Hatiku berdegup kencang, campuran rasa bersalah dan gairah yang sulit kujelaskan. Kenapa aku melakukan ini? Apa yang sebenarnya kuharapkan? Pertanyaan-pertanyaan moral berkecamuk dalam benakku, namun aku menepisnya jauh-jauh. Aku lelaki yang baik bagi Astrid dan baru merencanakan untuk dekat dengan wanita lain belumlah menjadi sebuah penghianatan.
Setelah hampir satu jam menunggu—jauh lebih lama dari yang kukira—sosok yang kutunggu akhirnya muncul. Anisa melangkah masuk dengan anggun, gaun muslimah hijau tosca membalut tubuhnya dengan sempurna, dengan hijab yang menambah keanggunan wanita cantik sahabat istriku ini. Matanya langsung tertuju padaku, ekspresi terkejut terpancar jelas di wajahnya yang ayu.
"Mas Haris?" suaranya terdengar lembut namun penuh tanya.
Aku tersenyum, berusaha terlihat senatural mungkin, meski jantungku seolah hendak melompat keluar. "Anisa! Kebetulan sekali. Mau bergabung?" tawarku sambil menunjuk kursi kosong di depanku.
Anisa tersenyum dan perlahan mendekat, meletakkan tas tangannya di kursi sebelum duduk dengan anggun. "Mas Haris tumben ada di kafe ini? Mana Astrid?" tanyanya dengan nada ramah namun penuh keheranan.
"Ah, seharusnya aku sedang meeting dengan rekan bisnis dari perusahaan lain," jawabku lancar, kebohongan kedua yang meluncur dari bibirku hari ini. "Tapi setelah menunggu hampir sejam, dia tiba-tiba membatalkan pertemuan. Daripada langsung pulang, kupikir lebih baik menikmati kopi dulu di sini."
Anisa mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan simpati. "Kasihan Mas Haris, sudah jauh-jauh datang malah dibatalkan."
Percakapan kami mengalir dengan lancar, dari topik ringan hingga obrolan yang lebih pribadi. Ada chemistry yang aneh di antara kami—sesuatu yang seharusnya tidak ada, sesuatu yang terasa salah namun begitu menggiurkan. Di sudut kecil hatiku, aku tahu bahwa pertemuan "kebetulan" ini adalah langkah pertama di jalan yang berbahaya.
Wangi parfum Anisa menyeruak lembut di antara aroma kopi yang menguar dari cangkir-cangkir kami. Duduk berhadapan dengannya seperti ini terasa bagaikan mimpi yang terwujud—mimpi yang seharusnya tidak pernah kuimpikan. Sosok yang selama ini hanya bisa kukagumi dari kejauhan, kini begitu dekat hingga aku bisa melihat kilau lembut di matanya setiap kali ia tertawa.
"Jadi, proyek baru di kantormu berjalan lancar?" tanyanya sambil merapikan hijabnya dengan gerakan sederhana yang entah mengapa membuatku terpana.
"Lumayan," jawabku, berusaha menjaga nada suara tetap normal meski jantungku berpacu. "Deadline-nya memang mepet, tapi tim kami sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan."
Anisa mengangguk penuh pengertian. Ada sesuatu dalam caranya menatap yang membuatku merasa benar-benar terpesona..
Percakapan kami mengalir bagai air, melompat dari satu topik ke topik lain dengan kealamiahan yang mengejutkan. Dari film terbaru yang kami tonton, buku-buku yang menginspirasi, hingga tempat-tempat kuliner tersembunyi di kota ini. Setiap kata yang terucap seolah menarik kami semakin dekat, menciptakan dunia kecil yang hanya milik kami berdua di tengah hiruk pikuk kafe.
"Ternyata kita punya banyak kesamaan ya, Mas Haris," ujar Anisa dengan senyum yang menyentuh matanya. "Astrid beruntung punya suami yang bisa diajak diskusi macam-macam seperti ini."
