Dengan langkah gontai tapi tergesa, Salma berjalan menuju ruang depan. Ia berhenti sejenak di depan pintu, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Wajahnya harus tampak biasa, pikirnya, meski hatinya masih berdebar hebat.
Ketika ia membuka pintu, senyum kecil langsung ia paksakan. “Waalaikumsalam, Abi, sudah pulang?” tanyanya dengan suara seramah mungkin.
Fahri mengangguk, masuk ke dalam rumah sambil memandang istrinya dengan mata penuh kehangatan. “Kenapa lama sekali? Aku sudah ketuk dari tadi,” ujarnya sambil menaruh tas di meja.
“Maaf, tadi aku ketiduran. Udah malam juga. Gak dengar,” jawab Salma cepat. Ia memalingkan wajah sejenak, takut ekspresinya bisa mengundang kecurigaan.
Namun, di balik senyum palsunya, pikiran Salma masih dipenuhi kekhawatiran. Apakah Julius benar-benar sudah pergi jauh? Apakah Fahri akan menyadari sesuatu? Dan yang paling penting, sampai kapan rahasia ini bisa ia sembunyikan?
Salma tahu, ini bukan akhir dari kegelisahannya. Hatinya yang kini dihantui rasa bersalah dan takut akan konsekuensi yang suatu saat mungkin tak lagi bisa ia hindari.
Setelah kejadian tadi, suasana rumah kembali tenang. Fahri tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigai apa pun. Tatapannya tetap hangat, dan sikapnya seperti biasa. Salma pun merasa lega. Hatinya yang sebelumnya dilanda kegelisahan perlahan mulai kembali tenang. Bahkan, rasa bersalah yang sempat menggerogoti pikirannya mulai memudar, tergantikan oleh perasaan nyaman yang ia yakini sebagai bukti bahwa rahasianya tetap aman.
Namun, malam itu, ada sesuatu yang berbeda dalam diri Salma. Hasrat yang tak tuntas tadi membutuhkan pelampiasan. Keinginan untuk bercinta begitu kuat. Salma mendekati Fahri dengan penuh harap. Ia mengajaknya untuk lebih intim, untuk melayani satu sama lain sebagai suami istri.
“Abi,” panggil Salma lembut saat mereka sudah di kamar. Ia duduk di samping Fahri yang tampak sibuk dengan ponselnya. “Abi aku lagi pengen.” lanjutnya dengan suara yang dibuat semanis mungkin.
Fahri menoleh sekilas, lalu tersenyum kecil. “Maaf, Ummi. Aku capek banget malam ini. Lagian baru sampe juga. Kenapa Ummi emang lagi pengen ya?,” jawabnya sambil meregangkan tubuh, lalu merebahkan diri di tempat tidur.
“Iya nih, Abi.”
“Besok malam aja ya Ummi aku janji.”
Salma akhirnya terdiam, menatap suaminya yang dengan santai menutup mata seolah ajakannya barusan tidak berarti apa-apa. Biasanya, ia akan memahami dan menerima alasan itu tanpa banyak kata. Tapi kali ini, sesuatu di dalam dirinya terasa tidak bisa menerima.
“Abi selalu bilang capek,” gumam Salma pelan, tapi cukup keras untuk terdengar.
Fahri membuka matanya, tampak sedikit bingung. “Maksudnya apa, Ummi?”
“Gak apa-apa,” jawab Salma cepat, mencoba menahan kekesalannya. Namun, perasaan itu tetap muncul, merambat hingga membuat hatinya terasa panas.
Selama ini, Salma dikenal sebagai istri yang sabar, yang jarang menuntut apa pun dari suaminya, terutama soal hubungan mereka. Tapi malam itu, rasa kecewanya memuncak. Ia merasa tersiksa karena hasratnya yang menggebu tadi bersama Julius tidak tertuntaskan karena Fahri suaminya tiba-tiba sudah pulang. Sementara Fahri ketika dia ajak untuk memenuhi hasratnya malah menolak. Padahal, di sisi lain, ia tahu ada hasrat dalam dirinya yang ingin dituntantaskan begitu menggebu,
***
860Please respect copyright.PENANAsGD5LUZ21v
Salma bangkit dari tempat tidur, berjalan ke arah jendela sambil memeluk dirinya sendiri. Ia memandang keluar, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa kesal itu tetap membara. Ia tidak mengerti mengapa dirinya menjadi seperti ini, mengapa dia begitu kesal karena hasratnya tidak tuntas. Fahri tampaknya tidak menyadari gelombang emosi yang tengah berkecamuk di hati Salma.
Ucapan Fahri bahwa dia akan memenuhi hasrat Salma besok pagi tak cukup untuk meredakan hati Salma yang mulai uring-uringan. Malam itu, meski rumah terlihat damai dari luar, di dalam hatinya, Salma tahu ada sesuatu yang berubah—sebuah jurang kecil yang perlahan terbentuk antara dirinya dan suaminya, jurang yang ia takuti akan semakin lebar jika ia tidak menemukan cara untuk mengatasinya.
Seperti biasa, Salma terbangun ketika adzan subuh berkumandang, membelah keheningan pagi. Suara panggilan shalat itu mengalir lembut dari masjid dekat rumah, mengingatkan jiwa untuk bersujud kepada Sang Pencipta. Di sampingnya, Fahri juga mulai bergerak, mengusap wajahnya dengan tangan untuk menghilangkan sisa kantuk.
