanganku berhenti di celah yang dulu pernah kugunakan untuk memarahi Hendy, tetangga baruku yang tak tahu malu. Dia mengintipku. Saat itu, aku marah, sangat marah. Tapi sekarang, ada sesuatu yang aneh setiap kali aku berada di sini.
Ada pertanyaan yang tak bisa kutolak dari dalam hatiku, pertanyaan apakah lelaki bernama Hendy itu melihat semua bagian tubuhku? Apa yang dia rasakan setelah melihatnya? Apa dia seperti suamiku yang kalau melihat aku telanjang dia akan teransang dan mengajak aku berhubungan suami istri. Apa dia jadi ingin menyetubuhi aku? Sungguh pertanyaan aneh yang tak bisa aku tolak hadir di kepalaku.
Setiap kali mandi, perasaan ini semakin kuat. Ada ketegangan yang tidak bisa kujelaskan, sesuatu yang membuatku menunggu… entah apa. Rasanya seperti ada dorongan yang tak terucap, perasaan yang membuatku tetap berdiri di sini lebih lama dari biasanya. Aku memejamkan mata, membiarkan air membasuh tubuhku, berharap bisa menghilangkan sensasi ini. Tapi nyatanya, itu tidak pernah hilang. Bahkan, semakin hari, dorongan ini semakin kuat, seolah ada sesuatu yang kutunggu di balik dinding itu.
Aku mulai bingung dengan diriku sendiri. Apa yang salah denganku? Kenapa aku seperti ini? Dulu aku begitu teguh memegang prinsip, menjaga diri, tapi sekarang… kenapa setiap kali berada di sini, di kamar mandi ini, aku merasakan sesuatu yang seharusnya tidak boleh kurasakan? Apa yang membuatku terjebak dalam perasaan ini?
Setiap kali aku keluar dari kamar mandi, perasaan bersalah itu segera datang menyerangku. Aku akan berdiri di depan cermin, menatap diriku sendiri, mencari jawaban dari raut wajahku yang semakin kacau. “Apa yang sedang terjadi padaku? Kenapa aku merasa seperti ini?” Aku sering berbisik pada bayanganku sendiri, berharap ada jawaban yang bisa menjelaskan semuanya.
Malam-malamku tak lagi tenang. Aku sering terjaga hingga larut, merenung, bertanya-tanya tentang diriku sendiri. Aku berdoa, memohon ampunan kepada Allah, memohon agar pikiran-pikiran ini hilang, agar hatiku kembali damai. Tapi dorongan itu tak juga pergi. Setiap kali aku berdoa, bayangan tentang kamar mandi, tentang celah kecil itu, terus menghantui pikiranku, seperti bayangan gelap yang tak bisa kulepaskan.
“Aku harus kuat,” pikirku berulang kali, tapi kekuatan itu seolah kian pudar. Di satu sisi, aku tahu apa yang benar, tapi di sisi lain, ada sesuatu yang lebih dalam yang terus menarikku, membawa pikiranku kembali ke tempat yang tak seharusnya. Dan semakin aku mencoba melawan, semakin kuat dorongan itu, menghantui setiap langkahku, setiap waktu yang kulewati sendirian di kamar mandi itu.
Dan di dalam kebingungan yang semakin mendalam ini, aku mulai takut. Bukan hanya pada apa yang telah kulakukan, tapi pada diriku sendiri, pada apa yang mungkin terjadi jika perasaan ini terus tumbuh.
Setelah kejadian itu, aku kembali menjalankan tugasku sebagai istri, melayani suamiku seperti biasanya. Aku tahu itu kewajibanku, tanggung jawab yang harus kutunaikan. Setiap kali kami bersama, aku berusaha menjadi istri yang baik, istri yang taat, tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan yang sulit kugambarkan, seperti ada yang hilang, yang kurang, meskipun aku tidak bisa mengerti apa itu. Setiap sentuhan, setiap pelukan dari suamiku, meskipun kuterima dengan ikhlas, terasa hampa di dalam diriku.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah perasaan sesaat, mungkin karena beban pikiran yang menumpuk. Aku berdoa, memohon agar hati ini kembali tenang, tapi setiap kali melayani suamiku, pikiranku selalu melayang. Bayangan Hendy, tetanggaku yang dulu sering kali kuhindari, tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Kenapa aku memikirkan dia?
Aku ingat dulu bagaimana aku selalu menghindari Hendy. Setiap kali kami hampir bertemu di jalan atau di depan rumah, aku akan segera membuang muka, berpaling secepat mungkin. Rasa marah dan jijik masih begitu kuat saat itu. Tapi perlahan, perasaan itu mulai memudar. Aku tidak lagi buru-buru menghindar. Jika kami berpapasan di jalan, aku tidak lagi membuang muka seperti dulu. Aku bahkan mulai memberanikan diri untuk menatap wajahnya, meskipun hanya sesaat.
Ada sesuatu tentang Hendy yang menarik perhatianku, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan. Mungkin karena rasa ingin tahu, atau mungkin sesuatu yang lebih dalam yang membuatku tak bisa berhenti memikirkannya. Setiap kali bertemu, ada debar di dadaku, sesuatu yang baru, meskipun aku tahu ini salah. Aku tahu aku tidak seharusnya memikirkan dia seperti ini.
Anehnya, justru sekarang Hendy yang menghindar. Setiap kali kami tak sengaja berpapasan, dia akan menundukkan kepala, mempercepat langkah, seolah dia yang sekarang takut bertemu denganku. Tatapan dinginnya yang dulu membuatku kesal, kini justru hilang. Hendy selalu mencari cara untuk menghindariku, dan itu membuatku semakin bingung. Kenapa sekarang dia yang takut?
Aku merasa terjebak dalam pusaran perasaan yang sulit kumengerti. Di satu sisi, aku tahu apa yang benar, apa yang harus kulakukan sebagai seorang istri. Tapi di sisi lain, setiap kali aku menatap Hendy, setiap kali bayangan dirinya muncul dalam pikiranku, ada sesuatu yang bergetar di dalam diriku. Sesuatu yang membuatku merasa aneh, dan itu terus menghantuiku, bahkan ketika aku berada di pelukan suamiku sendiri.
Aku terus berusaha melawan perasaan ini, berusaha keras untuk tetap teguh. Tapi semakin aku melawan, semakin jelas perasaan itu. Hendy, pria yang dulu kuanggap sebagai tetangga menjijikkan yang tak tahu malu, kini menjadi sosok yang sulit kulupakan. Setiap kali melihatnya, jantungku berdebar, lebih kuat dari sebelumnya. Aku tak mengerti, dan itu membuatku semakin takut pada diriku sendiri.
"Apa yang salah denganku?" tanyaku berulang kali dalam hati. Aku merasa seperti kehilangan kendali atas diriku sendiri, terperangkap antara kewajiban dan keinginan yang tak terucap.
Bersambung
ns 15.158.61.11da2