ZAHRA POV
Entah berapa lama aku terlelap di atas ranjang bersama Ahmad hingga suara adzan shubuh dari mushola yang berada di samping kamarku terdengar merdu menyadarkanku. Di sampingku masih tergolek tubuh Ahmad, wajahnya terpejam, dengkur lirih samar keluar dari bibirnya. Aku merasa lega, akhirnya pernikahanku dengannya tinggal beberapa saat lagi berakhir, kurang dari 12 jam lagi aku bisa kembali pulang dan menjalani rumah tanggaku dengan Bang Azam tanpa perlu mengkhawatirkan tingkah aneh Ahmad lagi.
Aku meraih ponselku, tak ada satupun pesan atau panggilan masuk dari Bang Azam. Suamiku itu rupanya benar-benar mempercayai Hanum dan Ustadz Hilman hingga tak perlu mengkhawatirkan keadaanku lagi meskipun inilah kali pertama sejak pernikahan kami, aku menginap dan tak pulang ke rumah. Apakah Bang Azam sudah tak mempedulikanku lagi? Bukankah ini yang selama ini aku rasakan hingga akhirnya berhubungan badan dengan pria lain? Aku memang salah, tapi bukankah Bang Azam juga turut serta memberi andil memicu perilaku menyimpangku ini?
Sebagai seorang suami, Bang Azam gagal memberiku rasa nyaman, gagal mengatasi rasa bosanku. Bahkan saat aku tak pulang sejak kemarin, dia sama sekali tak menghubungiku seolah ketiadaanku di rumah tak berarti apa-apa untuknya. Aku kembali menoleh ke arah Ahmad yang masih terlelap, selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya sedikit tersingkap dan memperlihatkan ujung penisnya. Tak butuh banyak godaan setan untuk mempengaruhi pikiranku, pengalaman sex luar biasa semalam bersama adik iparku itu cukup berkesan dan membuatku ingin mengulanginya lagi.
Suara adzan sudah berhenti terdengar saat perlahan aku mendekati tubuh Ahmad. Kusingkap seluruh selimut yang menutupi tubuhnya. Penisnya sedikit mengeras, sesuatu yang lumrah terjadi pada lelaki dewasa saat pagi hari. Morningwood. Saat kegenggam batang penisnya, Ahmad hanya melenguh pasrah dengan kedua mata masih terpejam.
Remasan jemariku berubah menjadi gerakan mengocok naik turun secara perlahan, lambat laun batang penis Ahmad menggeliat, mengeras, dan mulai berdiri tegak. Jujur saja, ukuran penis adik iparku ini memang tak sebesar milik Bang Azam tapi untuk kekerasannya, Ahmad jauh lebih dominan dibanding suamiku. Terbukti tadi malam dia berhasil membuatku bertekuk lutut, memberikan pengalaman sex paling brutal sepanjang hidupku. Sesuatu yang tak pernah bisa diberikan oleh Bang Azam.
Tak puas hanya dengan tangan saja, perlahan kepalaku mendekati selangkangan Ahmad. Kukecupi lubang kencingnya, kumainkan ujung lidahku di sana, hingga akhirnya aku mulai mengulum penis Ahmad. Kepalaku bergerak naik turun, penis Ahmad terasa makin membesar di dalam rongga mulutku.
“Eeemmcchhhhh…Eeeemmcchhhh..” Rintihan lirih terdengar dari mulut Ahmad yang mulai terjaga dari tidurnya. Aku tak peduli, mulutku terus melakukan aksi, mengulum batang penis miliknya.
“Ouuchhh…Gila…Enak banget Ra…” Desis Ahmad saat kedua matanya sudah terbuka dan menyaksikan aku tengah memberinya serviz blowjob.
“Yaahh…Hisap kayak gitu sayang…Ouucchhh..” Desisnya sekali lagi sembari meremas kepalaku.
Sesaat kurasakan lubang kencingnya menyemburkan sesuatu, rasanya asing, tapi dari aromanya yang pesing aku yakin jika ini bukanlah sperma. Kulepas kulumanku sembari menatap wajah Ahmad yang keenakan.
