Keesokan harinya Mayang bangun dari tidur dengan perasaan senang. “Kak Damar, Kak Mawan ayo buruan berangkat sekolah” Mayang menunggu mereka di depan rumah. Mereka pun segera berangkat naik kereta kuda.
“Kak aku sudah baca buku dari ayah, ceritanya seru. Kisahnya tentang seorang tuan putri yang terpaksa berpetualang demi membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Orang tua Serena dibunuh dengan kejam oleh Raja Laen. Tapi untungnya ada Olin yang setia menemani Serena. Akhir ceritanya sangat mengagumkan” Celoteh Mayang sambil menggerakan tangan kesana kemari.
“Tapi aku tidak mengerti kenapa harus ada ayah dan ibu? Kenapa juga ada rasa cinta? Apa cinta itu? Bagaimana perasaan cinta itu? Kenapa Serena sedih saat kehilangan keluarganya? Kenapa.....” Mayang terus saja menghujani Damar dan Hermawan dengan berbagai pertanyaan.
“Mayang jika ingin bertanya harus satu-satu dulu” Ucap Damar sembari tersenyum.
“Baik kak, apakah semua orang memiliki ayah dan ibu?” Tanya Mayang polos.
“Iya, ayah sebagai pemimpin dan bertanggung jawab atas keluarga sedangkan ibu sebagai pengayom dan pembina dalam keluarga. Berkat adanya kedua orang tersebut kita bisa lahir di dunia” Damar mencoba menjelaskan kepada Mayang.
“Lalu bagaimana denganku, kenapa Mayang tidak tau ayah dan ibu Mayang? Aku hanya ingat, aku berada di sebuah danau kemudian ada seorang nenek berkata bahwa aku telah mendapatkan apa yang aku inginkan yaitu kehidupan yang lebih lama, tapi kodratku tidak bisa diubah bagaimanapun juga aku harus meletus jika waktunya tiba” Mayang mengingat kembali tentang dirinya.
“Meletus?” Hermawan bertanya penasaran.
“Iya, aku tidak tau apa maksudnya. Setelah itu aku berjalan tak tentu arah dan akhirnya bertemu ayah disana” Mayang beralih dengan menceritakan dirinya.
Damar dan Hermawan saling bertatapan. Mereka sangat bingung mencerna cerita Mayang.
“Pertanyaan kedua” Suara Mayang mengagetkan Damar dan Hermawan.
“Kenapa Serena sedih saat kehilangan kedua orang tuanya?” Mayang melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan mereka berdua secara tidak langsung.
“Jawaban dari pertanyaan itu hanya dapat dirasakan tapi sulit untuk dijelaskan atau dideskripsikan” Ucap Hermawan dengan mata sayu.
Mayang melihat ekspresi Hermawan tampak begitu sedih, ia pun mengurungkan untuk bertanya lagi.
“Untuk pertanyaan kamu tentang apa itu cinta, cinta adalah sebuah perasaan yang lebih dalam daripada rasa kasih dan sayang” Damar mencoba mencairkan suasana, Mayang terkejut karena Darma menjawab pertanyaan yang ia urungkan.
“Aah, kamu masih bocil jadi tidak akan mengerti. Lebih baik kamu fokus saja dengan pelajaranmu nanti. Jangan sampai kamu mendapat nilai jelek karena terlalu banyak membaca buku fiksi” Celetuk Hermawan sembari menatap keluar cendela.
“Kak Mawan, bagaimanapun juga nilaiku tidak akan jelek. Aku sudah mengerti semua pelajaran yang diajarkan oleh bu guru” Mayang menjawab Hermawan dengan nada datar.
Percakapan merekapun terus mengalir hingga tiba di sekolah.
“Mayang, jangan baca buku lain saat jam pelajaran” Damar memperingatkan Mayang untuk menghormati guru yang mengajar.
“Tenang saja kak, jika ayah tau Mayang nakal di sekolah, ayah pasti akan melarangnya untuk pergi ke sekolah.” Hermawan menimpali ucapan Damar.
