-??-
Gelap tanpa dasar.
“Chiba.. Chiba…”
Aku merasa tubuhku sedikit terguncang. Terguncang dalam gelap. Apakah ini gempa bumi? Apa aku tertimbun?
“Chiba.. Chiba..,”
Suara wanita memanggilku. Memanggil nama depanku. Seharusnya wanita itu akrab denganku. Ataukah?
“Chiba.., oiiii~”
Tampak samar – samar mataku dipaksa terbuka. Wanita mancung yang dahi kirinya tertutup rambutnya sewarna dengan bunga krisan putih. Dia punya aura cerah dan cukup membuatku bangun. Bahkan wangi parfumnya tercium.
(Hmm? Tumben ia ganti parfum melati?)
“Yuka?”
“Kamu akan melewatkan sarapan kalau kesiangan, Chiba.” Ia pergi dan melanjutkan urusannya.
Yuka Shiragiku, memakai celemek dan daster yang tipis. Cukup menggoda, bahkan bentuk lelukan rudal balistiknya enggak bisa disembunyikan walau dengan celemek.
Aku hanya bisa dibangunkan olehnya. Memanggil – manggil namaku dengan suaranya yang indah, sambil membuka kantung mataku agak ramah. Agak mengerikan sih kalau dipikir – pikir. Nah, pada akhirnya kami sudah terbiasa.
Pukul 06.30
Bangun dan merapikan tempat tidur…. Kemudian ke toilet untuk memberishkan wajah dan mulutku.
Setelah itu, aku mengikuti aroma sedap yang langsung membuat perutku berbunyi.
Di meja makan sudah tersiapkan dua piring berisi nasi goreng, satu teko tisane, dan dua cangkir.
“O-oh, ngomong – ngomong, hari ini nasi goreng udang!“ Yuka menghampiriku. “Ayo, ayo, Chiba! Coba rasain ini, enak gak, ya?” Ia mendorongku untuk segera mencicipi masakannya.
“Baiklah, baiklah, jangan dorong – dorong, Yuka,”
(Ya ampun! Apa ada makanan darimu yang nggak kumakan?)
Kami seperti pengantin baru saja. Meskipun faktanya, kami hanya bertunangan. Yuka yang cukup keras kepala memutuskan untuk tinggal seapartemen denganku. Nah, itu justru membuat hidupku lebih berwarna.
“Oh iya, Yuka, aku masih bingung. Bisakah kita menyebut itu teh saja daripada tisane? Itu adalah penyebutan aneh, menurutku,”
Nah, itu karena Yuka baru – baru ini membeli film detektif era 90-an. Detektif Belgia, si pendek berkumis tebal yang terkenal itu. Secara mengejutkan, dalam seminggu, ia menamatkan seluruh seriesnya. Sasuga Yuka.
“Nggak boleh, Chiba! Ngomong – ngomong, itu tisane bunga krisan putih yang kukeringkan!” tambahnya. “Eh-ehem! Kamu hanya mengecewakan Hercule Poirot-san! Kebenaran akan selalu terungkap dengan sendirinya!” Ia mengatakan itu sambil berpose seolah – olah punya kumis tebal seperti tokoh detektif yang ia tonton.
(Yuka kekanak – kanakan sekali….)
“Nah, Chiba, sekarang cicipi dulu!”
Aku mencari kursi untuk duduk, sementara Yuka tepat di belakang menunggu responku. Aku seolah kepala koki yang sedang menguji makanan pekerjanya.
Aku mengais sesendok…
“Hmph! Mmmmhm~” Setelah kutelan, aku berpaling padanya. Semua rasanya pecah dan semakin membuat perutku meronta. “Enak, kok! Nggak ada masalah! Udang tepung ditambah nasi goreng emang nggak pernah salah, sih!”
“Benarkah? Syukurlah!” Yuka merangkulku dari belakang.
Aku terus melahap hidangan Yuka. Seolah nggak cukup satu atau dua suapan.
Tiba – tiba…
Hujan deras… disertai angin yang masuk melalui jendela….
“Oh, hujan?” ucap kami, sambil berputar ke belakang memandang jendela ruang tamu yang lebar. Hujan sangat deras.
Lampu gantung diatas meja makan bergerak mengikuti hembusan angin dari jendela dapur.
Kemudian… berkedap – kedip. Mati lalu nyala, lalu mati lagi, kemudian menyala.
Berkedap – kedip….
Berkedap – kedip….
Terus begitu, berulang – ulang.
“Chiba….”
Suara lain memanggilku.
-??-
“Chibaaaa…”
Suaranya pelan dan memanjang. Seperti wanita yang lemas dan nggak bertenaga.
“Kelap – kelip,”
“Kelap – kelip,”
Mataku terbuka perlahan, pandanganku kabur dan samar – samar. Kemudian terpejam lagi.
(Apa ini…? Apa aku beneran terkena gempa?)
Aku berpikir begitu karena ada sorotan cahaya yang nggak stabil.
Hidup, mati, hidup, mati, begitu terus.
Kini kubuka lebar – lebar, mataku mulai menangkap dengan jelas seorang wanita. Ventine-san dengan baju olah raga yang kupinjami kemarin menggunakan celemek dan memati hidupkan senter berulang – ulang.
(Ventine-san…? Sedang apa dia main – main senter?)
“Ah, selamat pagi, Ventine-san….”
“Pimpom~ salah! Chibaaaa, Selamat siang….”
Senter itu akhirnya dimatikan dan nggak dinyalakan lagi. Lantas, ditaruhya di atas drawer.
(Ehh? Siang?)
Saat aku hendak mengambil ponsel, aku sadar tangan kananku rasanya berat.
“Ara ara~ selamat siang, Chiba?”
