#Duarr!
Petir menyambar, menggelegar dan menggetarkan telinga. Bahkan itu menghasilkan sedikit gemuruh dan getaran. Aku mengira – ngira apakah petir itu menyambar di dekat sini? Aku kaget hingga nyaris melompat.
(Kencang sekali!?)
Tapi aku bersyukur. Karena sambaran suara petir itu menyadarkanku dari pikiran di masa lalu. Biasanya, aku menggunakan obat penenang yang telah diresepkan psikiatris.
Setelah itu, terdengar suara tetesan yang banyak dan cepat. Hujan amat deras di luar membuat hatiku mencemaskan hal lain.
(O-oh benar juga. Bagaimana dengan wanita tadi? Apa dia baik – baik saja? Kuharap dia udah pergi, sih)
Aku segera berdiri dan lekas lari menuju jendela.
(Huh? Apa di luar memang segelap ini?)
Aku nggak bisa melihat apapun selain tetesan air yang amat deras. Sedangkan lampu di dekat pagar apartemen memang terpasang redup. Tapi hati gelisah ini, membuatku ingin memastikan lebih dekat dengan kedua mataku.
Makanan yang telah kusajikan tadi lekas kututup dengan penutup makanan. Lantas, aku segera mengambil dan menyibakkan payung lalu mengunci kamar apartemenku. Oh ya, sebelum itu aku telah membawa handuk besar bersamaku. Di dalam lift, hatiku bercampur aduk antara khawatir atau berharap wanita pajama hitam tadi telah pergi berteduh di tempat lain.
Dari teras bawah, menuju pintu keluar, aku menerobos hujan angin yang sangat deras. Segera meraih mesin scanner pagar, aku pun keluar. Dan…
Salah satu yang kucemaskan benar – benar terjadi.
(A-astaga! Y-ya ampun!)
Wanita itu bersandar terduduk di tembok gedung dekat tong sampah sambil melipat kakinya untuk dijadikan sandaran kepalanya yang telungkup. Bahkan tangannya melindungi kepalanya dari derasnya air hujan serta kencangnya angin.
“Hey, nona! Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku menggeser payungku agar melindunginya dari tetesan air.
Wanita itu nggak segera merespon. Wajar, mungkin suaraku dikacaukan suara derasnya air langit.
“Nona! Nona!” Aku menggoyang - goyangkan pundaknya. “Apa kamu baik – baik saja?” Aku mendekatkan bibirku ke telinga kanannya. Bahkan aku berteriak.
Sempat membuatku khawatir hingga tiga kali aku memanggilnya. Wanita itu akhirnya mendongak perlahan ke arahku.
“S-siapa…?” Aku nggak mendengar suaranya sama sekali. Tapi gerak bibirnya seolah berkata begitu.
Aku terkejut melihat roman mukanya yang seperti orang asing tapi juga orang jepang.
(Huh? Blasteran? Ah, itu nggak penting!)
“Bicaranya nanti saja! Ayo ikut aku ke kamar apartemenku!”
Handuk yang kubawa segera kulilitkan pada tubuhnya. Namun saat kukira ia mampu berjalan sendiri, ternyata tubuhnya nyaris roboh. Aku menitihnya, menaruh lengan kanannya di atas leherku. Saat bersentuhan dengan kulit putih kurus dan pucatnya, itu sangat dingin sekali. Seperti bekas disimpan di lemari es raksasa.
Kembali melewati pagar dengan mesin scan yang sangat menyebalkan saat hujan, aku entah bagaimana bisa membawanya sampai koridor luar. Namun, sebelum masuk ke gedung, aku mengusap kaki, tangan, dan seluruh badannya dengan handuk yang kubawa. Aku nggak mau lantai gedung apartemen basah.
Payung kuciutkan, kini aku bisa menitihnya lebih cepat. Sampailah kami di lift.
“Nona, kamu… kelihatannya bukan dari sini. Siapa namamu?”
Wajah pucat pasinya terpantul dari metal pintu lift yang mengkilat. Tubuhnya menggigil sampai kepala. Ia seolah ingin meresponku namun agak kesulitan.
“Ve-ventine… ber-berterima kasih pada anda,”
(Huh? Ventine? Ahhh apapun itu!)
Pintu lift terbuka dan tubuh wanita itu hendak ambruk tepat di depannya.
“Wow, wow, wow! Baik, baik, itu nyaris!” Aku menahan pundaknya dengan refleks.
Nggak ada pilihan lain selain gendongan seperti tuan putri negeri dongeng. Saat kuangkat, aku merasa berat wanita itu hampir bisa disamakan dengan Etsu-chan.
(Apa dia wanita salju? EHH~ k-kok wanita salju? Tunggu! Apa wanita salju tubuhnya ringan karena berisi salju? Ah bodo ah! Itu nggak penting!)
Begitulah, aku selalu punya logika dan pemikiran yang bodoh.