Seketika Mayang terkejut mendengar ucapan Hermawan, “Kak, jangan bilang ayah. Mayang suka ke sekolah, Mayang janji tidak akan nakal. Jadi jangan bilang ayah kalau aku bosan dengan pelajaran sekolah” Mayang menunduk dengan wajah sedih.
“Hehehe.... kakak nggak bakal bilang kepada ayah. Tapi kamu harus ingat jangan nakal, hormati guru, sayangi teman. Sekolah bukan hanya sekedar menjadi pintar melainkan juga bermatabat.” Damar membelai rambut Mayang dengan lembut.
Saat di kelas Mayang berusaha untuk mendengarkan guru mengajar meskipun ia bosan dengan pelajarannya. Ia sudah mampu membaca buku pak Bambang meski usianya baru 4 tahun. Dia tidak lagi memerlukan pengajaran membaca dan menulis. Satu-satunya pelajaran yang ia sukai saat di sekolah ialah kesenian. Terkadang membuat kerajinan tangan, menyanyi, menari, menggambar dan bermain musik.
Sepulang sekolah mereka bertiga belajar di rumah bersama-sama. Damar dan Hermawan mengerjakan tugas mereka sedangkan Mayang sedang asyik menggambar pemandangan.
“Apa yang kamu gambar?” Hermawan mencoba mengintip gambar Mayang yang dari tadi ditutupi dengan rapat.
“Disuruh bu guru gambar pemandangan” Mayang menjawab pertanyaan Hermawan sambil sibuk menggerakkan krayon warna hijau.
“Pemandangan apa yang Mayang gambar?” Damar mulai penasaran
“Rahasia” Mayang ingin membuat kedua kakaknya semakin penasaran
Hari sudah sore, pukul 5 sore Pak Bambang pulang kerja. Sepulang dari kerja Pak Bambang segera membersihkan diri. Setelah itu, ia berkumpul bersama anak-anaknya.
“Bagaimana dengan sekolah kalian hari ini?” Pak Bambang membanting tubuhnya di atas sofa. Meskipun ia sangat lelah tetapi ia berusaha untuk meluangkan waktu mendengar cerita ketiga anaknya.
“Damar seharian sibuk dengan kegiatan OSIS yah” Damar menyahuti Pak Bambang sembari menyuguhkan teh hangat untuk Pak Bambang
“Aku hanya menghabiskan waktu di perpustakaan saja” Hermawan turut buka suara
“Kalau aku, hari ini di sekolah sangat menyenangkan. Ayah mau lihat PR menggambarku?” Mayang mendekati Pak Bambang dengan wajah imut.
“Coba ayah lihat” Pak Bambang membuka buku gambar Mayang. Damar dan Hermawan ikut melihat gambar Mayang.
“Katanya gambar pemandangan, kenapa malah gambar pentol bakso?” Hermawan terlalu jujur dengan ucapannya sehingga Damar dan Pak Bambang menahan tawa.
“Ini gambar danau dan ini adalah gelembung” Mayang mencoba mempresentasikan gambar abstrak miliknya. Bahkan Mayang yang terlihat sempurna dengan kekuatannya pun memiliki kekurangan. Satu-satunya hal yang tidak bisa ia lakukan dengan benar adalah menggambar.
“Bagus, ini pemandangan dimana?” Pak Bambang mencoba menghibur Mayang yang terlihat kesal.
Mayang mengangkat bahu “Aku bermimpi ke tempat ini dan aku tidak tau ini dimana”
Mereka bertiga saling berpandangan, kemudian saling mengangguk karena satu pemikiran. Mayang masih anak-anak dan imajinasinya masih tak terbatas. Hanya senyum yang tersungging di wajah mereka, tanpa berkata apapun.
Malam hari pun tiba, bintang dan bulan bersembunyi di balik mendung. Semua orang sudah tertidur lelap namun Mayang masih terjaga. Ia duduk di dekat jendela sambil menatap langit. Tiba-tiba ada satu cahaya hijau muncul dari kejauhan. Cahaya itu semakin dekat dan semakin terang.