Kalimatnya menohok tepat di jantung kesadaranku. Astrid—nama yang seharusnya menjadi jangkar moralku, kini terdengar bagai alarm peringatan jauh di kejauhan. Sejumput rasa bersalah menyelinap masuk, namun dengan cepat kutepis.
"Hahahaha, siapa dulu dong suami Astrid," jawabku santai, berusaha mencairkan perasaan campur aduk di hatiku mendengar Anisa menyebut nama istriku.
"Ih, dasar kegeeran!" Anisa mencibir, matanya berkilat jahil. "Beneran deh, aku gak nyangka Mas Haris bisa ngobrol santai. Kirain cuma bisa ngomongin politik sama bisnis mulu."
Tawa kami mengalir, ringan dan bebas. "Masak ngobrol sama wanita secantik kamu cuma soal politik doang, gak seru!" sahutku, setengah bercanda.
Anisa tertawa, nadanya menggoda. "Wah, Mas Haris mulai berani ngegombal. Awas ya, aku laporin Astrid!"
"Aku gak takut dilaporin karena memuji kecantikan kamu," balasku, sedikit lebih berani dari sebelumnya.
Tatapan Anisa seketika berubah—ada kehangatan, ada misteri yang susah dibaca di wajah cantiknya. "Wah beneran nekad nih suami orang," Ucapnya pelan tapi cukup terdengar, senyum yang sulit diartikan tersungging di bibirnya.
Kehangatan dalam suaranya membuatku merasa apakah aku memiliki peluang besar uintuk dekat dengannya atau tidak. Aku rasa untuk permulaan cukup sampai disini dulu pendekatan aku kepada Anisa.
"Wah, keasikan ngobrol sama kamu bikin aku lupa waktu. Sebaiknya aku pulang sebelum Astrid nelpon," ucapku dengan berat hati, meski sebenarnya aku tidak ingin pergi. Rasanya, setiap detik yang kuhabiskan bersamanya adalah waktu yang berharga.
Anisa mengangguk pelan, matanya berbinar dalam cahaya senja yang semakin redup. "Iya, udah mau jam 10 malam," katanya dengan suara lembut, seolah dia juga enggan mengakhiri malam ini.
Saat kami bersiap-siap untuk pergi, sebuah pikiran mendadak melintas di benakku—pikiran yang berasal dari bagian diriku yang sudah tergelincir ke dalam permainan berbahaya ini. Aku merasa seperti sedang berdiri di tepi jurang, dan satu langkah lagi bisa membuatku terjatuh. Tapi entah mengapa, aku tidak bisa menghentikan diri sendiri.
"Anisa," panggilku saat kami berjalan ke arah pintu, suaraku sedikit gemetar. "Mungkin... sebaiknya kita tidak perlu kasih tahu sama Astrid kalau kita ketemu di sini!"
Alisnya terangkat, matanya menyiratkan tanya. "Emang kenapa, Mas?" tanyanya, dengan nada yang membuatku sedikit tidak nyaman.
Aku menelan ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat agar tidak terdengar terlalu mencurigakan. "Bukan apa-apa. Hanya saja... kau tahu bagaimana Astrid kadang-kadang. Dia mungkin bisa salah paham jika tahu kita bertemu berdua seperti ini."
"Salah paham bagaimana?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang tak bisa kutebak—apakah polos atau sedang menguji?
"Yah..." Tanganku menggaruk belakang kepala yang tidak gatal, mencoba mengusir rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul. "Kau tahu... kadang-kadang saeorang istri bisa berpikir macam-macam. Aku hanya ingin menghindari kesalahpahaman yang tidak perlu. Itu aja."
Anisa menatapku beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan, meski sorot matanya berubah—seolah dia melihat sesuatu dalam diriku yang bahkan aku sendiri tidak berani mengakuinya.
"Ih mas Haris pakai rahasia segala sama istri. Baiklah, aku gak cerita ke Astrid deh.," ucapnya dengan nada ringan, namun ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia mengucapkannya—seolah dia memahami lebih banyak dari yang kukatakan.
ns 15.158.61.20da2