“Lu kencing ya?” Tanyaku sedikit kasar. Ahmad hanya terkekeh ringan.
“Hehehehe, maaf Ra, kelepasan tadi. Tapi nggak banyak kan?” Godanya.
“Anjing Lu!” Umpatku seraya mengocok batang penis Ahmad dengan cukup keras dan kencang.
“Aaacchhh! Raaa! Aku jadi pengen kencing lagi bangsaaat!!” lenguh Ahmad balik memakiku. Entah kenapa umpatannya makin membuat birahiku terbakar.
“Hmm? Mau kencing? Ayo kencingin mukaku!” Tantangku seraya mendekatkan wajahku pada lubang kencingnya.
“Beneran nggak apa-apa Ra?” Tanya Ahmad seolah tak percaya.
“Ayo buruan kencingin? Ato mau kencing di mulutku kayak gini?”
Tanpa rasa jijik sedikitpun aku kembali mengulum batang penisnya. Kuhisap-hisap dengan cukup keras sembari tangan kananku meremasi kantong pelirnya. Diperlakukan seperti itu sontak membuat tubuh Ahmad menggelinjang tak karuan. Lenguhan parau diselingi umpatan-umpatan jorok terdengar dari mulutnya. Tak lama kurasakan penisnya berkedut, kulepas kulumanku pada batang penis adik iparku itu.
Kembali kukocok menggunakan tangan dengan kecepatan tinggi hingga beberapa saat kemudian tubuh Ahmad menegang, dari lubang kencingnya menyembur cairan berwarna yang beraroma pesing. Wajahku basah kuyup karenanya, saat menutup mata tiba-tiba Ahmad meraih kepalaku, memaksa mulutku terbuka dan kembali memasukkan penisnya ke dalam mulutku.
“EEMMCCHH! EEMMCCHH!!!”
Penisnya masih menyemburkan air kencing di dalam rongga mulutku. Sebagian besar tertelan olehku, sebagain lain keluar dan membasahi ranjang, aku berusaha untuk melepaskan diri namun cengkraman tangan Ahmad pada kepalaku bertambah kuat. Aku tak punya pilihan lain selain mebiarkan mulutku jadi tempat air seninya. Aroma pesing seketika menyengat, tapi itu justru membuatku makin bernafsu. Setelah tuntas membuang hajatnya di mulutku, Ahmad melepas cengkraman tangannya. Senyum mesumnya kembali terlihat kala menyaksikan mulut dan wajahku basah kuyup akibat semprotan kencingnya.
“Anjing!” Umpatku seraya menatapnya tajam.
“Hehehehe! Sori sayang, kamu sendiri kan yang nantangin tadi.” Ujar Ahmad tak merasa bersalah.
Aku meludah ke arahnya namun Ahmad malah terkekeh sama sekali tak tersinggung. Aku merasakan sensasi berbeda, Ahmad bisa mengikuti semua keabsurdan otakku, mewujudkan semua fantasi sex terliarku, sekali lagi semua ini tidak akan pernah bisa diberikan oleh Bang Azam. Ahmad menarik tanganku, hingga tubuhku menelungkupi tubuhnya. Tanpa rasa jijik suami Amira itu menciumi bibirku yang masih tersisa aroma pesing kencingnya. Kami saling memagut panas, lidah kami membelit, bertukar liur satu sama lain.
Puas berciuman, kutarik kepalaku menjauh dari wajah Ahmad. Tubuhku bergerak ke atas, mengangkangi wajahnya. Ahmad sempat kaget, namun saat kedua tangannya hendak menarik turun tubuhku, sekuat mungkin kutekan tubuhku ke bawah.
“Eemmppchhhh! Emmmpphhhcchh!!”
Kubiarkan vaginaku menutupi mulutnya, aku bahkan begitu menikmati saat gerak tubuh Ahmad memberi tanda ketidaknyamanan. Rasa marah, benci sekaligus nafsu telah meracuni kepalaku. Beberapa kali tangan Ahmad menepuk-nepuk keras pinggul serta pantatku, suaranya meronta timbul tenggelam diantara tekanan tubuhku di atas kepalanya.