Kemeja lengan panjang merah kotak – kotak dan rok panjang tertutup warna krem, Fusae Ichikawa, tiba – tiba berbaring di kasur dan merangkulku erat – erat.
“Kenapa kamu di sini!? Lagian aku nggak ingat kita sedekat itu? Bagaimana bisa Ventine-san membukakan pintu padamu?”
“Ehhh? Ventine harusnya menolak…?” Ventine yang responnya lambat, lekas menarik – narik kaki Ichikawa-san dengan sekuat tenaga agar menyingkir. Nah, Ichikawa-san nggak terlihat bergeming. Malah ia tampak kegirangan dengan suara erotisnya.
“Ah… sudah, nggak usah, Ventine-san,”
“Ow… okeee.” Ventine-san melepas kaki wanita berambut merah gelap itu.
“Chiba-san, kamu punya piaraan unik ya?”
“Ow, ow! Apakah Ventine imut kayak kucing? Ventine… suka kucing!!” Entah kenapa, ejekkan Ichikawa-san ditangkap beda oleh Ventine-san.
(Kenapa dia malah senang!?) Aku menepuk jidatku sendiri.
“Nggak begitu, Ventine-san! Maksud Ichikawa-san adalah kamu itu sama dengan binatang!”
“Ooohhh! Jadi Ventine… memang mirip?” Ventine-san malah terlihat lebih senang.
(Apa Ventine-san setolol itu?)
Aku segera bangun dan mengambil ponsel.
Pukul 12.30
Itu memang benar seperti yang Ventine-san katakan.
“Chiba…san! Kamu beberapa hal yang perlu dijelaskan… benar~? Misalnya~ melupakan sesuatu?”
Aku berpaling malas ke samping, menghadap Ichikawa-san. Aku agak terganggu dengan senyuman sinisnya.
“Kamu ngomong apa, Ichikawa-san? Juga… tolong jangan panggil nama depanku, dong!”
“Benarkah~?” Kedua tangan Ichikawa-san meraih pipiku, dan menariknya kencang.
“Ara ara~ Pertama…~ kamu harus menjelaskan siapa gadis ini~?”
(Sial! Kenapa aku bisa sebodoh itu? Bahkan aku belum memberitahu siapapun soal Ventine-san!)
“I-ichikawa-san! He-hentikan! Sa-sakit!”
Ia nggak menggubrisku dan malah mengencangkan tarikannya.
“Ara ara~ Kedua…~. Aku telah menunggumu dari pagi hingga jam sepuluh bahkan masih menunggu lagi dua jam?!~ Bagaimana dengan itu, Chi--ba-san~?”
Suara kalemnya nggak menenangkan sekali. Justru sebaliknya itu terasa mencekam. Karena aku ingat kalau jam tujuh pagi akan datang berkunjung ke gedung kecil yang Ichikawa-san beli. Aku menerima tawaran pekerjaannya. Meski ia memaksa, sih.
Ngomong – ngomong… aku ingat soal kemarin. Begitu masuk apartemenku, langsung mengarah ke kasur tidur. Bahkan aku masih mengenakan jas kerja dan bunga krisan putih ini juga masih di sakuku.
(Yah mau bagaimana lagi, ‘kan? Lagipula sampai di apartemen pukul 03.15 pagi? Bagaimana aku bisa bangung di jam 07.00? Apakah aku menjadi budak pekerja lagi?)
Nah, tapi yang jelas aku memang harus meminta maaf pada kedua wanita di hadapanku ini.
***
Kini aku duduk di sofa ruang tamu, dengan dua orang wanita asing. Aku tahu ini akan membuat imageku dipertanyakan.
Kesampingkan hal itu….
Dua pipiku merah padam dan agak nyeri. Aku telah membuktikannya sendiri saat membersihkan wajahku dengan sabun wajah saat mandi. ‘Inilah yang dilakukan pria bila berkali – kali menghancurkan hati wanita’, begitulah kata Ichikawa-san. Ichikawa-san mengomel padaku bahkan saat makan siang, meski aku melewatkan sarapan.
Oh ngomong – ngomong…
Aku nggak menyangka bahwa Ventine-san membuat nasi goreng. Nah, walau itu sudah dingin karena itu seharusnya matang pagi tadi. Aku juga membuatnya kecewa, karena nggak mencicipi makanannya di saat masih hangat. Soal rasa… nah, cukup mirip. Walau nggak hangat, ini jelas masih terasa enak. Aku pikir, lidah Ventine-san mengingatkanku pada seseorang. Hanya saja, Ventine-san menggunakan telur daripada udang.
Aku telah menjelaskan soal Ventine-san kepadanya. Awalnya Ichikawa-san tampak ragu. Tapi melihat Ventine-san yang respon berpikirnya lemot dan agak aneh dalam merespon sesuatu, ia terpaksa percaya. Nah… pada akhirnya rasa percaya juga terpaksa. Apakah aku seburuk itu?
Begitupula dengan Fusae Ichikawa. Aku mengatakan pada Ventine-san bahwa Fusae Ichikawa adalah teman bisnisku. Nah, setidaknya itu yang bisa kubilang saat ini.
Lantas…
Ichikawa-san datang kemari untuk membicarakan sesuatu.
“Nah, aku ingin meminta bantuanmu untuk membuat program sederhana yang mengintegrasikan penjualan, stok gudang, profit, pengaturan bonus, dan nama pelanggan. Seenggaknya aku nanti akan beli dua komputer. Apakah itu permintaan yang kompleks, Takeichi-san?”
Dibalik matanya yang menggunakan eyeshadow, make-up tebal, dan penampilannya yang sederhana namun elegan serta tatapan seriusnya membuatku sulit menolaknya.
Lagipula… aku berencana untuk ke psikiatris.
Obat penenangku mulai habis.
ns 15.158.61.54da2