Namun, hati Salma terasa berat pagi itu. Bayangan kejadian semalam bersama Julius masih membekas di pikirannya. Meski tidak sampai Julius memasukan kontolnya lke dalam memek tapi memeknya sudah keluar cairan, ia tahu ada dosa yang telah ia lakukan—dosa yang sulit ia lupakan begitu saja. Dengan napas panjang, ia bangkit dari tempat tidur. Tubuhnya seperti digerakkan oleh rasa bersalah yang menguasai hatinya. Dia harus mandi wajib karena itu.
“Ummi, kamu mau ke mana?” tanya Fahri sambil menguap kecil.
Salma tersentak. “Aku… mau mandi dulu,” jawabnya cepat, berusaha terdengar wajar.
Fahri mengerutkan kening, tampak bingung. Namun, ia tidak berkata apa-apa dan hanya membiarkan istrinya berlalu menuju kamar mandi.
Air dingin menyentuh kulit Salma, membasuh tubuhnya yang penuh dengan rasa gelisah dan penyesalan. Ia berusaha mengendalikan pikirannya, tapi rasa bersalah terus menghantui. Hatinya menguatkan diri untuk melafalkan niat mandi wajib, berharap bahwa air yang mengalir ini tidak hanya membersihkan tubuhnya, tetapi juga dosa-dosa yang telah ia perbuat.
Saat Salma keluar dari kamar mandi, Fahri menatapnya dengan rasa penasaran yang tak dapat ia sembunyikan. “Ummi mandi wajib? Kenapa, Ummi?” tanyanya, suaranya datar, tapi ada nada keheranan di dalamnya.
Salma terdiam sejenak. Ia tidak pernah menyangka Fahri akan bertanya langsung seperti itu. Lidahnya kelu, tapi ia tahu harus memberi jawaban. Dengan suara pelan, ia berkata, “Iya… semalam aku… aku gak tahan. Aku… masturbasi.”
Kata-katanya menggantung di udara, seperti awan gelap yang menyelimuti ruangan. Salma tidak berani menatap mata Fahri, takut melihat reaksi di wajah suaminya.
Fahri tertegun. Sesaat ia hanya diam, lalu menggelengkan kepala pelan. “Astaghfirullah, Ummi,” ucapnya dengan suara rendah, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Kenapa kamu sampai seperti itu?”
Salma hanya bisa menggigit bibir, tak tahu harus berkata apa. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya—tentang Julius, tentang apa yang hampir terjadi semalam. Pilihannya untuk berbohong mungkin telah menyelamatkan situasi ini, tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa kebohongan itu hanya menambah berat beban yang harus ia pikul. Maka dia memilih untuk dia saja.
Untung saja Fahri suaminya tidak mendesak lebih jauh. Dia hanya menghela napas panjang. “Sudahlah, ayo kita shalat,” katanya akhirnya, seolah ingin mengakhiri pembicaraan. Namun, nada suaranya menyiratkan kekecewaan yang sulit disembunyikan.
Salma mengangguk tanpa suara, mengikuti Fahri menuju tempat wudhu. Di setiap langkahnya, ia berdoa dalam hati, memohon ampun atas kesalahan yang telah ia perbuat dan kebohongan yang baru saja ia ucapkan. Namun, ia juga tahu bahwa dosa-dosa itu tidak akan hilang begitu saja.
Malam dan pagi itu telah menjadi rahasia yang harus ia sembunyikan, tidak hanya dari Fahri, tetapi juga dari dirinya sendiri.
Selain berdakwah, Fahri suami Salma mengajar di sebuah madrasah aliyah swasta. Pagi itu, seperti biasa, Fahri bergegas pergi setelah sarapan, membawa tas berisi kitab-kitab agama. Sebelum meninggalkan rumah, ia sempat berpamitan pada Salma dengan senyum lembut, tak menyadari gejolak di hati istrinya.
Begitu Fahri pergi, Salma menghela napas panjang. Rumah menjadi sunyi, tapi pikirannya tidak. Masih ada rasa gelisah yang menggantung sejak malam tadi—bayangan Julius dan apa yang hampir terjadi terus berputar dalam benaknya.
Setelah membereskan rumah seadanya dan mengurus kedua anaknya, Salma memutuskan untuk menengok ke rumah Rita, tetangga sekaligus sahabat dekatnya. Rita masih belum pulang dari rumah keluarganya, tempat ia menginap setelah pesta pertunangan di rumah keluarganya itu. Namun, ada sesuatu yang lain yang membuat Salma tertarik untuk datang ke sana.
Dalam hati, Salma bertanya-tanya: Apakah Julius, suami Rita, juga ikut menginap di rumah keluarga Rita? Atau dia ada di rumah ini? Pertanyaan itu membuat dadanya berdebar. Ia merasa ingin tahu, tapi di sisi lain, ia takut dengan jawabannya.
Bersambung
Baca episode lebih baru dan lebih banyak gratis di https://victie.com/app/works/110
daftar dan masuk ke menu pengaturan dan aktifkan konten dewasa
ns 15.158.61.43da2