“Anjing! Isepin memek Gue bangsat!” Umpatku seraya mengendorkan tekanan tubuhku dari atas. Saat Ahmad mencoba menarik nafas dalam-dalam kembali ketup mulutnya dnegan vaginaku, kali ini tanpa tekanan berarti, berganti dengan gerakan maju mundur tubuhku secara perlahan. Kurasakan lidah dan mulut Ahmad mulai bekerja menuruti perintahku.
“Acchh! Anjing! Pinter banget! Aaachh! Iya di situ anjing! Isepin yang kenceng!” Umpatku saat bibir tebal Ahmad mencucupi klitorisku.
“Haaaah!!! Haahhh!!” Ahmad mendengus berat saat kembali kutekan tubuhku ke bawah, berharap agar mulutnya makin kencang menghisap klitorisku.
“Gue pengen kencing bangsat!”
“Eeemph! Kencingin aja sayang! Emphhhh..Kencingin mukaku!” Balas Ahmad menantangku.
Rupanya Ahmad juga begitu menikmati morning seks kali ini. Aku tak perlu lagi merasa sungkan dan membatasi diri lagi. Saat gejolak itu datang, kuangkat sedikit pantatku, mulut Ahmad terbuka lebar bersiap menampung air kencingku. Benar saja, tak lama kurasakan tubuhku sedikit menegang sebelum kemudian dari lubang vaginaku mengucur deras air seni berwarna bening. Kuarahkan tepat di mulut Ahmad.
“HAAAHH!!! HAAAHH!!!!” Tanpa rasa jijik sedikitpun adik iparku itu meminumnya.
“Haahh!!! Gila!! Enak banget ngencingin mulutmu!” Pujiku tanpa sadar saat vaginaku berhenti mengeluarkan cairan kotor.
Ahmad kembali menarik pinggulku agar vaginaku mendekati mulutnya. Lidahnya bergerak liar menjilati tiap jengkal liang senggamaku, menyesapinya berkali-kali hingga membuat tubuhku mengejang bak cacing kepanasan. Mulut Ahmad menyedot-nyedot seolah tak ingin ada air kencing yang tersisa di sana.
Puas melakukannya, Ahmad segera merebahkanku di atas ranjang yang telah basah kuyup karena kencing kami berdua. Aroma pesing sama sekali tak membuatku jijik, dan justru makin membuat birahiku terbakar hebat. Kuliaht penisnya sudah mengacung tegak sekeras kayu. Kubuka lebar-lebar kedua pahaku, memberi jalan masuk sempurna pada Ahmad untuk segera menyetubuhiku. Sejenak dia menggesek-gesekkan ujung penisnya pada permukaan vaginaku, membuatku makin gelisah karena merasa sedang dipermainkan. Senyum mengembang di wajahnya, senyum yang membuatku muak sekaligus bernafsu.
“Buruan masukin anjing!” Umpatku tak sabar seraya mendorong tubuhku agak maju dan menjemput ujung penisnya.
PLAK!
PLAK!
“ANJING! SAKIT GOBLOK!” Aku mengumpat kasar karena tiba-tiba Ahmad menampar pipiku dengan cukup keras.
“Dasar lonte!” Balasnya.
“Anjing! Cuh!” Aku kembali meludahinya. Seringai menjijikkan tergambar di wajah Ahmad seolah dia begitu puas melakukan tindakan kasar padaku.
Ahmad membasahi ujung penisnya dengan ludah sebelum kemudian kembali menggesek-gesek permukaan vaginaku. Tubuhku menggelinjang saat ujung penisnya menekan klitorisku, belum sempat aku mengumpat untuk kesekian kalinya, mendadak Ahmad mendorong pinggulnya ke bawah dengan cukup keras. Sentakan hebat itu seketika membuat batang penisnya melesak tanpa ampun ke dalam liang vaginaku.
“AARGGHHTT!!! ANJING!!!” Pekikku bak orang kesetanan.
Ahmad seolah tak mempedulikan umpatanku, adik iparku itu justru menggenjot vaginaku dengan kecepatan tinggi, keras, dan kasar. Sesekali tamparan tangannya menyasar wajah dan kedua payudaraku. Rasa sakit yang mendera tubuhku seolah jadi alat pembakar birahi yang cukup ampuh. Aku melenguh, meronta, sekaligus mendesah nikmat layaknya seorang pelacur murahan.