Aku melesat cepat hingga berdiri tepat di depan kamar apartemenku. Aku nggak mau orang – orang melihat pria penyendiri seperti menggotong wanita asing. Aku harus mencegah tagar jurnalis koran merusak nama baikku.
Pintu terbuka, aku segera menuju kamar mandi. Tentu setelah menaruh payung kembali ke raknya.
Masih ada sedikit tetesan air membasahi lantai kamar apartemenku karena ia memang dari awal basah kuyup. Sampai di kamar mandi aku memberinya shower untuk membersihkannya dari air hujan atau bahkan rembesan air hujan melalui atap gedung yang kotor.
Sampai… pada bagian terpentingnya…. Yang terpenting, aku masih menggunakan moral dan etika.
“Er… N-nona…. Aku tahu ini mungkin agak vulgar, tapi bisakah kulepas semua pakaianmu?”
Wanita itu segera mengangkat kedua tangannya tanpa penolakan. “Bantu, Ventine….”
(Apa dia selalu aneh begini?)
Wajahnya dan intonasinya selalu datar dan pasrah. Nah, mungkin aku tinggal melakukannya saja.
Ini yang kedua kalinya setelah sekian lama aku melihat tubuh wanita. Kuakui wanita yang mengaku namanya Ventine ini punya kulit yang bagus walau saat ini pucat. Tubuhnya pun langsing namun lebih cenderung terlalu kurus. Namun… rudal balistiknya cukup besar.
(D-cup? O-oh.. ngomong – ngomong, apakah aku memang diizinkan?)
Aku memencetkan sabun lotion cukup banyak. Kumulai dari pundak lalu mengayun ke pinggang sampai bawah. Setelah itu semua beres lalu sampo untuk rambutnya.
Percayalah, aku sama sekali nggak berpikiran aneh – aneh. Ini hanya seperti aku memandikan Etsu-chan ketika Dai-san menitipkan padaku untuk sementara. Terlebih lagi, mendiang tunanganku sudah cukup bagiku. Pikiranku hanya terlintas untuk segera membersihkan wanita yang agak kurang berdaya ini. Aku ingin segera cepat – cepat menuntaskan masalah ini.
Shower kunyalakan lagi sampai benar – benar membuatnya segar dan bersih. Barulah, aku menyalakan kran air hangat pada tub.
(Aku berharap setelah ini nggak dikasuskan ke polisi….)
“Ve-ventine-san…. Silahkan berendam air hangat dulu,”
“Um,” sahutnya mengangguk.
Ventine-san berusaha berdiri untuk menenggelamkan diri pada air hangat.
“Aku akan kembali, Ventine-san.” Aku keluar dari kamar mandi untuk mengurus pakaiannya.
“A-arigatou, Nnii-san,“
.
.
Dalam beberapa menit, setelah mencuci dan mengeringkan pakaiannya, Ventine-san juga selesai dengan berendam.
Aku meminjamkan pakaian hangat lengan panjang, pakaian olahraga warna hijau. Aku masih menitihnya tubuhnya yang agak lemas. Mendengar perutnya yang berbunyi, aku langsung mengarahkannya ke meja makan.
(Benar juga! Aku lupa memasak dua porsi untuk satu orang. Kebetulan Ventine-san datang, jadi… nggak jadi buang – buang bahan.)
“Wooaahh!” Mata Ventine-san mengambang bulat, pupilnya membesar seperti seekor kucing yang lapar.
Aroma makanan yang nggak lama kumasak tadi berlarian ke arah hidung kami saat penutup makanan berbahan baja aluminium itu kubuka.
“Itadakimasu~” Ventine-san lesat mengambil sumpit, dan memulai dengan melahap nasi terlalu cepat.
Melihatnya makan lahap membuat hatiku merasa hangat. Sudah lama aku makan sendiri, kadang hanya dengan foto Yuka. Venti-san senpat tersedak, yang ekspresinya sungguh membuatku nostalgia. Seperti anak keci yang ceroboh.
“Pelan – pelan, Ventine-san….” Aku menyodorkan gelas yang telah kutuangkan air dari dispenser yang disediakan.
Aku menikmati hidanganku seperti biasa, sambil memperhatikan Ventine-san. Rambutnya yang tampak berantakan dan lepek tadi, kini lurus hitam panjang ke bawah dengan potongan rapi menutupi dahinya. Wanita dengan rambut boneka okiku tapi wajah blasteran. Mednungan di wajahnya kini telah berkurang, berganti dengan terbitnya matahari. Pipinya tembem dan kembang kempis saat mengunyah makanan.
(Yah… kadang begini nggak buruk juga….)
Andai aku boleh meminta sedikit saja. Kalau saja, rambut ventine-san berwarna putih….
Maka itu akan cocok dengan Shiragiku (Bunga krisan putih).
(Heh! Apa aku meminta terlalu banyak?)
ns 15.158.2.208da2