“Dia yang ada di langit berjalan di bumi, menciptakan keajaiban kepada yang tak bernyawa. Kini keajaiban itu akan membawa keajaiban untuk mereka yang punya impian dan harapan” Seiring dengan mendekatnya cahaya aneh tersebut terdengar suara perempuan yang menggema. “Saat umur mu 17 tahun, langit akan membarikanmu hadiah. Ingatanmu dan jati dirimu akan kembali” Perlahan cahaya itu menjauh dan menghilang.
Mayang terdiam kaku, ia hanya bisa menggerakkan matanya saja. Ia penasaran dan ingin mengejar cahaya tersebut tapi tidak bisa. Banyak pertanyaan yang mulai bermunculan di benak Mayang. Setelah cahaya itu benar-benar hilang, Mayang baru dapat menggerakkan tubuhnya. Ia merasa sedikit pusing dan segera tidur di ranjangnya.
Keesokan harinya mereka berkumpul bersama di meja makan, kegiatan wajib yang harus dilakukan sebelum berangkat sekolah dan kerja. Hidangan hari ini adalah sayur lodeh dan ikan asin. Kopi tersedia di depan Pak Bambang sedangkan ketiga anaknya minum segelas susu.
“Jangan sampai ada yang ketinggalan. Ingat hormati guru, belajar yang rajin dan jaga etika sopan satun” Wejangan Pak Bambang setiap pagi untuk anaknya tertanam kuat di hati mereka.
“Ayah, nanti Damar ada rapat setelah pulang sekolah. Jadi Damar pulang agak terlambat” Damar menatap Pak Bambang yang sedang membersihkan mulut dengan saputangan coklat.
“Aku juga pulang terlambat, aku harus latihan sebelum tanding di turnamen forki sekabupaten” Hermawan turut membuka suara
“Jadi hari ini, Mayang pulang sendirian?” Pak Bambang khawatir dengan Mayang karena tidak ada yang mengantarnya pulang.
“Aku bisa pulang sendiri yah, Mayang kan pintar dan mandiri.” Mayang meletakkan kedua tangan dipinggangnya dan kepalanya terangkat terlihat sangat percaya diri.
“Yang benar? Jangan-jangan nanti nangis di tengah jalan” Hermawan mengejek Mayang sembari mencubit pipi mayang yang tembem.
“Kak Mawan, aku bisa! Aku akan pulang sendiri.” Mayang kesal dengan Hermawan
“Nanti kakak minta bantuan teman kakak untuk mengantarmu pulang, jadi Mayang tunggu di depan gerbang ya?” Damar merasa khawatir dengan Mayang
“Ayah, Kak Damar dan Kak Mawan tenang saja, tidak usah khawatir. Mayang bisa kok pulang sendiri. Percayalah, aku akan pulang sendiri.” Mayang berusaha meyakinkan Pak Bambang dan kedua kakaknya agar tidak khawatir.
“Kalian terlalu khawatir, aku jadi ingin segera berumur tujuh belas tahun agar kalian lebih percaya denganku” Mayang cemberut, kembali duduk sambil memainkan gantungan boneka di resleting tas sekolahnya.
Pak Bambang berjalan mendekati Mayang, “Kami khawatir karena kami sangat menyayangimu.” Pak Bambang berjongkok dan menatap Mayang, “Ayah dan kedua kakakmu percaya padamu, tapi telpon ayah nanti jika sudah sampai di rumah ya?”.
Mayang tersenyum dan segera memeluk Pak Bambang, “Terima kasih yah, Mayang janji akan menelpon ayah kalau sudah sampai di rumah.”
Pak Bambang mengecup kening Mayang dan segera bersiap berangkat kerja.
Cahaya misterius tersebut mengawali kisah Mayang yang sesungguhnya. Ia pertanda bagi Mayang untuk menginjakkan kaki di panggung sandiwara yang sesungguhnya. Rasa manis perlahan akan berubah menjadi berbagai rasa termasuk rasa pahit.
ᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥ
ns 15.158.61.8da2