Kurasakan penis Ahmad bak piston yang bergerak keluar masuk tanpa jeda. Rasa gatal di dalam liang vaginaku benar-benar dipuaskan oleh Ahmad. Aku ternyata begitu menyukai permainan kasar dan jorok seperti ini, Ahmad membawa sensasi baru dalam kamus besar perjalanan seksku.
“Aaahh….Aaahhh…Enak nggak Ra?”
“I-Iya..Enak banget anjing!! Aaahhh!!”
Tubuhku menggelepar tak berdaya dihantam tusukan demi tusukan penis Ahmad yang entah kenapa sejak semalam begitu gagah memporak-porandakan pertahananku. Jujur aku benar-benar kewalahan menghadapinya. Saat Ahmad merundukkan kepalanya dan mulai menghisap putingku secara bergantian, kulingkarkan kedua kakiku di punggungya, kugunakan otot-otot pahaku untuk mengunci gerakan tubuhnya. Ahmad seolah tau keinginanku, gerakannya tak lagi sebrutal sebelumnya tapi dengan posisi seperti ini tusukan penisnya jadi makin terasa begitu dalam.
“Ouuucchhh!! Anjing!!!! Enaaaakkk!! Entotin terus bangsat!!!” Ceracauku makin tak karuan.
Sesekali Ahmad mendiamkan penisnya di dalam vaginaku, pinggulnya berhenti bergerak, saat pantatku sedikit terangkat pria itu kemudian menghujamkan seluruh batang penisnya dengan kekuatan penuh. Diperlakukan seperti itu tentu membuat gejolak dalam diriku makin terbakar. Hingga beberapa saat kemudian aku merasakan gelombang orgasme menguasai diriku. Mataku terpejam menyesapi kenikmatan itu sementara tubuhku mengejang beberapa kali.
“AAAARGGHHTTTTTTT!!!”
Bukannya berhenti dan memberiku jeda istirahat, Ahmad justru menaikkan tempo genjotan tubuhnya. Penisnya kembali bergerak keluar masuk di dalam rongga senggamaku dengan kecepatan tinggi. Pria itu menarik pinggulku ke atas dengan kedua tangannya membuat selangkanganku kini berhadapan langsung dengan bagian bawah tubuhnya. Tanpa ampun Ahmad menyetubuhiku, lenguhan keras dari bibirku makin membuatnya bersemangat hingga beberapa saat kemudian kurasakan penisnya berkedut hebat.
“Lepas! Lepas! Jangan dikeluarin di dalem!!” Teriakku panik tapi terlambat, Ahmad sengaja menyemprotkan spermanya di dalam vaginaku.
“AAAACCHHHHH!!!!”
Kurasakan vaginaku penuh dibanjiri cairan hangat, beberapa diantaranya meluber keluar dan membasahi paha dalamku. Ahmad mendengus beberapa kali sebelum menurunkan pantatku kembali ke atas ranjang. Sekilas kulihat ekspresi wajahnya yang begitu puas setelah menuntaskan hajat seksualitas.
“Brengsek!” Gerutuku saat melohat dari dalam vaginaku keluar cairan spermanya yang cukup banyak.
“Hehehehe, ingat Ra, kita ini masih suami istri. Kamu tidak boleh marah kalau dipejuin suamimu sendiri. Dosa Ra…” Ujar Ahmad.
“Bodo amat!” Aku bangkit dari tempat tidur dan melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 6 pagi, kurang beberapa jam lagi statusku sebagai istri Ahmad akan berakhir. Awalnya aku sangat bahagia, tapi entah kenapa aku jadi menikmati status baru ini apalagi Ahmad begitu perkasa dan bisa memuaskanku untuk urusan seks.
1196Please respect copyright.PENANARWUTwKitCF
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION , KLIK LINK DI BIO PROFIL UNTUK MEMBACA VERSI LENGKAPNYA1196Please respect copyright.PENANAtgl1g8M5Co
1196Please respect copyright.PENANA0euVnCgstD