Pukul 02.00 pagi…
Keluar dari gedung megah Thornstack Cybersecurity, aku sekali lagi melewati jantung kota. Di pagi sekali begini pun masih menyala – nyala. Lebih banyak Drone yang dikerahkan, lebih banyak petugas keamanan yang berpatroli pada sudut tempat yang punya potensi kriminal. Nggak seramai saat malam memang. Tapi, di jam segini adalah prime time bagi wanita dengan “pekerjaannya”.
“Ow~ Takeichi-san~?”
Seseorang memanggilku. Nah, terumana nada merajuk erotis dan suara kalemnya.
(Beri aku istirahat….)
“Ya… sampai nanti.” Aku terus berjalan agak membungkuk, sambil melambaikan tangan selamat tinggal.
“Tunggu dong~”
#Drapdrapdrap!
Langkah highells terdengar begitu cepat.
“Tunggu dong, Takeichi-san~!” Ia lesat merangkul lengan kananku.
“Le-lepaskan aku, Ichikawa-san! Kamu tahu, ‘kan? Aku bukan pria yang suka begituan?!”
Fusae Ichikawa, adalah salah satu bunga raya terpopuler di daerah Kita Ward. Nggak begitu dalam mengetahui tentangnya, tapi aku pernah masuk di sebuah bar. Percayalah, aku hanya punya tujuan untuk minum. Asal tahu saja aku nggak kuat dengan minumal alkohol, jadi Mocktail adalah pilihan terbaikku. Lagipula saat itu saat aku sedang stress menggarap sebuah projek besar.
Ikioi Bar, letaknya lima belas blok kanan dari kantorku. Gemerlap lampu redup biru dan ungu, dengan musik klasik yang membuatku semakin betah. Malam itu, aku duduk di sebelah wanita yang membenamkan wajahnya telungkup di meja bar. Wanita itu mabuk berat.
Aku ingat memesan mocktail mojito apalah itu. Aku memesan acak karena bagiku mencoba – coba rasa minuman yang nggak beralkohol itu seru. Wanita itu mengoceh acak. Yang kutangkap adalah, ia sedang frustasi.
Percayalah, sebenarnya aku nggak berbuat apa – apa. Kesalahan fatalku adalah aku mengajaknya mengobrol. Aku membeli dua mojito. Kami saling mengobrol, berkeluh kesah. Fusae Ichikawa, wanita itu ternyata sedang butuh uang untuk membayar sewa apartemennya atau ia akan diusir. Aku memberinya nasihat untuk nggak menyerah dalam hidup. Setelah itu karena ia menangis, aku memberinya 90 ribu yen sebelum pergi dari bar itu.
Sejak saat itu, dia seperti magnet ke arahku. Setelah pulang dari kantor, aku selalu melihatnya berjalan di jantung kota. Katanya, bantuan yang kuberikan waktu itu membuatnya bersemangat hidup. Bahkan, aku nggak pernah absen bertemu dengannya.
“Ara~ ara~ Takeichi-san, ada apa~? Kamu kok kayaknya lemas dan nggak bertenaga gini~?” Ia memijat – mijat bahuku sebelum kemudian merangkul romantis seolah kami sepasang kekasih.
Fusae Ichikawa dengan kostum polisi. Rambut merah panjangnya yang menutupi poni adalah penampilannya yang paling menarik. Lagipula nggak banyak bunga raya yang punya rambut natural warna merah gelap. Parfumnya selalu menyengat di dua lubang hidungku, sangat mendominasi.
“Ichikawa-san, kumohon jangan sekarang….”
Aku segera menyangkal rangkulan tangannya. Namun rangkulann semakin kuat. Bahkan aku bisa merasakan kelembutan asset memikat miliknya, dagunya yang agak lancip meraih pundak kananku. Mulutnya bahkan sejengkal dengan telingaku.
“Kamu kok tumben malam – malam, Takeichi-san~? Kamu selingkuh dariku~?”
“Errhh… ngomong apa kamu ini, huh? Nggak ada yang terjadi diantara kita! Atau bahkan selingkuhan yang kau bicarakan!”
Aku menggelitiki pinggangnya. Sesaat setelah cengkeraman itu melemah, aku segera menjauh lesat.
“Ara ara~ jahatnya~”
“Anehnya kamu selalu nempel pada orang jahat, Ichikawa-san?” sindirku, lalu berbalik arah dan kembali berjalan ke arah pulang.
Ichikawa-san masih mengikutiku.
“Hey, memangnya ada apa?”
Sebenarnya aku enggan bercerita. Masalahnya bila tidak kulakukan, wanita ini akan terus mengikutiku sampai apartemen dan mengakibatkan salah paham. Salah satu hobinya adalah mengusiliku.
Aku mengatakan semuanya, bahwa aku telah mengundurkan diri dari ThornStack Cybersecurity tanpa penyesalan. Aku bahkan menjelaskan padanya bahwa aku cepat atau lambat akan menjadi pria yang kekurangan uang.
“Hm… nggak juga, Takeichi-san. Pekerja sepertimu pasti punya simpanan rekening banyak, ‘kan? fufufufu”
“Jangan sekejam itu padaku, Ichikawa-san. Tapi, ya begitulah.Kamu nggak perlu mengikutiku lagi. Sampai nanti.”
Aku melangkah lebih cepat.
(Akhirnya satu masalah terakhir sudah beres….)
Awalnya aku berpikir begitu, tapi Fusae Ichikawa masih mengikutiku hingga perempatan. Bahkan ia ini melesat berada di depanku.
“Ara ara~ jangan dingin, dong~! Apa wajahku tampak ingin menguras dompetmu?” Ia mengedipkan salah satu matanya sambil berpose.
“Huh? Bukannya itu sudah jelas? Lagipula… apa matamu kelilipan?”
“Fufufufu! Kamu lucu banget, Takeichi-san!”
Entah bagaimana aku masih bisa berjalan mengabaikan rayuan Ichikawa-san. Aku terus menerus menatapnya dingin. Sebagian dariku mengatakan, aku sebaiknya jangan pernah lagi mendekatinya. Tapi… tampaknya bukan begitu caranya dunia ini bermain.
Saat hendak berbelok kiri dari perempatan, Ichikawa-san kembali merangkulku lagi. Tapi, kini ia merangkul pinggangku. Anehnya, ia diam dan nggak memakai “ara ara~” nya. Ia tampak memohon agar aku mendengarkannya.
“Takeichi-san! Kumohon berbicaralah serius denganku!”
(Ini lagi? Jawabanku nggak mudah berubah, Ichikawa-san.)
Aku memang nggak lagi dan nggak akan pernah mengambil kekasih “Hostess” karena punya beberapa pengalaman buruk. Itu benar, setelah Yuka, aku sempat tolol punya dua wanita yang berakhir meninggalkanku dengan beberapa ribu yen.
Meskipun begitu, aku nggak bilang Ichikawa-san wanita yang buruk. Nah, faktanya itu membuat sedikit kehormatannya tercoreng dengan pekerjaan Ichikawa-san saat ini.
“Kamu nggak capek menanyakan hal yang sama dan mendapat jawaban yang sama pula?”
“Soal itu, aku nggak akan menyerah, Takeichi-san! Ini hal lain!” Suara Ichikawa-san terdengar sangat serius dan mendesak. Aku nggak lihat itu datang, tapi wanita kalem ini rasanya aneh bila merajuk.
(Huh? Hal lain? Memangnya itu pernah terjadi?)
“Apakah ada hal yang bisa kubantu?!” Ichikawa-san terus mendesak sambil terus merangkul pinggangku. Aku tahu ini sangat menganggu, apalagi dua Drone melihat kami berdua. Ini sangat “awkward”.
(Biarkan aku tidur dan mari berbicara besok, tolong?)
Inginnya berkata begitu. Aku bisa merasakan komitmennya. Tapi… sejujurnya aku nggak di tahap perlu mendapat bantuan.
Aku mengelus kepalanya. “Ichikawa-san, aku saat ini… nggak butuh bantuan. Jadi…erh urm-“
“Ka-kamu bahkan menolakku lagi, Takeichi-san!? Apa aku nggak bisa berguna untukmu!?” Ia dengan cepat melepas rangkulannya, lalu memegang pundakkul. Ia mendekatkan wajahnya lalu memandangku frustasi.
(Duh, aku harus cari cara!)
#Ckitcitseett!
Suara lensa Drone yang diputar untuk fokus. Aku bahkan baru sadar bahwa Drone bertambah banyak dan kini menyoroti kami. Aku nggak pernah lihat Ichikawa-san semewek dan hancur begini. Seperti wanita yang patah hati saja. Nah, pada faktanya aku memang menolaknya berkali – kali.
“I-ini nggak seperti aku butuh cepat. Tapi ya… bila ada pekerjaan-“
“Ara ara~ kebetulan ada kok!” Sekejap roman muka Ichikawa-san kembali seperti awal dan mengatur jarak. “Aku ada bisnis kecil, datang ke tempatku besok ya~! Jangan telat, atau Fusae akan marah, ohohohoh!”
(EHHHHHH~ Kok aku asal bilang terima!?”
“E-eh bu-kannya- tadi kamu-“
“Ara ara~ tadi ya tadi, Takeichi-san. Ah sudahlah, aku sudah mengirim alamat lengkapnya di ponselmu~”
Ichikawa-san akhirnya melepaskanku. Ia berjalan ke arah sebaliknya.
Ponsel di saku celanaku bergetar. Aku mengcek pesannya.
(Eh? Kok deket banget?!)
“Sampai nanti, Takeichi-san~” Ia melambaikan tangannya lalu pergi. Seketika drone banyak tadi mulai berpencar satu per satu.
“Bunga krisan putih itu, masih cocok padamu~”
“Ya,ya,ya…,” balasku bosan.
Aku berbelok dan melewati konbini Haruhiro yang masih tutup. Lalu terus lurus dan adanya gangguan hingga sampai apartemen. Satu hal, punggung dan tanganku sangat pegal. Juga…,
Mungkin agak sedikit terlewat, tapi…
Sekarang, Pukul 03.00 pagi….
Aku kangen kasur tidurku.
***
ns 15.158.2.210da2